September cerah, menginspirasi
September istimewa, mengilhami
September 2011
September seolah bulan teristimewa diantara dua belas bulan dalam setahun. Vina Panduwinata berhasil melahirkan hits song lewat September Ceria disusul Green Day melalui karyanya yang berjudul Wake Me Up When September End. Ketenaran lagu tersebut seolah isyarat tersendiri bahwa September memang bulan yang istimewa. Tapi, tidak untuk Jogjakarta, provinsi yang terletak di bagian selatan dan berada di tengah Pulau Jawa ini selalu istimewa. Istimewa di tiap bulannya, tiap harinya bahkan tiap detiknya.
“Jadi ke Candi Prambanan tidak?” Tariza memecah keheningan. Rambut panjang nya terurai dan lembut mengenai kulit lengannya sendiri. Siapapun yang melihat dari sudah pasti menebak si empunya berparas cantik bak bintang iklan shampoo. Dian, cewek satu-satunya yang berjilbab paling bersemangat sore itu. Duduk berhadapan dengan beberapa kaleng biskuit yang disiapkan mamanya Tariza. “Ya iyalah… masa ya iya donk!” sahut Dian.
Mama Tariza hanya bisa geleng-geleng menoleh sebentar atas kegaduhan di ruang depan. Keramaian kecil yang mengalahkan suara pembawa acara berita di salah satu televisi yang tengah ditontonnya. Giliran Surya, satu-satunya yang paling ganteng. Namun, kebiasaannya yang bergaul dengan cewek membuat cewek diluar gengnya agak berasa gimana gitu. Rambutnya lurus dengan belahan tengah. Kulitnya putih bukan menambah macho banyak diirikan oleh kaum hawa. “Lagian hari minggu mau ngapain kalau ga main?. Masa muda euuyyy…!”
Tinggal Putri yang belum bersuara dari empat sahabat remaja yang akan menginjak masa SMA. Masa yang katanya paling indah. Ketiga teman yang sudah bersuara meliriknya meminta komentar keluar dari mulutnya. Putri paling pendiam diantara mereka. “Siip… ikuuut”
Glegek, glegek, glegek…
Tegukan juz apel buatan Dian menutup kongkow empat sekawan yang telah bersahabat sedari bangku SMP tersebut. Juz apel pilihan Dian. Juz yang dipercayanya bisa untuk melangsingkan badan. Entahlah, kebenarannya masih perlu diuji lebih lanjut. Namun, salut untuk usaha Dian yang berusaha menurunkan berat badan yang dipandang sudah tidak proporsi oleh yang melihat. Kini, tinggal gelas kotor, sisa-sisa sari apel menempel di blender, dan kaleng biskuit yang isinya hampir berkurang separo di meja depan. “Siap bereskan,” seru Surya.
Malam minggu menuju tanggal 11 September seakan berjalan lebih lambat. Suram. Namun, tak sesuram satu dasawarsa lalu. Jadi ingat, entah apa yang mereka lakukan di malam terakhir para korban tragedi Serangan 11 September 2001. Mereka tak akan menyangka jika esok paginya, pesawat jet penumpang dibajak oleh kelompok militan islam, al-Qaeda menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Center (WTC) di New York. Disinyalir 911, 3000 orang tewas dalam serangan ini. Osama bin Laden, orang yang akhirnya disebut yang paling bertanggung jawab dalam insiden ini.
Tariza bergidik membayangkannya. Ia sendiri tak tahu harus berkomentar apa tentang insiden yang membawa nama Islam ini. Insiden yang kemudian membawa Amerika Serikat pada Perang Anti Teror. Sebuah nama yang akhirnya menghalalkan segala invasinya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut Islam. Tariza remaja bingung. Ia selalu menganggap Islam itu damai, islam dari kata salam yang berarti aman, damai, dan sentosa. Hanya pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan Islam, perlahan mencoreng nama Islam itu sendiri, kata guru agamanya.
