Papua, Benteng Hijau Penyelamat Krisis Iklim

puncak jaya wijaya papua

Puncak Jaya Wijaya (Foto diambil dari Geo-Media)

Papua bagi saya identik dengan Cartensz Pyramid. Tanah tertinggi di Indonesia. Besar asa untuk bisa menapaki salju abadi di pucuk Barisan Sudirman Pegunungan Jaya Wijaya. Destinasi impian para petualang.

Namun sayangnya, hamparan salju di ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut tersebut diperkirakan bakal menyusut dan mengering pada tahun 2024. Kenaikan suhu bumi disinyalir mempercepat penyusutan satu-satunya gletser tropika tersebut. Tak akan lagi ada julukan salju abadi di atap Cartensz.

Semenjak revolusi industri tahun 1800-an terjadi pemanasan global (global heating)* akibat penggunaan Bahan Bakar Fosil (BBF). Pemakaian BBF memicu terjadinya Efek Rumah Kaca (ERK) akibat dari peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) seperti uap air, Karbondioksida, Metana, dan Nitrousoksida.

Krisis iklim telah menjadi wacana dunia. Tak terkecuali di Indonesia meski belum semasif di Barat. Dampak darurat iklim tidak hanya memicu kenaikan permukaan air laut akibat  mencairnya gletser tapi juga berpotensi memunculkan penyakit baru. Meski masih membutuhkan penelitian merebaknya pandemi virus Corona ke seluruh dunia dipengaruhi krisis iklim.

Kawasan Konservasi Papua

Indonesia patut bersyukur memiliki pulau berbentuk kepala burung, Papua. Masyarakat bumi cendrawasih pantas berbangga memiliki rimba terakhir. Kondisi geografi yang mayoritas berupa pegunungan mampu menekan laju eksploitasi sumberdaya alam.

Tidak hanya hutan daratan, Papua juga mempunyai cakupan hutan bakau. Wilayah paling timur Indonesia tersebut pada 2011 tercatat memiliki luas hutan 30,07 juta hektar. Sementara luas hutan Indonesia tercatat 125,9 juta hektar pada tahun 2018. Jika mengacu pada data tersebut (mengabaikan tahun) maka Hutan Papua menyumbang sekitar 23,88 persen tutupan hutan di Indonesia.

Laju deforestasi rata-rata di Papua sebesar 143.680 hektar per tahun sedangkan di Provinsi Papua Barat sebesar 293 ribu hektar per tahun. Mengingat fungsi hutan yang begitu besar terhadap manusia dan dapat melindungi bumi dari krisis iklim, laju pembukaan hutan atau aktivitas wisata yang tak ramah lingkungan harus dikendalikan. Setiap pembangunan harus berprinsip berkelanjutan. Rimba tersisa dapat berfungsi sebagai kawasan konservasi dengan pemanfaatan secara bijaksana.

Hutan Papua sebagai wilayah konservasi dunia menyimpan hidupan liar yang berguna bagi ketahanan pangan dan kesehatan umat manusia terutama meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Dari dalam hutan Papua tersembunyi flora dan fauna eksotis dan endemik. Belum lama ini dikutip dari instagram Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ditemukan anggrek jenis baru di Papua Barat yang diberi nama Dendrobium moiorum Saputra, Schut. Papua diperkirakan memiliki 2.000-3.000 spesies dari sekitar 30.000 jenis anggrek dunia. Tidak menutup kemungkinan bisa saja vaksin Corona ditemukan di Tanah Papua ini.

Anggrek papua

Dendrobium moiorum Saputra, Schut (Foto diambil dari instagram @kementrianlhk)

Tidak hanya sumber pangan dan obat bagi dunia kesehatan, budaya asli masyarakat adat Papua bergantung pada keberadaan hutan. Misalnya pakaian adat pria dan perempuan suku Dani. Koteka atau alat penutup kemaluan pria terbuat dari kulit labu air yang dikeringkan dan dilengkapi dengan penutup kepala yang terbuat dari bulu cendrawasih atau kasuari. Perempuan mengenakan rok yang terbuat dari rumput atau serat pakis yang disebut sali. Adat dan tradisi ini bisa dilihat dalam perhelatan Festival Lembah Baliem Wamena yang digelar pertengahan bulan Agustus bersamaan dengan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Destinasi Wisata Hijau

Papua adalah Cartensz Pyramid. Papua adalah Raja Ampat. Papua adalah Fetival Lembah Baliem. Apapun itu Papua adalah destinasi wisata hijau yang mengusung konsep ekowisata, tempat hutan beradat dan rimba terakhir itu berada.

