Papua Road Map

Hi Buddies,

Saya lagi rajin meringkas buku nih. Tidak ada target harus baca buku apa gitu sih, mengambil acak aja di rak buku.

Nah, ketika telunjuk saya bergerak dari satu judul ke judul buku yang lain. Saya berhenti pada satu judul buku “Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future”. Kebetulan bukunya masih tersegel. Saya tidak ingat, apakah ini saya dapat dari suami atau warisan kakak ipar saat pindah rumah.

Jika dilihat dari judulnya memang termasuk bacaan “berat” (bagi saya). Saya membutuhkan waktu sepuluh hari untuk menyelesaikannya dan satu hari untuk menuliskan apa yang telah saya baca buat Kalian.

Papua bagi saya sebagai lulusan kehutanan adalah benteng terakhir. Karena masih memiliki hutan perawan. Masyarakat Papua patut bersyukur karena kondisi geografi yang berupa pegunungan dapat menyelamatkan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati dari eksploitasi manusia.

Namun, di buku ini tidak membahas itu. Kalau saya tidak kelewat, setidaknya hanya dua kali hutan/kehutanan disebut. Itupun dalam konteks pendapatan daerah/negara. Isi buku ini lebih menonjolkan tentang konflik Papua dan bagaimana hubungan Papua dengan Indonesia selama ini terbangun serta bagaimana seharusnya masing-masing mengambil peran untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

IMG_20200329_085616~2

Foto: Koleksi Pribadi

Judul buku: Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future

Penulis : Muridan. S. Widjojo dkk.

Cetakan Pertama, LIPI, Yayasan TIFA, dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009

ISBN: 978-979-461-716-8

 

COVER BELAKANG

Sumber-sumber konflik Papua dikelompokkan dalam empat isu. Pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970. Untuk menjawab masalah ini, kebijakan alternatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.

Isu kedua adalah kegagalan pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung.

Masalah utama ketiga adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh.

Isu keempat adalah pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua. Untuk itu, jalan rekonsiliasi di antara pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan –pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum.

Keempat isu dan agenda tersebut di atas dapat dirancang sebagai strategi kebijakan yang saling terkait untuk penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dalam jangka panjang.

 

RINGKASAN

Saya sengaja menuliskan ringkasan yang tercetak di cover belakang buku karena sudah mewakili isi buku. Sehingga saya tidak akan banyak membahas sumber konflik dan penyelesaian tersebut. Ohya, buku ini diterbitkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi bisa saja kondisi Papua sudah jauh berbeda dengan yang digambarkan dalam buku. Namun, setidaknya kita pembaca bisa mengetahui akar konflik di wilayah paling timur Indonesia ini. *Papua menjadi anak emas dalam era Presiden Joko Widodo dan akan dibangun istana presiden di bumi cendrawasih.

Dulu dalam pelajaran sejarah SD mungkin, yang saya ingat tentang Papua adalah Pembebasan Irian Barat dari Belanda. Namun, rasa-rasanya saya tidak menemukannya dalam buku ini.

Papua (awalnya bergabung dengan Indonesia bernama Irian Jaya) menjadi bagian wilayah NKRI berdasarkan New York Agreement 1962 yang mengamanatkan agar Indonesia menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Hasil resminya 1.024 wakil-wakil orang Papua memilih bergabung dengan Indonesia.

Sebelumnya, meski Indonesia sudah menyatakan kemerdekaan pada 1945 dan Belanda menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Indonesia 1949, konflik antara Belanda- Indonesia masih terjadi di Papua hingga Belanda menyerahkan Papua ke United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) 1962. Belanda menguasai Tanah Papua sejak Traktat London 1824 dan mulai efektif memerintah sejak mendirikan pos pemerintahan pertama di Manokwari 9 November 1898.

Papua sudah dengan sendirinya menjadi bagian dari RI sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. Klaim Indonesia ini didasarkan pada asumsi bahwa karena wilayah Papua sebelumnya adalah bagian dari Nederlans Indie – yakni dari Merauke hingga Sabang – (hal. 155)

Namun, integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI dianggap curang karena suara yang tidak mewakili masyarakat Papua secara keseluruhan. Adanya tokoh-tokoh Papua yang menilai masuknya Indonesia ke Papua sebagai bentuk upaya paksa penghilangan kesempatan Papua mendirikan negara sendiri. Kehadiran Indonesia di Papua belum mampu meningkatkan harkat hidup orang-orang Papua. Sementara, pemegang kekuasaan dan pemerintahan di Jakarta menilai sikap tokoh-tokoh Papua sebagai upaya mendelegitimasikan keabsahan Papua sebagai bagian dari Indonesia. (Hal. 195)

Masalah mendasar tersebut akhirnya memicu konflik turunan seperti yang dijabarkan di halaman belakang buku. Bagi kebanyakan masyarakat Papua, Indonesia adalah militer. Negara Indonesia hadir dalam penjagaan pos-pos maupun patroli ABRI (sekarang TNI). Kesalahpahaman antara Nasionalis Papua dan Nasionalis Indonesia semakin menjadi saat Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) dan pengerukan SDA di Tambang Grasberg Freeport.

Pasca Reformasi, format desentralisasi dibawah Presiden BJ Habibie secara  cepat berganti menjadi praktek konsep otonomi daerah dibawah Undang-undang No. 22 Tahun 1999.

Dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan Ketetapan MPR No. 4 Tahun 1999 tentang pemberian status otonomi khusus.

Undang-undang Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 lahir dibawah kepemimpinan Presiden Megawati. Pada masa ini dikeluarkan pula Inpres No. 1 tahun 2003 yang memerintahkan percepatan pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang dinilai sebagai kebijakan yang memecah belah masyarakat Papua.

Saat kepemimpinan Presiden SBY, pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) disahkan melalui PP No. 54 Tahun 2005.

Akan tetapi Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam menjalankan otsus di Papua. Di antaranya tidak adanya pendampingan DRPP dan Pemerintah Provinsi Papua untuk membuat Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi). 

MRP ingin mengadopsi secara utuh aspirasi rakyat Papua untuk tetap menggunakan Bintang Kejora sebagai bendera provinsi, Hai Tanahku Papua sebagai lagu provinsi, dan Burung Mambruk serta moto One People One Soul sebagai lambang dan moto provinsi. MRP berkeyakinan bahwa lambang-lambang itu bisa diartikan sebagai simbol budaya, daerah, yang tetap menjadi bagian dari Indonesia namun dijawab melalui PP No. 77 Tahun 2007 tentang pelarangan penggunaan simbol-simbol yang sama dengan kelompok separatis. 

Pada akhirnya penyelesaian konflik di Papua yang dianggap “merebus batu” di bab empat dibandingkan dengan penyelesaian konflik di Aceh melalui agenda damai.

Kesalahpahaman sejarah integrasi harus diluruskan agar tidak ada saling curiga antara Papua dan Indonesia dengan cara berkeadilan. Salahsatu kuncinya melalui moderasi, negosiasi, dan kompromi.

Dari buku sebanyak lima bab, begitulah kira-kira yang bisa saya pahami.

Semoga bermanfaat ya^^

 

Bandung #006

2 pemikiran pada “Papua Road Map

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.