Tariza memeluk gulingnya yang bersarung gambar winnie the pooh erat-erat. Kembali ia mengintip jam dindingnya dari balik selimutnya. “Kapan malam minggu yang suram berakhir? Jarum jam apakah kamu tidak bisa bergerak lebih cepat lagi”
Selimut tersibak, Tariza keluar dari kamarnya. Angin malam yang sesekali membuat merinding seakan menertawai Tariza yang tengah duduk termenung di teras rumahnya. “Angin, kamu sengaja bertiup kesana-kemari hanya untuk mengejekku yang sendirian di malam minggu ini bukan? Kenapa kamu tidak seperti bintang yang selalu tersenyum cerah padaku” Sesaat kemudian ia bergumam lirih “Bintang, akankah Raka kembali?”
Khayalan kembali merasuki pikirannya. Andai bintang bisa berkata mungkin ia akan berkata, “Tariza, terima kasih menjadikanku temanmu walau hanya sebagai pengusir sepimu itu sudah cukup? Kau selalu berbagi denganku, percayalah padaku aku bisa menyimpan semua rahasiamu.” Tapi bisa saja bintang malam berkata sebaliknya “Dasar Tariza si tukang mengeluh, emang aku ini bak yang siap menampung segala keluh kesahmu?” Dalam hati, Tariza yakin bintang adalah sahabat tersetianya.
***
Semangat sinar mentari ditunjukkannya dengan menerobos tajuk pepohonan. Melalui sinarnya, ia ingin mengisyaratkan bahwa selalu ada celah jika kita berusaha. Namun, semangat yang dibawa mentari sirna karena keterlambatan seseorang. Surya mondar-mandir dengan memegang dagunya yang tak berjanggut. Tak jauh darinya, Tariza menggenggam tas kamera digital dengan gemasnya. Andai saja Tariza tak lupa kalau isinya sebuah kamera yang selalu menemani kemana ia pergi, barang itu pasti sudah dibantingnya kuat-kuat. Putri selalu melongok jam tangannya.
“Dian mana sich? Lamanyooo…!”
“Itu dia!” tunjuk Surya sesaat kemudian.
“Dian…Dian, makanan aja yang diurusin?” Tariza geleng-geleng. Meski tergopoh-gopoh sempoyongan Dian sesekali memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Tangannya pun menenteng beberapa snack.
“Tapi ko ga gendut ya…?” sindir Putri diikuti tawa ketiga temannya. Dian segera mengalihkan pembicaraan yang menyudutkannya. Ide segera berkelebat begitu ia melihat Surya memasukkan beberapa lembar uang ke dompetnya. “Daripada Surya, si Cina!”
Dian salah. Ketiga temannya tak ada yang membalas ledekannya terhadap Surya. Tariza dan Putri hafal betul sifat teman lelakinya yang berkaos pink itu. Semakin dikatain Cina, semakin besar kepala Surya Prihantono. Memang, saking tlaten-nya dalam segi uang, Surya dijuluki Cina. Meski, sebenarnya tak ada darah Cina dalam tubuhnya.
Namun, Surya selalu bangga disebut Cina. Bahkan, ia mempercayai bahwa leluhurnya merupakan Bangsa China. Dan, ia begitu bersemangat saat bercerita tentang bangsa yang berpenduduk nomor satu di dunia itu. China tak hanya unggul dari segi peradaban, China unggul dalam perekonomian melalui perdagangannya. Meski terkadang caranya tak jarang dikecam oleh beberapa negara yang terpojokkan melalui praktek dumping[1]-nya.
Wajah Dian beringsut, tak ada yang mempedulikannya. Dian segera berlari menyusul ketiganya yang bergegas menuju shelter Trans Jogja yang telah sesak calon penumpang. Mungkin karena hari libur. Karenanya, orang-orang lebih memilih keluar rumah. Ya, sekedar mengusir penat setelah berkutat dengan rutinitas. Mungkin bekerja, mungkin sekolah?
Pandangan mata Putri mendadak melemah. Matanya tertuju pada Tariza dan Surya. Keduanya berjejalan duluan di antara sesaknya calon penumpang. Bangku yang disediakan di dalam shelter tak mencukupi. Mau tak mau harus berdiri. Putri mematung di tempat penarikan karcis Putri.
