Judul : Istanbul, kenangan sebuah kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, edisi baru April 2015
Tebal : 561 hlm
Novel memoar “Istanbul, kenangan sebuah kota” karya Orhan Pamuk dibuka oleh pemandangan Bosphorus dengan kilau airnya. Bosphorus nampaknya memiliki arti tersendiri bagi penulis. Bosphorus yang hampir selalu dibahas pada setiap babnya. Deskripsinya membuat saya bisa membayangkan setiap detailnya. Seakan saya menyaksikan keeksotisannya dan segala misterinya dengan mata kepala sendiri.
“Bosphorus adalah kuncinya, jantung geopolitis dunia, dan inilah sebabnya semua negara di dunia dan pasukan militernya, terutama sekali orang-orang Rusia, ingin menguasai Bosphorus kami yang indah.” Hal 306.
Bukan Haghia Sophia yang sudah melekat tentang Turki khususnya Istanbul. Melainkan dari Bosphorus, Orhan mulai menggambarkan kemurungan kotanya. Reruntuhan Byzantium, Konstatinopel hingga menjelma Istanbul. Ibarat sebuah kota yang galau termasuk dalam peringatan 29 Mei 1453. Pembaca jadi mengetahui jika Orang Barat menyebut tanggal tersebut sebagai Kejatuhan Konstatinopel sementara Orang Timur menamainya dengan Penaklukan Istanbul. Suatu hal yang tidak banyak diketahui orang.
Membaca novel ini saya berhati-hati. Berbeda ketika saya membaca novel pada umumnya, biasanya saya menggunakan teknik membaca cepat. Pada novel peraih nobel sastra ini, seolah-olah saya tidak ingin ketinggalan memori sang penulis. Dari masa kecilnya, orang tuanya, kisah cinta pertamanya, masa pendidikannya degan jurusan arsitektur, dan tentunya sejarah Istanbul.
Hal yang mengganjal dalam proses membaca di antaranya kalimatnya yang panjang-panjang dan karena terjemahan jadi harus membaca secara utuh. Saya berpikir novel ini kekurangan keindahan bahasa, seperti halnya novel terjemahan lainnya. Kadang ada kalimat yang kurang bisa dimengerti.
Penulis kadang membuat kita berpikir dalam menyelami kehidupannya. Seolah-olah kita mengenalnya. Novelnya ditulis tidak dalam kronologis umur Orhan Pamuk tapi meloncat-loncat. Kemudian, keterangan gambar tidak ditulis di bawahnya, tapi terdapat di bagian belakang buku. Jadi, untuk mengetahui foto itu karya siapa harus melihat di bagian tentang foto-foto. Menurut saya tidak efektif waktu. Satu lagi yang mengusik mata, terkait pemenggalan kata mengena-skan di halaman 316.
Overall, isinya sangat bagus. Kata saya, layak sebagai peraih nobel. Dari sini saya bisa mengetahui sejarah Turki yang kehilangan identitasnya. Apakah menjadi negara barat atau timur yang berefek pada warganya. Saya jadi ingat pada tokoh Fatma di novel “99 Cahaya di Langit Eropa” karya Hanum Salsabila Rais. Imigran Turki di Austria.
Saya juga mengenal penulis-penulis Turki yang menginspirasi Orhan termasuk penulis barat yang pernah mengunjungi Istanbul. Di antaranya Theopile Gautier, Yahya Kemal, dan Tanpynar. Penulis yang melukiskan pemandangan ke dalam kata-kata. Lalu, Ahmet Rasim, penulis besar Istanbul yang mempunyai ciri khas penggambaran detail sehari-hari dalam ceritanya.
Novel yang menggugah semangat saya menulis. Tentunya juga menjadikan Istanbul masuk waiting list daftar negara yang harus dikunjungi. Amiinn… 🙂
Paling suka dengan kalimat penutup novelnya. “Aku tidak ingin menjadi pelukis,” ujarku. “Aku akan menjadi penulis.” -hal 550.
Bandung #005