Kota Bandung acap disandingkan dengan Kota Montpellier, kota yang menjadi incaran warga Perancis. Kecantikan kota Bandung yang memiliki latar pegunungan berikut historisnya. Pesona tersebut menjadikannya salahsatu kota destinasi “Wonderful Indonesia” terutama bagi warga Jakarta yang ingin rehat sejenak dari “sumpeknya” Ibu Kota.
Namun, semua daya tarik tersebut tak sepenuhnya ada di pusat kota kembang. Ada sebuah gravitasi yang menarik jika kita bergeser sekitar 20 kilometer ke arah barat Kota Bandung. Terbentang enam kilometer dari Tagog Apu hingga selatan Rajamandala, kawasan Karst Citatah menawarkan daya tarik bagi kawan pejalan yang “tidak menyukai hal yang biasa” atau anti mainstream.
Nah, berikut lokasi alternatif Wisata Bandung yang akhir pekan lalu aku kunjungi bersama keluarga kecil yang rempong 😀
- Goa Pawon
Yang paling membuat aku penasaran dengan Gua Pawon adalah karena disinyalir sebagai tempat cikal bakal manusia Sunda. Dari aspek geologi, Bandung dahulunya merupakan cekungan atau danau purba. Nah, Goa Pawon ini letaknya diduga di tepian Danau Bandung Purba berdasarkan penelitian GHR Von Koenigswald dan AC De Young dari tahun 1930-1935. Pawon dalam Bahasa Sunda berarti dapur.
Untuk memasuki bagian utama gua, kita akan menaiki beberapa anak tangga. Lumayan banget bagiku karena harus menggendong Oziel yang masih berusia dua tahun. Sehingga tips pertama selain fisik dan stamina, jika membawa anak kecil harus memperhatikan membawa gendongan yang nyaman. Apalagi si krucil satu ini banyak gerak. Jadi dech merosot-merosot dan harus sering berhenti membenarkan tali gendongan.
Sebelum masuk ke ruang utama, rada uji nyali juga sih menurutku masuk ke goa ini. Pengunjung harus menunduk karena pintu gua tingginya tidak sampai satu meter. Begitu di dalam bau menyengat akan segera menyeruak. Jadi tips kedua adalah membawa masker.
Sumber bau tersebut terjawab setelah bunyi cicit…cicit yang berasal dari atap goa. Sekelompok kelelawar beterbangan, ada juga yang hanya bergelantungan di langit-langit. Jadi, butiran kecil-kecil sedikit lebih besar dari meses yang memenuhi lantai goa merupakan tai kelelawar. Kelelawar yang mendiami Goa Pawon merupakan jenis Pedan Jawa (Nycteris javanica) yang dideskripsikan oleh pakar kelelawar E Geoffroy pada tahun 1813.
Nah, untuk bisa melihat lokasi penggalian fosil, kami masih harus mendaki tangga buatan. Lumayan curam dan jujur aku agak ngeri karena sembari menggendong ya. Ga mungkin juga minta suami menggendong Oziel karena dia sudah menggendong Namiya, si sulung yang sejak masuk goa ga mau jalan kaki dan berteriak-teriak bilang takut.
Jalannya pun gelap sehingga tidak tahu apa yang ada di dasar kita. Rada lembab dan basah juga. Untunglah lorong itu tidak panjang dan sampailah ke bagian goa yang terang karena sudah tidak ada atapnya.
Di depan lokasi penggalian terdapat area terbuka yang agak luas. Dari tempat tersebut, jika memandang ke luar seakan terdapat dua jendela besar. Pemandangan hamparan sawah menyembul dari balik jendela. Di antara bagian ini, menjulang pohon binong (Tetrameles nudiflora) yang tumbuh langka. Aku juga menyaksikan staklatit dan staklamit yang telah menyatu. Ornamen gua ini juga menjadi bukti umur Goa Pawon yang sudah tua mengingat pertumbuhan staklatit atau stalakmit hanya 0,2 milimeter per tahun .
Ohya, tips ketiga ke Goa Pawon, jika membawa bekal makanan jangan ditaruh diluar simpan di tas baik-baik. Karena begitu mencium bau makanan, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) akan menghampiri. Jangan sampai kaya aku yang histeris gara-gara membuka snack buat si kecil langsung didatang seekor monyet.