“Surya, Tariza…!!!” panggilnya.
“Ayo…!” ucap Tariza sambil menarik kuat-kuat tangan Putri. Tenaga Putri yang tak sekuat Tariza, mendorong tubuhnya untuk mengikuti energi Tariza. Putri celingak-celinguk. Takut bau keringat lah, bajunya kotor lah, sepatunya diinjak orang lah.
Berhasil menyeret Putri dalam kerumunan, Tariza mengeluarkan potretnya. Tak henti-hentinya dia mendokumentasikan aktivitas di halte pagi itu. Ada yang celingak-celinguk, ada yang menatap tajam jam tangan yang seolah berkata “Jangan bergerak wahai jarum jam!” ada pula gaya khas kaum hawa yang memegang tas erat-erat diantara tangan dan dada, semuanya tampak istimewa bagi Tariza. “Objek foto yang bagus”
“Jangan-jangan nanti kita ga kebagian tempat duduk?” Dian mulai gelisah. Tapi gigi dalam mulutnya tak berhenti mengunyah.
“Ya iyalah penumpangnya aja segini banyak,” timpal Surya. Kekhawatiran Dian memuncak ditambah cuaca panas menyulut emosi. Belum juga jam 10.00 pagi sudah seperti tengah hari di dalam shelter. AC shelter yang tak menyala membuat penumpang bak di gurun sahara. Angin sepoi-sepoi terkadang mampir tak mempan. Sementara, suara orang-orang pun seakan saling berebut mengisi space kosong yang ada di ruangan.
“Hari yang ruarrr biasa!!!” batin Tariza sambil sesekali mengusap keringat di dahinya.
Suara yang ditunggu-tunggu akhirnya bergema di shelter dan disambut suka cita penumpang. “Bagi para penumpang jurusan Ambarukmo Plaza, Carrefour, Bandara Adi Sucipto, blablabla….Candi Prambanan harap segera mempersiapkan diri!”
Tak perlu komando lagi. Mereka segera bangkit saling berjejalan tak karuan. Seakan takut tidak kebagian tempat duduk sementara penumpang yang turun ingin segera bergegas ke tempat tujuan. “Mohon beri jalan untuk penumpang yang keluar terlebih dahulu!” petugas shelter kewalahan.
Keempat sahabat harus rela berdiri berdesakan dengan penumpang lain. Satu jam hampir berlalu dan juru mudi menghentikan mesin. Pertanda telah sampai di shelter Candi Prambanan. Tak butuh waktu lama, bus lengang di shelter terakhir Trans Jogja jurusan 1A. Shelter transit untuk ke Klaten. Dan, tentunya untuk wisata ke Candi Prambanan.
Sedikit tentang Trans Jogja. Alasan Trans Jogja menjadi alat transportasi alternatif masyarakat Jogja dan sekitarnya di antaranya ongkosnya relatif murah, ber-AC, keamanan, dan kenyamanan yang lebih terjamin. Cerita kecopetan, kehilangan benda-benda berharga nyaris belum terdengar.
Kontras dengan angkutan umum konvensional seperti bus kota. Gerah dan hampir tiap hari dibungkus cerita kecopetan baik handphone, uang maupun benda berharga lainnya. Tak pelak banyak penumpang beralih menggunakan Trans Jogja.
Sementara, Trans Jogja merupakan salah satu bagian dari program penerapan Bus Rapid Transit (BRT) yang dicanangkan Departemen Perhubungan. Dioperasikan mulai awal Maret 2008 oleh Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DIY dengan motto pelayanan “Aman, Nyaman, Andal, Terjangkau, dan Ramah Lingkungan”.
Selain itu, Trans Jogja merupakan komponen sistem transportasi terpadu Kota Yogyakarta dan daerah-daerah pendukungnya. Sistem tersebut menghubungkan enam titik penting moda perhubungan di sekitar kota. Di antaranya Stasiun Kereta Api, Terminal Bus, Bandara Adi Sucipto, dan titik-titik yang berada di dekat obyek wisata serta tempat publik penting seperti sekolah, universitas, rumah sakit, bank, samsat, dan perpustakaan.