Namun, terkadang demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ekowisata terjebak pada mass tourism. Pariwisata yang melibatkan orang banyak bukannya menguntungkan tapi dapat menjadi bom waktu yang siap meledak karena rusaknya daya dukung alam.

Ekowisata dalam The International Ecotourism Society adalah perjalanan bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, melibatkan interpretasi serta pendidikan lingkungan hidup. Konsep tersebut mengusung tiga komponen penting yaitu konservasi alam, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kesadaran atas lingkungan hidup. Sehingga bisa dikatakan atraksi pariwisata bukan satu-satunya andalan untuk mendapatkan penghasilan.

Yayasan EcoNusa bekerjasama dengan World Research Institute Indonesia dan Fakultas Kehutanan Papua (Unipa) mengadakan Ekspedisi Mangrove dengan menyusuri pesisir selatan Papua Barat. Dalam ekspedisinya, para peneliti menemukan masyarakat Kampung Air Besar Fakfak telah mampu mengambil manfaat ekonomi dari adanya hutan bakau seperti dari perikanan dan kayu. Namun, masyarakat harus ditingkatkan kesadarannya agar mengambil manfaat dengan prinsip konservasi sebab mangrove dapat mencegah abrasi pantai sehingga harus dijaga kelestariannya.

Mangrove kampung air besar

Hutan mangrove Kampung Air Besar (Foto diambil dari Kumparan)

Jika dikaitkan dengan isu krisis iklim, Indonesia sebagai negara berkembang dapat berpartisipasi dalam Clean Development Mechanism (CDM) sebagai salahsatu isi Protokol Kyoto. Jika negara maju berkomitmen dalam menurunkan laju emisi, Indonesia dapat berperan dengan mempertahankan kelestarian hutan dan alamya melalui skema perdagangan karbon atau kompensasi. Indonesia juga dapat mendorong proyek-proyek ramah lingkungan seperti tenaga angin, surya, maupun mikrohidro.

Hutan Papua akhirnya menjadi benteng pertahanan menyelamatkan darurat iklim. Bersama menjaga kelestarian hutan dan alam Papua untuk mencegah gletser tropika satu-satunya mencair. Semuanya tentu berawal dari kesadaran pribadi, mulai saat ini juga dengan menjadi green traveler.

Mari menjadikan Hari Hutan Internasional yang jatuh pada 21 Maret bertema Forest and Biodiversity menjadi langkah dan dukungan untuk beradat menjaga Hutan Papua melalui konsep destinasi wisata hijau dan wisatawan peduli lingkungan. #SAVE atau #DELETE?

Saya memilih #SAVE

Terakhir, saya jadi ingat pantun sewaktu SD yang ditulis di akhir surat (masa kecil saya masih “musim” surat-suratan).

Burung Irian, Burung Cendrawasih
Cukup sekian, Terimakasih

Referensi Bacaan:

Bulbophyllum irianae, Spesies Anggrek Baru di Papua. http://www.mongabay.co.id

Festival Lembah Baliem Wamena. http://www.pesonaindo.com

Luas Kawasan Hutan Indonesia 125,9 Juta Hektare. http://www.infopublik.id

Mari Jaga Kelestarian Mangrove di Pesisir Selatan Papua Barat. http://www.kumparan.com

Pengertian Ekowisata, Prinsip, Manfaat dan Sejarahnya. http://www.lingkunganhidup.co

Pesona Puncak Jaya Wijaya Papua (Cartensz Pyramid). http://www.geo-media.com 

Rimba Tanah Papua. http://www.hutanpapua.id

Wabah Virus Corona, Tamparan Pahit Kesehatan Manusia dari Krisis Iklim. http://www.sains.kompas.com 

*Global heating telah disepakati para climate strikes menggantikan global warming; climate change menjadi climate crisis, climate emergency

*Tulisan ini terpilih menjadi 30 besar Blog Competition yang diselenggarakan BPN x Eco Nusa

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.