Jadi jika Kalian tertarik dengan arkeologi, menurut aku wajib banget datang ke sini karena bisa mendeskripsikan dengan detail. Selain fosil manusia purba, banyak peralatan peninggalan zaman purba ditemukan di goa yang memiliki panjang 38 meter dengan lebar 16 meter ini.
- Stone Garden
Jika mendongak ke atas dari pelataran Goa Pawon akan terlihat jembatan dari satu tebing ke tebing yang lain. Itulah Taman Batu atau Stone Garden yang disebut-sebut suami beberapa hari terakhir sebelum memutuskan ke Gunung Masigit ini. Rasa penasaran akan taman batuan sebagai situs geopark akhirnya terjawab.
Tak jauh dari tempat parkir terdapat plang arah panah menunjukkan jalan setapak menuju taman batu. Namun, salah seorang juru parkir menganjurkan agar kami mengambil rute kembali ke jalan raya lagi. Ya, masuk akal juga sih dengan duo krucil pasti bakal kepayahan jika harus mendaki batuan gamping terjal yang licin.
Dari gapura bertuliskan Goa Pawon yang berada di tepi Jalan Raya Padalarang, kami balik lagi ke arah Bandung kemudian mengambil ke kiri. Jalannya belum beraspal dan berupa kerikil-kerikil batuan putih sebagai ciri khas kawasan karst. Stone Garden terletak kurang lebih dua kilometer dari jalan raya.
Uniknya, selain stone garden terdapat Kampung Indiana Camp. Di sinilah letak jembatan dan orang duduk diatas hammock yang kami lihat dari bawah tadi. Namun, Indiana Camp ini milik pribadi untuk bisa masuk terkena HTM lagi sedangkan tiket yang dibayar di depan hanya berlaku untuk stone garden. Karena setiap wahana di Indiana Camp harus membayar lagi, kami memutuskan ke stone garden terlebih dahulu.
Sekawanan monyet ekor panjang langsung menyambut. Karena sudah pengalaman tadi makanan kita hampir dirampas, semua makanan sudah aman di dalam tas. Tapi tetap saja agak takut juga sih. Namun, untunglah penjaga yang merupakan masyarakat lokal segera mengusir monyet.
Di sini terdapat beraneka ragam batuan yang diberi nama sesuai dengan bentuknya. Batuan tersebut dahulunya berada di dalam lautan yang kemudian terangkat ke daratan. Misalnya terdapat batu mesra, batu gerbang, dan sebagainya.
Di puncak bukit panyawangan, aku terkesima dengan pemandangan berderet-deret pegunungan dan waduk saguling dari kejauhan termasuk puncak Gunung Masigit dan Indiana Camp. Di puncak ketinggian sekitar 700 mdpl ini juga terdapat patilasan Raden Paku Haji dari Kerajaan Sumedang Larang yang pernah singgah di sini pada abad 18 sebelum berhaji ke Mekkah. Makam tersebut disakralkan oleh masyarakat sekitar dan masih menjadi lokasi ziarah.
- Gunung Hawu
Sama ketika di Goa Pawon, si kakak bilang takut-takut dan ngotot mau pulang. Entah itu nalurinya sebagai anak kecil atau memang dia memiliki indera keenam. Kalau semua anak kecil bisa “melihat” harusnya adiknya juga ikut rewel. Tapi ya sudahlah daripada ribut sepanjang jalan kami mengalah balik lagi walau belum sempat ke puncak, yang penting sudah bisa menyaksikan Gunung Hawu.
Sebelum ke sini informasi yang aku dapat di internet dikatakan jika Gunung Hawu mirip dengan Natural Bridge di Virginia. Ya, karena belum pernah datang langsung ke Virginia juga jadi tidak elok kalau membandingkan kan ya? Namun, jika ngomongin hawu, dalam Bahasa Sunda berarti tungku. Jika dilihat di foto yang terlihat seperti lubang itulah yang disebut hawu.
Uniknya lagi ternyata Karst Citatah menurut legenda masih berhubungan dengan legenda Sangkuriang. Familiar donk dengan cerita yang menyebutkan jika Gunung Tangkubanparahu terbentuk karena kejengkelan Sangkuriang yang gagal menikah dengan Dayang Sumbi. Ia pun menendang perahu hingga menangkup akibat penolakan perempuan yang tak lain tak bukan adalah ibu kandungnya yang awet muda.