Tugu Perdamaian
Pepohonan rimbun dan tugu perdamaian menyambut penumpang yang keluar shelter Prambanan. Sebuah taman yang berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau lebih dikenal dengan nama Taman Perdamaian.
Letaknya berhadapan dengan shelter dan berseberangan dengan Pasar Prambanan. Membuatnya selalu dikunjungi warga meski bukan di hari libur. Didukung posisi strategisnya yang terletak di tepi Jalan Raya penghubung Yogyakarta dan Solo membuat tempat ini tak jarang disinggahi sejenak oleh para commuter[2] untuk beristirahat.
“Aku pernah dengar dulu ada warga yang demo di Jakarta…?”
“Bukan Jakarta namanya kalau ga ada demo, Put!”
“Ikhhh… dengerin dulu to, Sur! Aku belum selesai ngomong tau… Jadi orang kok suka motong pembicaraan orang. Ga baik tauk!” omel Putri emosi. Surya merenges. Putri segera melanjutkan bicaranya.
“Itu lho mereka katanya dibohongi pemerintah, awalnya tanah mereka mau dibangun RTH tapi malah dijadikan pemukiman atau bangunan apa gitu, di daerah mana ya, aku lupa.”
“Kamu itu ngasih berita ko ga jelas!” Surya mencibir.
“Daripada kamu ga tau…hayo!” Dian membela. “Surya itu memang og, selalu bikin kesel.”
“Bukan Surya namanya kalau ga bikin kesel.” Tariza menyahut dari kejauhan sambil mengarahkan kameranya ke bunga soka (Ixora spp) berwarna kuning di hadapannya.
Putri dan Dian gembira mendapat dukungan penuh dari Tariza. Surya merasa kalah. Mulutnya komat-kamit seperti Mbah dukun yang lagi membaca mantra. Sontak ketiga temannya tertawa mendapati gerak bibirnya yang tak karuan. Khas gaya bicara Surya. Semakin ditertawakan semakin Surya bangga. Hahhhh, anak aneh! “Iya..iya…terus kenapa dengan berita yang ga jelas itu?”
“Emang RTH itu penting ya Riz, ko sampai pemukiman di gusur?” Putri ingin tahu.
“Lho…lho…aku yang nanya ko malah balik tanya ke Tariza”
“Emang kamu tahu Ruang Terbuka Hijau?” kata Dian.
“Tahulah, Ruang Terbuka Hijau itu disingkat RTH… ” Jawaban yang membuat suasana mendadak hening. Ketiganya menanti jawaban lebih lanjut dari Surya.
“Kalian terpana melihatku ya, maklumlah aku kan paling tampan diantara kalian.” lanjut Surya sambil terus berjalan menyeberang Jalan Raya Jogja-Solo.
“Udah gitu aja…???”
“S U R Y A !!!” ketiganya berteriak, Surya cengengesan puas telah berhasil mengerjai ketiga sahabatnya.
“Ya setauku, RTH itu ada sebagai penyeimbang pembangunan yang kian pesat di kota, gampangnya kita hidup butuh oksigen kan? Butuh ruang untuk melepas kepenatan barang sejenak kan? Butuh ruang untuk belajar tentang alam juga kan? Nah RTH fungsinya kayak gitu lah”
“Hutan kota gitu ya, Riz?”
“Iya, Dian. Semacam itu, tar kita tanya mbah google aja biar jelas”.
“Emmm…lalu kenapa dinamakan Taman Perdamaian ya?” sahut Putri.
“Mungkin karena banyak pohon keben (Barringtonia asiatica) yang ditanam di taman itulah, taman di dekat Pasar Prambanan ini dinamai Taman Perdamaian. Konon, pada tahun 1750-an Sri Sultan Hamengkubuwono I berperang dengan kompeni. Pada saat itu pula Sang Permaisuri tengah hamil tua dan sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pantang bagi Sri Sultan untuk membunuh musuhnya. Oleh karenanya, Sri Sultan dan pasukan melakukan gencatan senjata dan berteduh di bawah pohon keben. Oleh karena itu, keben dijuluki sebagai pohon simbol perdamaian.” dengan sigap Surya membaca sebuah blog yang ia akses melalui internet dari handphone slidenya yang berwarna merah.
