
Astana Gede Kawali
Ini bukan kunjungan pertama kali saya ke Astana Gede Kawali di Ciamis. Sebuah petilasan yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Sunda Galuh tahun 1333 M-1482 M.
Menariknya di sini terdapat batu prasasti yang diyakini sebagai lokasi pesemayaman abu jasad Putri Dyah Pitaloka Citraresmi. Sebuah nama yang erat dengan Tragedi Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda yang terjadi pada Selasa Wage, 4 September 1357.
Lukisan akan kecantikannya tersohor sampai ke Majapahit hingga memikat Raja Hayam Wuruk untuk meminangnya. Prabu Hayam Wuruk memiliki leluhur berdarah Sunda. Pernikahan diyakini akan mempererat hubungan darah yang lama terputus. Pinangan pun diterima dan pesta pernikahan akan diselenggarakan di Majapahit.
Sebelum pesta pernikahan digelar terjadi insiden yang mengatakan jika kedatangan Sunda adalah bentuk penyerahan diri di bawah Majapahit yang saat itu dibawah pimpinan Patih Gadjah Mada. Melalui Sumpah Palapa, Gadjah Mada bertekad menyatukan seluruh nusantara di bawah panji kerajaan yang berlokasi di Jawa Timur ini. Atas hal ini, Kerajaan Sunda tidak terima sehingga peperangan tidak terhindarkan. Putri Citraresmi yang menjunjung tinggi harga diri kerajaan menolak menyerah dan memilih untuk gugur bersama Prabu Linggabuana dan Permaisuri Lara Ringsing di medan perang.
Namun, keabsahan versi perang Bubat tersebut belum terbukti sebab Kidung Sundayana asal cerita diturunkan baru dibuat 300 tahun setelah terjadinya perang. Cerita ini kabarnya dibuat oleh Belanda untuk mengadu domba penduduk Pulau Jawa yang belum ditaklukan saat itu. Cerita Bubat dalam Kitab Nagarakartagama hanya disebut samar-samar yang menceritakan perang terjadi akibat penolakan peletakan hadiah dari Sunda yang ditaruh di paseban atau tempat upeti (penarikan pajak daerah taklukan) dari Kerajaan Majapahit. Sebab, Sunda bukan daerah taklukan. Sehingga perang akibat kesalahpahaman tidak dapat dihindarkan. Akibat Perang Bubat inilah yang dianggap cikal bakal larangan mengapa orang Sunda dan Jawa menikah.
Ibukota Kerajaan Sunda Galuh
Astana Gede Kawali atau Situs Kawali berada dalam kawasan hutan dengan pepohonan berumur ratusan tahun di kaki Gunung Sawal. Hawanya yang adem menambah kesan mistis. Di atas pepohonan banyak dihuni kalong yang menimbulkan lolongan aneh bagi yang tidak biasa mendengarnya seperti saya.
Reruntuhan Astana Gede Kawali pertama kali ditemukan oleh Thomas Stamford Rafles (1811-1816) dengan disebut dalam bukunya, History of Java. Sebagai ibukota Kerajaan Sunda Galuh di Astana Kawali masih dapat dijumpai bekas Alun-alun Surawisesa dan Mata Air Cikawali (tempat mandi keluarga keraton) yang katanya tidak pernah kering.

Mata Air Cikawali
Kompleks Astana Gede Kawali terdiri dari peninggalan budaya Megalitikum, Kerajaan Hindu, dan Kerajaan Islam dalam periode prasejarah, klasik, dan Islam. Periode Islam ditunjukkan dengan adanya makam Adipati Singacala dari Kasultanan Cirebon.
Prasasti Peninggalan Kerajaan Galuh Kawali
Ada kejadian aneh (atau mungkin kebetulan) ketika saya pertama kali berkunjung (2012) dan ingin memotret menhir yang diyakini sebagai makam Putri Dyah Pitaloka Citra Resmi. Saat menekan tombol untuk menjepret tiba-tiba HP saya mati. Padahal, HP saya belum pernah mendadak mati sendiri seperti itu (setelah kejadian itu HP saya tidak pernah bermasalah untuk memotret).
Rekan kerja yang mengajak saya ke sini, kemudian menengok curiga. Saya menceritakan yang terjadi. Ia pun lantas komat-kamit dan menyuruh saya mengambil potret lagi. Ajaibnya tidak terjadi apa-apa dan saya berhasil mengambil gambarnya.

