
Sungai Cikapundung yang melintasi daerah Pasirluyu, Kota Bandung (Foto: koleksi pribadi)
Hampir setiap melintas anak Sungai Cikapundung di daerah Pasirluyu Kota Bandung, suami mengatakan bahwa saat kecil ia suka bermain, mandi, dan menangkap ikan di aliran sungai tersebut. Memori saya pun diajak flashback, sebagai anak desa kenangan menghabiskan waktu di sungai itu seperti diputar ulang. Aliran air jernih, bergemerisik, dan terjun bebas di atas batuan. Kami pun masih bisa merentang tangan dan meneguk jatuhan air yang ditadahi dengan telapak tangan sebagai pelepas dahaga.
Sepuluh tahun pertama usia saya, saya senang sekali setiap akhir pekan tiba. Karena itu artinya saya bisa menginap di rumah Mbah (kakek-nenek). Daya pikat berlibur di rumah Mbah adalah sungai besar yang mengalir tepat di sisi timur rumahnya. Saat itu saya masih menyaksikan warga mencuci baju, piring, mandi, hingga BAB di sungai. Saya dan teman-teman pun masih bisa tak hanya menangkap ikan tapi mendapatkan udang dibalik batu-batu hitam endapan lahar dingin merapi.
Memasuki era milenium, atas nama sanitasi dan higienitas, aktivitas sehari-hari di sungai mulai berkurang bahkan kini hilang sama sekali. Hampir dua dekade sesudahnya, ketika pulang kampung saya ingin mengajak anak saya yang masih balita merasakan romansa masa kecil saya bermain di sungai.
Susah sekali menemukan spot sungai surga masa kecil saya dulu yang masih layak digunakan untuk bermain. Ketika saya menemukannya pun sungai telah banyak mengalami perubahan. Aliran yang berkurang debitnya hingga tak banyak biota yang saya temui. Kualitas air pun menurun karena di beberapa titik sudah dijadikan untuk tempat membuang sampah.

Mengajak si kecil bermain di aliran Sungai Dengkeng saat pulang kampung (Foto: koleksi pribadi diambil tahun 2019)
Sungai Cikapundung sendiri sejak saya melihatnya pertama kali tahun 2013, warnanya sudah keruh. Saya hanya bisa membayangkan ketika suami saya mengulur kenangannya. Bahkan ketika saya mengunjungi Curug Dago sekitar tahun 2017 yang merupakan kawasan hulu sungai yang membelah kota Bandung ini airnya sudah tak jernih.

Aliran sungai di kawasan hulu Curug Dago yang keruh (Foto: koleksi pribadi diambil tahun 2017)
Seharusnya secara logika, setelah dua dekade aktivitas manusia yang dianggap mencemari kualitas air sungai dilarang, saat ini kita memanen aliran sungai yang jernih. Berbagai jenis ikan air tawar dan biota sungai lainnya bisa menjadi alternatif sumber protein yang menyehatkan bagi manusia.
Namun ironisnya, kebanyakan sungai menjadi halaman belakang rumah tempat membuang sampah dan limbah baik padat maupun cair. Tak tanggung-tanggung bukan hanya limbah rumah tangga tapi juga limbah peternakan hingga skala industri. Bukan air jernih berkualitas A yang langsung bisa diminum yang kita jumpai tapi air tercemar berat yang justru membahayakan manusia dan memusnahkan biota air tawar. Saya tak bisa mengajak anak saya berburu udang, melihat ikan pun hal yang langka.
Tantangan dan Solusi Kelangkaan Ketersediaan Air Bersih

Aliran Sungai Dengkeng Klaten terancam limbah peternakan babi (Foto: koleksi pribadi diambil tahun 2019)
Indonesia dihadapkan dengan wacana bahwa ketersediaan air di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara bakal semakin langka hingga 2030. Dikutip dari Ruang Publik KBR, hal ini tertera dalam catatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Krisis air diprediksi mengancam hampir 10% wilayah Indonesia atau setara dengan dua kali luas Pulau Jawa. Sementara itu, kualitas air juga diperkirakan menurun signifikan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut krisis air ini merupakan dampak terjadinya perubahan (krisis) iklim ekstrem.