“Wah baru tau aku !” sahut Tariza.
“Ehh…ehhh… ga sangka gan gira, ternyata Surya pintar juga ya,” cibir Putri.
“Putune mbah google gitu lhoh…wakakaka…”
“Kalau gitu, keben itu yang kaya gimana to ?”Dian mengetes Surya.
“Pulsaku habis no, google terus”
“Pelit! Kamu tahu Riz, yang mana?” Dian mengalihkan pandangannya.
“Itu lho yang kelihatan dari sini. Pohon yang daunnya besar, bunganya yang berwarna putih bagus.”
“Oh yang buahnya berwarna hijau terus kalau udah tua jadi coklat itu ya?”
“Yup, seratus buat Anda seribu buat Saya. He he he … ” canda Tariza.
Tawa riang menghiasi trotoar depan Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan. Gelagat mereka tak jarang mengundang rasa penasaran dari pengguna Jalan Raya Jogja-Solo. “Pada ngapain tu anak ?” pikiran mereka selintas terbaca.
“Itu candinya sudah kelihatan dari sini” tunjuk Dian.
“Koyo wong ndeso tunjuk – tunjuk, orang dari jembatan Kali Opak tadi juga sudah kelihatan.” Surya mulai memancing emosi temannya lagi.
“Biarin!Emang orang desa”
“Sugeng Rawuh ing Kitho Klaten, selamat datang di Kota Klaten, Welcome in Klaten City.” ucap Tariza setelah membaca ucapan selamat datang dalam tiga bahasa, Jawa, Indonesia, dan Inggris di gerbang perbatasan.
“Teman, tunggu aku di Jawa Tengah, kakiku yang satu masih nyentel di Yogyakarta nih” tambah Tariza sambil bercanda dengan menahan langkah kakinya tepat di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa tengah.
“Ihhh…gokil tenan bocah satu ini.” ujar Surya seiring tawa mereka.
Hawa semilir pepohonan dari suku palmae yang rindang di taman membuat langkah kaki mereka terasa ringan. Belum lagi ditambah banyolan-banyolan yang terkadang konyol. Padahal untuk sampai ke loket masuk dari shelter Trans Jogja harus berjalan hampir satu kilometer, setelah menyeberang jalan dari shelter masih harus menyusuri trotoar. Mereka pun terus berjalan menyusuri trotoar yang cukup edum.
Tak jauh dari gerbang perbatasan terdapat pintu masuk. Raut kekecewaan paling nampak di wajah Dian. Pintu masuk itu dikhususkan untuk para tamu dan karyawan. Sementara, para wisatawan harus rela berjalan sedikit lebih jauh. Melalui taman penyangga Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, tempat parkir, tempat jualan souvenir, dan barulah loket masuk di depan mata. Begitu sampai, Tariza dengan gesitnya segera menuju loket berjejalan dengan wisatawan lainnya.
“You must antri, please, thank you!” seorang turis dengan sopan memperingatkan Tariza yang nyelonong antrian. Petugas tiket terlihat tersenyum dari balik kaca loket. Dengan agak tertaih – tatih Tariza menjawab,
“I am really sorry Mister. I don’t know if you will buy ticket, too.”
“It’s Oke!” si Turis menjawab singkat karena sekarang gilirannya membayar.
“Please, antri!” Surya menggerakkan bibirnya mengejek dari kejauhan, Tariza segera memelototkan matanya. Surya segera merapatkan kedua telapak tangannya minta ampun.
“Busyet…mahal amat tiketnya, mentang–mentang disebut sebagai Candi Hindu tercantik di dunia!” Surya mengeluh.
“Surya…!” ketiganya kesal.
“Tau ga? Candi ini dibangun sekitar abad ke -X dan menjulang setinggi 47 meter.”