Batu Pangeunteungan
Katanya, dia hanya minta izin. Sebab, saya orang Jawa dan kebetulan rekan saya itu laki-laki asli dari Jawa Timur. Sehingga ini membuat Putri Dyah Pitaloka tersinggung. Ya, percaya ga percaya sih?
Namun, pada kunjungan saya bulan lalu, saya berhasil memotret tanpa kendala. Kali ini, saya datang bersama suami yang kebetulan berdarah Sunda. Apakah ada hubungannya?
Ohya, bagi masyarakat sekitar makam Putri Citra Resmi lebih dikenal dengan nama Batu Pangeunteungan. Ngeunteung dalam Bahasa Sunda berarti bersolek.

Batu Panyandungan
Selain, makam Putri Kerajaan Galuh, terdapat tempat disemayamkannya abu jasad dari Prabu Linggabuana yang gugur di Palagan Bubat. Batu tempat dikuburnya Raja Galuh dikenal dengan Batu Panyandungan. Panyandungan berarti memiliki madu atau beristri dua. Batu ini diinventarisasi sebagai Prasasti Kawali III, Sang Hyang Lingga Hiyang.

Batu Panyandaan
Sementara itu, batu tempat dikuburnya Prameswari Lara Ringsing, istri Prabu Linggabuana disebut dengan Batu Panyandaan. Panyandaan berarti duduk bersandar dengan kaki lurus seperti biasa yang dilakukan seorang ibu usai melahirkan anaknya. Mitos yang dipercaya masyarakat bila belum mempunyai keturunan bisa bersender di batu ini dan akan dikarunia momongan. Batu Panyandaan merupakan Prasasti Kawali IV, Sang Hyang Lingga Bingba.
Selain ketiga batu tersebut, masih ada prasasti yang lain, yaitu:
Prasasti Kawali I
Prasasti ini memiliki tulisan di bagian depan yang telah dialihbahasakan. “Yang bertapa di Kawali ini adalah yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kota Kawali yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit sekeliling ibu kota yang mensejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang kemudian membiasakan berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia.”. Sedangkan pada bagian tepi berbunyi, “Jangan dirintangi-janganlah diganggu-yang memotong akan hancur- yang menginjak akan roboh.”.
Prasasti Kawali II
Isi Prasasti Kawali II, “Semoga ada yang kemudian mengisi negeri Kawali dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang.”
Prasasti Kawali V
Prasasti ini disebut juga dengan Batu Tapak/Kolenjer. Terdapat empat puluh lima kotak beserta puluhan titik-titik lobang berfungsi sebagai media palintangan (kalender panata mangsa). Telapak kaki dan tangan milik Maha Prabu Niskala Wastu Kancana.
Prasasti Kawali VI
Prasasti Kawali VI berisi nasehat, “Ini peninggalan dari yang atisti dari rasa yang ada yang menghuni kota ini jangan berjudi bisa sengsara.”
Batu Korsi/Palinggih
Batu ini merupakan tempat penobatan/diwastu para raja Sunda Galuh di Kawali. Raja terakhir yang dinobatkan di batu ini adalah Prabu Siliwangi sewaktu menerima tahta kerajaan Galuh Pakuan tahun 1482.
Sampai saat ini, masih terus dilakukan ekskavasi untuk menemukan dan merekontruksi reruntuhan batuan. Bagi green buddies yang menyukai sejarah, arkeologi, dan budaya bisa ke sini.
Ohya, jika kunjungan pertama saya tidak berjumpa monyet, pada kunjungan kemarin di jalan setapak dekat Alun-alun Surawisesa saya dikejutkan dengan banyak sekali monyet bergelantungan. Kata seorang pedagang yang saya jumpai monyet tersebut muncul karena ada yang membuang dan jadi berkembang biak. Jadi, hati-hati jika membawa makanan ke sini.
Lokasi Astana Gede Kawali berada sekitar 27 kilometer di utara pusat Kota Ciamis. Begitu tiba di Alun-alun Kawali sudah banyak papan penunjuk dan tempatnya mudah ditemukan. Jika menggunakan kendaraan umum dapat menggunakan bus Jurusan Cirebon dari Kota Ciamis/Tasikmalaya lalu turun di Alun-alun Kawali kemudian bersambung ojek atau jalan kaki. Retribusi masuk hanya Rp 3.000 per orang dan parkir kendaraan Rp 2.000,00.
Selamat belajar sejarah!
*Foto Dokumentasi Pribadi
**Keterangan prasasti diambil dari papan informasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata