Hi Buddies,
Sebelumnya, saya telah mengulas buku pertama Daniel Murdiyarso Satu Dekade Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim sebagai dasar memahami perjalanan perubahan (krisis) iklim. Dalam perjalanannya, Konvensi Perubahan Iklim yang diikuti Conference of Parties (COP) atau Konferensi Para Pihak setiap tahunnya menghasilkan kesepakatan fenomenal Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto merupakan hasil dari kesepakatan CoP 3 yang diselenggarakan di Tokyo, 1997. Buku kedua Seri Perubahan Iklim sebagai lanjutan buku pertama ini sangat membantu untuk memahami Protokol Kyoto sebagai panduan mengurangi emisi di negara maju dan bagaimana seharusnya negara berkembang menyikapi perubahan iklim.
Judul buku: Protokol Kyoto
Hak cipta © Wetlands International – Institut Pertanian Bogor
Penulis: Daniel Murdiyarso
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara, Jakarta
Cetakan kedua, 2005
Buku kedua Daniel Murdiyarso diantarkan oleh A Sony Keraf. Alaxender Sony Keraf merupakan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Persatuan Nasional masa Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Menurut pendapatnya, Protokol Kyoto merupakan protokol yang menyangkut nasib kehidupan manusia dan berbagai makhluk hidup di dunia sekarang dan di masa yang akan datang.
Berikut kutipan yang saya sukai dari Sony Keraf, “Isu lingkungan tidak pernah menjadi arus utama dalam peradaban manusia, dengan akibat kita seakan secara sadar membangun ekonomi sambil di sisi lain menggali kubur bagi kematian sia-sia kita sendiri akibat dampak pembangunan ekonomi atas lingkungan.”
Saya sependapat, kerap atas nama pembangunan kita mengenyampingkan hak-hak alam. Alhasil pembangunan kota/daerah yang tidak memiliki konsep lingkungan bukannya menuai kemajuan justru hanya menunggu waktu bencana datang karena daya dukung yang telah rusak misalnya banjir.
—
Perubahan (krisis) iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan Bahan Bakar Fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan. Penggunaan BBF terutama setelah revolusi industri dan kegiatan alih guna lahan memicu peningkatan gas rumah kaca. GRK yang disepakati dalam Protokol Kyoto meliputi Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrousoksida (N2O), Hidroflourokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs), Sulphur heksafluorida (SF6) yang terlampir dalam ANNEX A.
“Gas-gas tersebut memiliki efek seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang-pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi-balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga atmosfer makin meningkat. Berada di bumi yang diliputi gas-gas tersebut bagaikan di dalam rumah kaca yang selalu lebih panas dibanding suhu udara diluarnya. Oleh karena itu, gas tersebut dinamakan Gas Rumah Kaca (GRK) dan pengaruh yang ditimbulkannya dinamakan Efek Rumah Kaca (ERK) kemudian menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim.”
Protokol kyoto merupakan sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK agar tidak mengganggu sistem iklim bumi yang diadopsi 11 Desember 1997. Dalam hal ini menekankan pentingnya peranan dan komitmen negara maju sebagai pengemisi utama untuk bertindak langsung. Hal ini menjadi isu utama dan yang bersifat dengan target penurunan emisi negara maju, seperti tertuang dalam pasal tiga dan empat.
Namun Protokol Kyoto tidak berjalan mulus. Tahun 2001, mengalami titik terendah ketika Amerika Serikat (AS) menentang dan menolak perjanjian internasional ini setelah CoP 6 di Den Haag. AS tidak peduli dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan-common but differentiated responsibility yang diadopsi sebagai prinsip Konvensi Perubahan Iklim. Persetujuan ini mulai berlaku 16 Februari 2005 setelah Rusia melakukan ratifikasi pada 18 November 2004.
Protokol Kyoto menjadi sarana yang adil bagi kepentingan pembangunan ekonomi pada umumnya dan perlindungan lingkungan. Target Kyoto memiliki beberapa implikasi yaitu:
- Mengikat secara hukum (legally binding)
- Adanya periode komitmen (commitment period)
- Digunakannya rosot/sink untuk mencapai target
- Adanya jatah emisi (assigmed amount) setiap pihak ANNEX I
- Dimasukkannya enam jenis GRK (basket of gasses) dan disetarakan dengan CO
Adapun tiga Mekanisme Kyoto berupa:
- Clean Development Mechanism (CDM)
- Join Implementation (JI), yaitu mekanisme penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan antarnegara maju untuk menghasilkan Emission Reduction Unit (ERU).
- Emission Trading (ET), yaitu mekanisme perdagangan emisi antarnegara maju untuk menghasilkan Assigned Amount Unit (AAU).
Bagi negara berkembang termasuk Indonesia dapat berpartisipasi dalam Protokol Kyoto melalui CDM. Melalui CDM negara berkembang akan mendapatkan tambahan pendanaan dan alih teknologi dari negara maju untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, negara-negara maju akan mendapatkan CER dari proyek CDM yang akan dilaksanakan di negara berkembang.
Dari segi bisnis meratifikasi Protokol Kyoto akan menarik dana investasi baru melalui CDM dimana kegiatan itu akan memberikan dana tambahan sebagai kompensasi atas pembatalan emisi GRK karena proyek tesebut dilaksanakan pada sektor-sektor yang mampu menekan emisi atau meningkatkan penyerapan karbon. Contoh proyek yang dapat masuk dalam mekanisme ini misalnya perdagangan karbon yang dihasilkan dari hutan dan proyek kelistrikan diluar sistem grid.
- Daerah pegunungan untuk microhydropower
- Daerah pedesaan untuk solar home system dan hybrid
- Daerah pantai untuk solar home system, hybrid, dan wind power
Dalam buku kedua ini saya mencatat beberapa peraturan (saya urutkan berdasarkan tahun terbit) di Indonesia yang terkait dengan perubahan (krisis) iklim atau implementasi Protokol Kyoto. Jika diperhatikan peraturan-peraturan ini terkait dengan dunia kehutanan. Hutan sendiri disebutkan dalam Protokol Kyoto.
- UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
- UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati
- UU No 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perubahan Iklim
- UU No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
- UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- PP No 27 Tahun 1999 tentang AMDAL
- UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
- UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
- PP No 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan
Buku yang terbagi dalam 10 bab ini ditutup dengan terjemahan bebas Protokol Kyoto yang terdiri dari 28 pasal dengan ANNEX A berisi enam jenis GRK dan ANNEX B berupa tabel komitmen pembatasan dan pengurangan emisi kuantitatif, keputusan-keputusan yang diadopsi oleh Para Pihak, dan laporan sidang ketiga Konferensi Para Pihak.
Semoga ringkasan buku Protokol Kyoto menyambung buku pertama ini bermanfaat ya. Untuk buku ketiga seri perubahan iklim, CDM, insya allah akan saya tuliskan tetapi setelah mempunyai bukunya :D. Kalau ada yang mau mendonasikan bukunya buat saya, saya akan menerima dan berterima kasih sekali 🙂
Klaten #003
Memusingkan juga ya 😂 wkwkw…. Mudah2an lama2 bisa mengerti….
Kayaknya harus terlibat supaya bs mengerti n paham 😀