“Oo…ya?” Dian takjub seakan tidak percaya mendengar sedikit tentang candi dari bibir Tariza. Candi Prambanan terletak sekitar 17 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Dan, berada di perbatasan antara Kabupaten Sleman, Provinsi DIY dengan Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa tengah.
“Terus tiketnya dimahalin gitu?” Surya masih belum terima.
“Kecuali kamu bisa bikin candi yang melebihi moleknya Candi Prambanan, bisa murah tiketnya” ucap Dian.
“Nah tu, Dian aja tahu, bukan cuma bikin candi tapi juga termasuk relief yang ada, bikin kisah Ramayana, pohon kalpataru yang mengilhami masyarakat Indonesia…” ucap Tariza belum selesai.
“Iya, iya aku nyerah. Emang dech Candi Prambanan ga ada duanya”.
Selain relief Ramayana, relief yang menarik lainnya di Candi Prambanan adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Candi Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke -IX telah memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.
Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang giat mengkampanyekan isu lingkungan. Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.
Topi-topi beragam warna dan merk berjejer rapi beralas tikar seadanya. Beberapa juga nampak digantung, dari model cap biasa hingga yang fashionable seperti yang dipakai wanita di Inggris. Tariza masih asyik dengan kameranya sampai dia tak menyadari kalau ketiga temannya tak lagi di dekatnya. Tariza celingak-celinguk kebingungan sesaat sebelum Putri memanggilnya. “Tariza…sini!”
Tariza berlari kecil menghampiri. Topi cap warna orange bertulis As di bagian depannya segera menarik hati Tariza. Penyuka warna orange ini pun segera meraihnya. Tapi, ada tangan lain yang terulur. “Maaf”
“Ya udah ini buat kamu aja, sepertinya kamu tadi yang duluan.” sodor laki-laki itu.
“Asga… sudah belum?” teriak temannya dari seberang jalan.
“Permisi, Mbak!” ucap Asga tak lama setelah Miko memanggilnya.
Mata keduanya bertemu. Tariza tersadar, ialah cowok pemain jathilan yang ia jumpai teringat empat bulan lalu di salah satu sudut Kota Jogja. Sosok pemain jathilan yang diam-diam dikagumi Tariza. “Astaga! Dia kan cowok waktu itu?”
“Pantas betah, ada temannya to?”
“Eh Miko…” Asga yang mau beranjak segera menghentikan langkahnya begitu tahu Miko sudah menghampirinya.
“Ya sudah aku duluan ya, temanku sudah memanggil tuh” giliran Tariza berlalu dari keduanya. Uang sepuluh ribuan disambut ucapan terima kasih dari sang penjual. Topi sah jadi miliknya sekarang.
Tak terasa, hampir setengah hari telah mereka berada di Kompleks Candi Prambanan. Terik matahari memaksa mereka beristirahat. Kali Opak di belakang candi menjadi pilihan. Kaki terayun di beningnya air Kali Opak yang membelah Komplek Candi Prambanan dengan panggung yang biasa digunakan untuk pementasan Sendratari Ramayana.
Sendratari Ramayana atau Ramayana Ballet menceritakan sepenggal perjalanan hidup Rama yang berusaha menyelamatkan Shinta yang diculik Rahwana. Pertarungan antara Rama Wijaya dan Rahwana pun tak terhindarkan demi menikahi Shinta, putri cantik dari Prabu Janaka.
Dengan bantuan Hanoman, si kera putih, Rama berhasil membunuh Rahwana. Ketika Rama dan Shinta bertemu, Rama tidak mempercayai dan menganggap Shinta telah ternoda. Untuk membuktikan kesucian dirinya, Shinta diminta membakar raganya. Rama menerima Shinta kembali setelah kesucian Shinta terbukti karena raganya sedikit pun tidak terbakar.
Merasa cukup mengistirahatkan kaki, perjalanan berlanjut ke Komplek Candi Sewu yang sarat dengan cerita Loro Jonggrang. Loro Jonggrang disebut juga Rara Jonggrang atau Lara Jonggrang. Artinya gadis langsing. Kisahnya yang melegenda merupakan daya pikat tersendiri bagi para turis domestik atau mancanegara. Jutaan turis penasaran menyaksikan dengan mata kepalanya bagaimana rupa arca terindah yang dikutuk untuk menggenapi Candi Sewu tersebut.