Bagi saya, krisis air ini sangat paradoks dengan kelimpahan air secara alami di Indonesia. Indonesia harus bersyukur memiliki curah hujan 2.000-3.000 milimeter per tahun lebih tinggi dari negara subtropis. Indonesia kaya mata air tidak seperti negara padang pasir.
Setidaknya, Indonesia memiliki 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai 1.512.466 kilometer persegi (sumber di sini). Sebagai negara tropis, Indonesia setiap tahun memiliki musim penghujan. Menurut Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Muhammad Reza yang disampaikan dalam siaran Ruang Publik bersama KBR Indonesia mempunyai curah hujan tinggi dengan jatah kepemilikan air sembilan kali lipat dari rata-rata dunia. Namun, masih terdapat setidaknya 119 juta orang Indonesia yang tidak mendapat akses air bersih dan sanitasi.
Sewaktu saya masih kuliah di Yogyakarta sekitar tahun 2007, Kali Code yang membelah Kota Gudeg ini pun mulai menunjukkan kekeruhan akibat tercemar limbah domestik. Atas keprihatinan itu, saya dan teman-teman lintas fakultas yang tergabung dalam kelompok riset universitas mencoba membuat penelitian. Tujuan penelitian yang kami lakukan adalah meneliti akar pohon gayam yang berfungsi bisa menjernihkan air. Sehingga melakukan penanaman pohon gayam di sepanjang kali khususnya di daerah dengan kekeruhan tinggi akibat pencemaran bisa mengembalikan air Kali Code tetap jernih.
Tahun berikutnya, saya dan teman-teman mengajukan proposal penelitian yang bertujuan untuk menanggulangi krisis air bersih yang setiap tahun pasti dialami Desa Kemalang di lereng Gunung Merapi. Cara yang kami lakukan adalah dengan mengonservasi air hujan dengan menampungnya dalam kolam-kolam konservasi yang digunakan komunal.
Air hujan tersebut dapat menjadi cadangan saat musim kemarau tiba saat bak penampungan pribadi yang ukurannya lebih kecil hanya mampu mencukupi kebutuhan satu-dua bulan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan selama enam bulan kemarau. Dari kolam komunal dialirkan ke rumah-rumah warga melalui pipa. Proposal kami tersebut didanai DIKTI usai melalui kompetisi nasional.
Cara yang pernah kami laksanakan ini senada dengan yang dilakukan oleh masyarakat peduli air Yayasan Air Kita Jombang Jawa Timur yang mencoba mengedukasi masyarakat bahwa panen air hujan dapat digunakan untuk minum. Menurut Cak Purwanto dari kelompok masyarakat peduli air dari Yayasan Air Kita yang dikatakan dalam Ruang Publik bersama KBR, kelompoknya menyasar atau bergerak di akar rumput (grass root) sebagai pertahanan terakhir.
Bukan tidak ada upaya, tapi langkah pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan tidak sebanding dengan laju kerusakan sungai yang tinggi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2016 menyebutkan kerusakan DAS di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari hasil evaluasi 106 DAS yang menjadi prioritas di Indonesia, 52 DAS tercemar berat, 20 DAS tercemar sedang-berat, dan 7 DAS masuk katergori tercemar ringan-berat (sumber di sini). Akibat kerusakan DAS menyebabkan kuantitas dan kualitas air sungai menurun.
“Sungai bersih dan aman hampir hilang karena pola pembangunan yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi.” – Muhammad Reza.
Menurut awam saya, dengan mengoptimalkan kedua potensi dari air sungai dan air hujan bangsa kita bisa terhindar dari kelangkaan air bersih. Yang diperlukan adalah merestorasi dari kawasan sungai dari hulu hingga hilir, upaya rehabilitasi lahan dan hutan secara besar-besaran di kawasan hulu, dan mengendalikan laju eksploitasi kawasan hutan maupun mata air di hulu. Upaya merestorasi sungai sendiri tidak melulu melalui pendekatan teknik sipil tapi juga pendekatan alam.