Keterkaitan tersebut ditandai dengan penamaan daerah di Karst Citatah dengan persiapan pesta pernikahan. Cerita Amuk Sangkuriang yang memporak-porandakan persiapan pesta pernikahan tersebar di kawasan ini. Di antaranya Pawon berarti dapur, Leuit yang berarti lumbung, Pabeasan artinya beras, Kancahnangkub merupakan wajan yang menelungkup, Bende dan Ketuk adalah alat musik tabuh, Manik bermakna perhiasan, dan Sungai Cikubur yaitu tempat mengubur sisa makanan.
Namun, bagi pecinta alam, gunung ini terkenal sebagai lokasi panjat tebing yaitu di Tebing 125. Selain memanjat, para pecinta alam juga biasa ber-hammock di antara dua tebing. Setiap tanggal 17 Agustus juga dirayakan pengibaran bendera merah putih di Gunung Hawu.
- Situ Ciburuy
Situ Ciburuy terkenal akan ikannya yang susah dipancing atau mungkin memang ga ada ikannya mungkin ya? Sampai-sampai ada lagunya lho. Kalau orang Sunda sih pasti familiar banget dengan lagunya, …Situ Ciburuy, laukna hese dipancing…
Di Situ Ciburuy ini bisa dijadikan alternatif kulineran setelah puas keliling geopark Karst Citatah. Menunya memang standar dengan pondok-pondok langsung menghadap situ. Kalau aku sih, menyeruput kelapa muda wajib untuk melepas dahaga.
Selain untuk makan, setiap akhir pekan atau hari-hari libur terdapat pasar malam. Aneka wahana permainan dari komedi putar, bianglala, tong stand, keretaan, lempar gelang, dan lainnya. Cocok banget sebagai hiburan rakyat dan anak-anak. Kalau datang di siang hari bisa juga menaiki perahu untuk keliling situ.
Wisata Anti Mainstream yang Menyelamatkan
Selain kepuasan jasmani dan rohani, datang ke sini berarti turut melestarikan lingkungan lho. Yang aku dengar, karena kawasan Karst Citatah yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya seiring penemuan manusia Goa Pawon pada tahun 2007 semakin lama semakin tergerus aktivitas penambangan fosfat.
Dengan menjadikannya sebagai situs arkeologi yang dilindungi harapannya membuatnya tetap lestari. Artinya dengan kita datang berarti ikut menambah pendapatan penghasilan mereka dari sektor yang lain dan tidak hanya mengandalkan penambangan. Adanya aktivitas wisata minat khusus juga membatasi akses penambangan.
Namun, jadi turis yang bijak ya. Jangan sampai malah menimbulkan masalah seperti sampah, vandalisme, dan lainnya.
Oke, semoga tulisanku bisa menjadi inspirasi liburan Kalian, ya. Dan, kalau kamu pecinta petualangan anti mainstream, jajal yuk!
Salam Lestari 🙂
Keterangan:
Foto-foto dokumentasi pribadi
Ngomong2 wisata goa…jadi ingat pas dulu KKN di Gunung Kidul. Banyak goa. Mirip kayak di Bandung 🙂
Iya… cuma kalau di bandung kawasan karstnya kecil cuma di daerah padalarang…
Wuah stone garden itu yg pernah dijadiin tempat syuting yutupnya gen Halilintar ya, yang cover lagu apa gitu… Aku lupa
Baru tau lokasinya, hehe
Kapan2 ke sini deh
Semoga disegerakan
Wah malah ga tau pernah jd lokasi syuting hihi… iya ayok diagendakan…
aku sendiri belum pernah pergi ke sini mbak.
Cobain Koh, usahakan mampir kalau ke Bandung. Takut keburu habis sama penambangan.
Terimakasih sdh mampir, suatu kehormatan dikunjungi blogger favorit 🙂
Saya belum mengeksplor banyak selama di Bandung. Cuma sekitaran Ciwidey
Bsk lagi sempatkan ke karst citatah, kak
wah kak informasi yang bermanfaat..rencana pergi ke bandung..
cuma kayaknya tidak di wisata alamnya deh kak hehehe
Wah… Bandung menunggumu Kakak 🙂 Kalau mau wisata alam yg dekat kota ada curug dago, tahura dago