“Tariz, berhubung kamu yang paling pintar, engga ding yang paling cerdas…aku mewakili teman – teman mau bertanya nih?” Dian memulai pembicaraan santai di pelataran Candi Sewu sambil membuka ranselnya yang masih terdapat beberapa bungkus makanan.
“Halah, mau tanya apa pidato?” sambar Tariza setelah meneguk air putih.
“Cerita Candi Sewu gimana to? Bener Loro Jonggrang candi yang ke seribu?”
“Alkisah…hahaha…!” Surya nerocos.
“Surya…ga lucu tau…!” Putri kesal.
“One upon a time, hiduplah seorang Bandung Bondowoso, dia ingin mempersunting Loro Jonggrang. Akan tetapi gadis yang konon katanya tercantik kala itu, tidak mau menikah dengannya. Dia disebut-sebut sebagai pembunuh ayahandanya tetapi Bandung terus membujuk hingga akhirnya sang putri menerima dengan mengajukan beberapa syarat.”
Tariza menghela nafas. “Syarat tersebut salah satunya membangun seribu candi untuknya dalam waktu semalam. Dia pun mengerahkan bala tentaranya yakni makhluk halus termasuk jin, setan, dan dedemit dari dalam bumi. Ketika Loro Jonggrang mendengar sang pangeran telah menyelesaikan 999 candi, sang putri gelisah dan segera mencari akal untuk menggagalkannya. Putri kemudian membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan desa untuk mulai menumbuk padi dan membakar jerami agar kelihatan seolah-olah matahari segera terbit. Para makhluk halus segera kembali ke dalam bumi.”
“Om Bandung pun murka begitu tahu semuanya adalah tipu muslihat Tante Rara, dan mengutuknya menjadi arca ke-1000 menggenapi candi sewu,” lanjut Surya diiringi canda tawa ke-empatnya.
“Hahahaha…” tawa kembali pecah diantara patung gandapura. Dua buah patung penjaga yang biasa dijumpai di gerbang-gerbang candi Jawa.
“Jadi kamu keponakan siapa Bandung atau Roro, seenaknya aja nyebut om-tante, mereka kan ga’ jadi nikah?” tanya Tariza iseng.
“Siapa ya ?” ucap Surya sambil memasukkan Bakmi Jowo punya Dian ke mulutnya, teman-teman menyorakinya.
Di tempat yang berbeda Asga dan Miko juga berjalan mengelilingi Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan. Namanya juga cowok, mereka lebih sering terlihat nongkrong di bangku-bangku taman dan mengamati pengunjung yang lewat di depan mereka terutama wisatawan cewek apalagi bule. Maklum keduanya masih menjomblo. “Hei girls!” sapa Miko pada dua gadis bule yang lewat di depannya.
“Kasihan dikacangin!” ledek Asga mengetahui temannya tak mendapat respon dari bule yang digodanya.
“Wahhh…asem tenan tu bule, giliran anak-anak kecil diladeni.” umpat Miko yang tak lama kemudian melihat kedua bule yang disapanya dikerumuni anak-anak kecil usia sekolah dasar.
Di Candi Prambanan ini selain untuk tempat wisata memang juga dipakai untuk tempat praktek lembaga-lembaga Bahasa Inggris di daerah Jogja, Klaten dan sekitarnya. Di sini peserta pelatihan dibiarkan bebas memilih bule mana yang diajak untuk berdiskusi dalam rangka melancarkan lidah bercas–cis-cus bahasa dunia itu.
“Ngomong-ngomong para bule itu terganggu ga’ ya dikerubuti gitu?” ucap Asga.
“Kalau aku sih terganggu banget, kecuali ada money.”
“Dasar cowok matre!”