Sementara itu, untuk bisa mengoptimalkan air hujan dengan pembuatan biopori, memperbanyak sumur resapan di perkotaan, dan kolam-kolam penampungan dari pribadi hingga komunal. Daerah-daerah tangkapan atau resapan air hujan harus dijaga dengan baik sehingga air hujan tidak “menggelinding” begitu saja tapi bisa tertahan melalui akar-akar pohon dan menjadi menjadi sumber mata air sepanjang tahun. Semenisasi atau betonisasi di kawasan resapan dan sumber mata air harus dicegah karena bisa mematikan sumber air sendiri.
Tentu saja agar air sungai menjadi layak minum kita harus bertanggung jawab menjaga kelestariannya. Upaya penegakan hukum terhadap para pelanggar seperti mengalih fungsi hutan dan pembuang limbah pun harus maksimal dan menimbulkan efek jera. Pemukiman atau pendirian bangunan harus mengikuti aturan garis sempadan sungai yang tertuang dalam PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai. Di antaranya untuk sungai tidak bertanggul dengan kedalaman lebih dari atau sama dengan tiga meter di kawasan perkotaan paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri maupun kanan palung sungai di sepanjang alur sungai.
Air sungai dapat dialirkan ke penampungan bersama dalam setiap daerah kemudian dilakukan pengolahan agar didapatkan air bersih. Dari tampungan bersama lalu dialirkan ke masing-maising warga. Begitu juga dengan air hujan selain bak pribadi ada kolam yang digunakan bersama untuk kemudian dimanfaatkan secara umum. Hal ini bisa membantu kerja PDAM yang tidak bisa menjangkau seluruh masyarakat.
Beberapa daerah telah sukses mengadopsi langkah penanggulangan krisis air bersih tersebut. Daerah lain yang masih mengalami masalah serupa bisa mengamati, meniru, dan memodifikasi sesuai karakteristik wilayah masing-masing. Seperti di daerah Kemalang atau Gunung Kidul yang kondisi geologinya berupa pegunungan maka menangkap air hujan menjadi alternatif utama. Daerah dataran yang dilintasi sungai besar bisa mengoptimalkan air sungai.
Seperti yang disampaikan Muhammad Reza krisis air di Indonesia tidak terjadi secara alami tapi karena krisis pengelolaan. Karenanya membutuhkan sinergi dari semua elemen bukan malah saling menepi untuk melepas tanggung jawab. Masyarakat, pemerintah, dan swasta harus berkolaborasi kemudian seperti kata Cak Purwanto untuk mencari titik dan menarik benang merah untuk mendapatkan satu komitmen satu garis dalam mengelola, memanfaatkan, dan melestarikan air.
Lalu, jika ditanya apa yang sudah saya lakukan menghadapi ancaman krisis air bersih? Secara pribadi saya memang belum melakukan gebrakan besar, tapi yang selalu coba secara konsisten saya lakukan adalah tidak mubazir air, kemudian memanfaatkan air hujan atau air bekas untuk menyiram tanaman.
Di sisi lain, tidak membuang sampah sembarangan. Sampah yang dibuang sembarangan bisa mengalir ke sungai saat hujan atau terbawa angin yang dapat mencemari air sungai. Sampah yang menumpuk dapat menyumbat aliran yang menyebabkan banjir saat hujan. Sehingga tak ada lagi dilema kekeringan saat kemarau, banjir saat musim penghujan.
Tak hanya itu, meskipun tinggal di daerah perkotaan, saya tetap mengusahakan untuk berkebun. Jika setiap orang setidaknya membutuhkan dua pot untuk bernapas, maka jika anggota keluarga saya terdiri dari empat orang, minimal jumlah delapan pot telah saya penuhi. Tanaman tersebut bisa menghasilkan oksigen untuk kita bernapas dan memurnikan udara di sekitar kita. Tidak hanya bunga, saya pun berkebun sayur seperti daun bawang dan cabe yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan salahsatu sumber ketahanan pangan keluarga.
Dimulai dari diri sendiri, kita bisa mencegah kelangkaan air bersih dan melakukan upaya mitigasi maupun adaptasi terhadap krisis iklim yang mengancam lingkungan global. Mari bersama mengembalikan air sungai untuk kehidupan dan bijak memanfaatkan air hujan serta menjaga kelestarian hutan untuk kesejehteraan.
Mari menjaga bumi kita!