Tepat 17 Agustus 2018, Bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan yang ke 73. Sebagai generasi milenial kita sudah sepatutnya bersyukur. Sebab dengan kemerdekaan ini kita mempunyai banyak kesempatan untuk maju dan berdikari terutama di era digital. Masyarakat Indonesia pun dimerdekakan untuk mengakses dan memiliki smartphone.
Smartphone kini merajai 86 persen sebagai sarana terhadap akses internet di Indonesia naik dari tahun 2013 yang hanya 37 persen. Adapun media sosial menjadi konsumsi data yang berada pada peringkat pertama yang diakses netizen sebesar 80 persen. Angka ini mengungungguli aktivitas browsing dan streaming sekitar 55 persen.
Di era smartphone seperti sekarang ini, adanya media sosial seperti instagram, facebook, twitter kian memudahkan orang-orang untuk terhubung dan berkomunikasi. Pengguna pun bisa dimana saja dan kapan saja memperbarui statusnya asal terhubung dengan koneksi internet. Tak ada lagi jarak. Lagi dimana, mau makan apa, sedang apa, bersama siapa… semua bisa langsung diunggah. Karena kebebasan tersebut, ada yang mengatakan kalau era digital merupakan sebuah dunia tanpa privasi, “Selamat datang dunia tanpa privasi“.
Di sisi lain, status yang merupakan simbol kebebasan berekspresi di media sosial tersebut terkadang malah membuat penggunanya jadi baper (bawa perasaan). Apalagi kalau sifatnya bahagia seperti habis menang lomba, merayakan anniversary, traveling, maupun hal-hal romantis. Bukannya ikut bahagia dan mengucapkan selamat kadang malah nyinyir dan sirik. Jangan sampai ya jadi barisan baper.
Seharusnya sebagai generasi era digital kita harus bisa mensikapi setiap status “orang yang kita ikuti” di media sosial dengan positif. Jadikan, postingan tersebut sebagai pelecut semangat buat kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. “Kalau dia bisa, aku juga harus bisa bahkan LEBIH BAIK!”.
Daripada menjadikan keberhasilan/kebahagiaan orang sebagai bahan gunjingan mending dijadikan success stories yang menginspirasi. Sehingga, menurut aku mengisi kemerdekaan di era sosmed adalah NO BAPER. Bermedsos harus kreatif dan positif bukan negatif.
Karenanya, kita sebagai “orang yang mengikuti” dan “diikuti’ di media sosial harus bijak sebelum meng-update status maupun berkomentar. Penting untuk dicatat, hal yang harus dihindari sebagai efek baper ini adalah putusnya tali silaturahmi yang telah terjalin ya misalnya gara-gara status curhat di medsos keblabasan jadi tidak mengobrol saat bertatap muka. Padahal silaturahmi adalah salahsatu kunci dilapangkannya rezeki dan dipanjangkan umur.
Selain bijak, sebagai pengguna media sosial kita harus menerapkan jangan asal posting karena ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum. Kemerdekan berpendapat dan berserikat mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dalam Pasal 28 UUD 1945 ditetapkan dalam undang-undang. Ga mau kan kita misalnya hanya ikut-ikutan nyinyir malah dikenakan pasal pencemaran nama baik apalagi terlibat broadcast hoax atau menyebarkan berita bohong yang merugikan banyak orang.
Tapi ngomingin baper, kalau dibanding dengan status media sosial, aku masih suka baper sama emak-emak yang naik motor. Rasa rinduku semakin menjadi sama “Skupi, Sang Kawan Perjalanan” yang menemaniku melihat lebih banyak daerah di Jawa ini. Namun, setelah melahirkan dan memiliki dua buntut aku jarang banget naik sepeda motor sendiri di Bandung. Hampir kemana-mana sama suami tentu saja dengan alasan keamanan. Daripada mangkrak, skupi pun dibawa ke kampung halaman untuk menemani ibu ke sawah.

Bersama Skupi di Monas
Iya… emg dunia digital membuat uda ga sekat lg ya. Terima kasih ya sudah mampir ^^