Miko segera mengalihkan pembicaraan sembari menerawang langit tak jelas.“Kalau aku jadi Presiden nih Ga, aku akan bangun jalan layang yang menghubungkan Candi Prambanan dengan Candi Ratu Boko”
“Boleh juga tu, ya sayang aja to lokasi Candi Prambanan dan Ratu Boko hanya sekitar tiga kilometer dari sini. Biar Candi Boko ketularan tenar seperti Candi Prambanan…tapi mungkin ga ya kamu jadi Presiden haha… ”
“Lhah ngece…! Padahal wacana pembuatan jalan layang kan sejak aku masih umbelen dulu. Tapi, sampai sekarang og belum ada tindak lanjutnya”
“Kapan-kapan kesana yuk Ko, aku penasaran sama sunrise dan sunsetnya, kalau tak lihat di internet itu foto-fotonya keren banget”
“Setuja…kalau aku mau ke keputren alias kolam pemandiannya itu, sok jadi raja yang lagi memandang para permaisuri dan selirku…”
“Malah kesambet tau rasa…sekalian ke sumur dekat Candi Pembakaran aja, katanya kalau kamu membasuh muka dengan air sumur tersebut wajahmu jadi berseri-seri dan cepat dapat jodoh”
“Iya po…ya udah habis ini aja kita mampir sekalian” Miko bersemangat. “Oiya, baru ingat aku, Kamu kan pemain jathilan pantas aja tau tempat-tempat keramat gitu” lanjut Miko.
“Apa hubungannya?” ucap Asga.
Ratu Boko dibangun diatas bukit di rangkaian pegunungan kidul. Candi ini pun tersamarkan pepohonan yang tumbuh di bukit. Letaknya yang berada di atas bukit membuat situs Candi Boko sangat indah. Arkeolog mengira candi ini dibangun sekitar abad 9 M oleh Dinasti Syailendra, yang kelak mengambil alih Mataram Hindu.
Dari puncak bukit, panorama Gunung Merapi yang selalu mengeluarkan asap terletak membelakangi Candi Prambanan dan Candi Sewu terlihat sangat mengesankan. Selain itu, banyaknya reruntuhan yang bisa ditemukan di Ratu Boko menambah keanggunan lokasi wisata ini. Misalnya reruntuhan Paseban (Ruang Resepsi), pendopo, keputren, Gua Laki-Laki (Male Cave), dan Gua Perempuan (Female Cave).
Mendadak Miko dan Asga sumringah. Diam-diam keduanya memasang mata mencari sosok Tariza. Keduanya berlari kecil menyambangi mereka. Tak sabar rasanya Asga mengulurkan tangan untuk berkenalian. Teriakan Miko sontak membuat Tariza, Dian, Putri, dan Surya yang tengah bersenda gurau terhenyak. “Hoooi…!”
Bayangan badan mulai panjang menunjukkan hari semakin sore. Kompleks Loro Jonggrang meninggalkan mereka berenam yang duduk diantara patung gandapura. Dua patung raksasa kembar yang menyambut di pintu masuk. Tak jelas siapa yang duluan melangkah, mereka beranjak pulang.
Kelelahan membuat langkah kaki kian kecil. Komplek Candi Prambanan memang sangat luas, tak hanya menikmati kemolekan candi, taman nan hijau, rusa dan satwa lainnya juga arena bermain pun bisa ditemukan di sini. Putri berjalan beriringan dengan Tariza paling belakang. “Ku pikir tadi temanmu, Riz, ternyata belum kenal juga to?”
Senyum tersungging di bibir Tariza, kali ini sambil mengarahkan lensa kamera ke rerimbunan krei payung (Felicium decipiens) di kiri kanan tempat mereka berjalan. Tariza tak menyangka dapat bertemu dengan Asga. Bertemu di tempat yang erat mitos terkait kisah Loro Jonggrang. Mitos yang menyatakan kalau pacaran di Candi Prambanan tak lama berselang pasti akan putus.
***
[1] menurut kamus hukum ekonomi, dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport
[2]commuter atau ulang – alik merupakan kelompok penduduk yang siang hari beraktivitas di kota dan sore harinya pulang kembali ke desa
Bersambung…
*Artikel ini ditulis sekitar tahun 2010, sudah dipublikasikan dan pindahan dari blog pribadi yang lain karena akan dihapus