[Review Book] Titik Nol

image

Judul : Titik Nol; Makna Sebuah Perjalanan
Penulis : Agustinus Wibowo
Editor : Hetih Rusli
Cetakan keenam : Juli 2015
ISBN : 978 – 979 – 22 – 9271 – 8

BLURB
Perjalananku bukan perjalananmu
Perjalananku adalah perjalananmu

Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.

Juga terpukau pesona kata “jauh”, si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.

Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.

“Agustinus telah menarik cakrawala yang jauh pada penulisan perjalanan (travel writing) di Indonesia. Penulisan yang dalam, pengalaman yang luar biasa, membuat tulisan ini seperti buku kehidupan. Titik Nol merupakan cara bertutur yang benar-benar baru dalam travel writing di negeri ini.”
—Qaris Tajudin, editor Tempo dan penulis novel.

SINOPSIS
Titik nol menceritakan kisah nyata perjalanan penulis usai lulus kuliah di China. Melalui perjalanan darat, ia menuju negara yang disebut atap dunia, Tibet. Sebuah tempat surgawi akan panorama yang amazing. Di sini, ia mengisahkan pengalaman magisnya bersama para peziarah ke gunung suci. Ritual yang dilakukan pun bisa dibilang tak wajar karena lebih bisa dilihat sebagai bagian menyiksa diri. Kulminasinya ketika ia mencapai puncak Drolma-La, 5.630 mdpl. Naasnya, saat turun gunung, sendirian, ia mendekati kematian sebab tenggelam di sungai (hal. 55).

Meninggalkan negara yang sebagian besarnya berupa pegunungan, ia bergerak ke Nepal. Seperti di negara sebelumnya, penulis kembali melakukan pendakian. Ia mendaki dengan susah payah untuk menaklukkan Annapura, yang dilabeli sebagai destinasi trekking nomor wahid dunia (hal. 172). Di negara ini, ia juga bertemu dengan kelompok Maois yang dianggap bertentangan dengan negara.

Negara tujuan traveling berikutnya adalah India. Di sini ia menyaksikan India yang sangat kontras dengan penggambaran di film-film Bollywood. Kotor, miskin, kumuh, calo dimana-mana, dan segala hal mungkin di sini. Jika di Tibet, ia hampir kehilangan nyawa karena tercebur ke sungai, di sini ia terserang penyakit hepatitis yang mengharuskannya opname di rumah sakit. Di sisi lain, ia kembali bertemu bacpacker wanita asal Malaysia, Lam Li, yang banyak mengubah sudut pandangnya tentang makna perjalanan.

Dengan kondisi yang belum sembuh benar dari penyakit hepatitis, penulis menyeberang ke Pakistan. Negara yang sangat kental dengan nilai Islam. Di negeri ini seperti sebelumnya, ia juga bersentuhan langsung dengan masyarakat lokal. Ia merasa kagum dengan adat menjamu tamu di negeri ini. Di Pakistan, ia ikut menjadi saksi kerusuhan yang pecah akibat kartun Nabi Muhammad yang dibuat oleh media Denmark. Penjarahan dimana-mana disebabkan karena tokoh agama mereka dianggap diolok-olok.

Perjalanan belum berhenti, ia menyelami negara Afghanistan yang bunyi ledakan adalah hal biasa. Selain itu, di negara ini ia bekerja menjadi jurnalis foto yang diidamkannya. Ia harus mengisi pundi-pundi uangnya jika ingin terus meraih mimpi perjalanannya hingga ke Afrika Selatan.

Saat impiannya hampir nyata, ia mendapat berita bahwa ibunya tengah sekarat. Agustinus harus memilih menjadi anak berbakti atau meneruskan perjalanan mimpinya.

THE BEST TRAVEL WRITING
Apa sih makna perjalanan buat kamu? Melalui buku ini, Agustinus Wibowo membuka pikiran saya, bahwa perjalanan tidak melulu untuk bersenang-senang, sekedar melepas penat atau bagian gaya hidup.

Perjalanan itu bisa jadi adalah pembuktian kesabaran. Perjalanan itu tidak sekedar mencari. Karena orang yang mencari paling mentok hanya mendapatkan apa yang dicarinya sementara yang tidak mencari justru mendapatkan lebih.

Meskipun buku ini merupakan tentang traveling tapi dituturkan dengan cara berbeda. Jika seorang pejalan terbiasa memuji-muji daerah yang dikunjunginya, Agustinus menyampaikan dengan cara berbeda. Ini mengingatkan saya pada buku karangan Eric Weiner, “The Geography of Bliss”, kisah penggerutu yang berkeliling dunia mencari negara yang paling membahagiakan.

Jika biasanya, seorang akan menulis dari sisi positif, kedua penulis ini justru menonjolkan dari hal negatif yang kerap diabaikan oleh seorang pejalan. Terkadang saya berpikir ini kurang etis menceritakan sesuatu yang jelek. Namun, jika dipikir-pikir lagi, ini menarik. Sebuah kejujuran terhadap pembaca karena setiap tulisan yang berhak menilai adalah pembaca. Dan, setiap penulis punya gayanya masing-masing begitupula setiap tulisan akan menemukan pembacanya sendiri.

Secara keseluruhan, saya menikmati kisah di buku ini. Tidak sekedar traveling tapi juga penuh filosofi hidup. Banyak pesan yang bisa diambil khususnya jika kita pecinta perjalanan. Buku ini membuat saya iri, bagaimana penulis mampu melihat yang traveler lain tak lihat, menyelami kehidupan lokal bahkan dari sisi ter-religius sekalipun.

Selain perjalanannya, di buku ini juga diceritakan tentang seorang ibu. Kisah ibunda sang penulis yang tetap tegar dalam menjalani hidup. Ibu, tempat kemana ia berpulang dari perjalanannya.

“Orang bilang, tak ada buku yang tanpa faktor kebetulan. Aku bilang tak ada cerita perjalanan yang tanpa kebetulan.” (Hal. 227)

Menariknya, faktor kebetulan itu tidak hanya dalam sinetron atau buku. Penulis sudah membuktikannya bahwa ada benang merah dalam penjelajahannya. Seperti halnya saya percaya bahwa ada hikmah dalam setiap perjalanan. Tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini. Apa yang terjadi, apa yang kita temui, apa yang kita lihat, dengar hari ini, bahkan saat tersesat bisa saja bermanfaat untuk masa depan.

Buku ini tidak cukup dibaca sekali. Jika traveler biasa puja-puji mengenai destinasi tujuannya, penulis memberi angle yang berbeda dalam gaya bertuturnya. Terlihat sekali, perjalanan telah menempanya. Bahwa pepatah mengatakan pengalaman adalah guru paling berharga adalah benar adanya. Lulusan Universitas Tsinghua ini membuktikan melalui kisah yang tertuang dalam tulisannya.

Sudah baca buku ini juga?

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.