Hi green buddies,
Papua ini begini. Papua itu begitu. Sudah banyak (sebenarnya sedikit) yang saya dengar tentang Papua. Saya memiliki kenalan orang asli Papua dan mempunyai beberapa teman yang sempat tinggal di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
Papua sendiri sebelum saya mengikuti Wonderful Papua Online Gathering yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan dan EcoNusa Foundation, 7 Agustus 2020 lalu bagi saya masih sama, Puncak Cartenz (efek keseringan nonton Jejak Petualang sejak masih bernama TV 7).
Usai mengikuti #WonderfulPapuaGathering, sederet spot ciamik di Papua menambah daftar panjang bucket list perjalanan impian yang ingin saya wujudkan.

Mengikuti Wonderful Papua Gathering Online (Foto: Koleksi pribadi)
Sebagaimana saya memberi judul artikel ini, Buddies, mungkin penasaran juga kenapa saya memasukkan Papua ke keranjang impian perjalanan? Selain yang pernah saya dengar atau pernah saya lihat tidak langsung sebelumnya, para narasumber di event Wonderful Papua, sukses membuat baper untuk menjejak kemolekan surga dunia.
Kemana saja saat di Papua?
Mengutip apa yang disampaikan CEO EcoNusa, bahwa Papua bukan hanya Raja Ampat. Semua tanah di Papua itu cantik. Saat ini sudah banyak informasi kalender wisata Papua. Seperti kata Kak Alfa, Papua khususnya Papua Barat itu seksi sekali. Eksotis.
“Sebagai destinasi hijau, Papua tidak hanya memiliki Raja Ampat. Ada Danau Sentani, The Bird of Ballerina… Semua tanah di Papua itu cantik” – Bustar Maitar Founder dan CEO EcoNusa
Destinasi wisata bisa dikunjungi sesuai minat masing-masing wisatawan. Bisa saja daftar perjalanan impian dari saya tidak sesuai karena semua kembali kepada minat dan hobi masing-masing. Karena saya tim “gunung” jadi saya tidak memasukkan Raja Ampat, bukan karena Raja Ampat tidak rekomended. Karena kembali lagi, Papua bukan hanya Raja Ampat dan minat kita bisa berbeda. Apa yang orang lain bagus belum tentu juga bagus buat kita. Jadilah diri sendiri, begitu juga saat menentukan destinasi.
Cartenz Pyramid
Sebagaimana yang sudah saya utarakan di awal postingan ini, Papua bagi saya identik dengan Cartenz Pyramid. Puncak Pegunungan Jaya Wijaya ini merupakan bagian dari taman nasional terluas di Asia Tenggara Taman Nasional Lorentz. Titik tertingginya berada 4.884 mdpl dan menjadi salahsatu seven summits dunia. Jika boleh mengutip Zafran, salahsatu impian yang saya taruh lima cm di depan kening saya adalah puncak tertinggi di Indonesia tersebut. Satu-satunya hamparan salju abadi tropika.
Perkebunan Kopi Wamena
Daerah penghasil kopi terbesar di Papua yaitu Nabire dan Wamena. Kopi yang pernah saya cicip yaitu Kopi Wamena persembahan dari #BPNxEcoNusa. Saya pun menjajal kreasi puding kopi Wamena. Saat bubuk kopi bercampur dengan jelly bubuk, agar-agar bubuk, dan gula aroma kopi menguar mendominasi padahal dengan persentase takaran terkecil. Sebagai topping saya menambahkan susu kental manis putih sebagai pengganti whipping cream.
Karena saya tidak ahli kopi dan doyan kuliner, saya tidak bisa berbicara lebih banyak. Kenapa saya memilih mencoba resep puding, karena agar kopi bisa dinikmati anak-anak. Anak saya yang sulung pun begitu lahapnya menyantap puding yang so yummy… Enak, kok!

Puding Papua Wamena Arabica (Foto: Koleksi pribadi)
Taste istimewa kopi organik ini berasal dari penanaman dan pengolahan yang masih tradisional. Lokasinya berada di sisi timur pegunungan Jaya Wijaya di sepanjang Lembah Baliem. Saya ingin mengunjungi secara langsung perkebunan dan bersua dengan masyarakatnya. Kunjungan ini bisa saya barengkan dengan Festival Lembah Baliem yang sudah terkenal di kalangan pejalan. Festival Lembah Baliem diadakan hampir setiap tahun pada tanggal 5-9 Agustus.
Ecovillage Malagufuk
Kampung Malagufuk Kabupaten Sorong merupakan lokasi bird watching untuk spesies endemik Papua dan tentu saja burung surga Cendrawasih yang pandai menari a la balerina. Saya pun ingin lebih dekat dengan Hutan Klasow yang kaya akan keanekaragaman hayati. Tidak hanya cendrawasih dan spesies burung lainnya tapi seperti saya kutip dari EcoNusa di sini terdapat kupu-kupu sayap burung yang memiliki rentang sayap seperti sayap burung.
Pengunungan Arfak
Jujur saya ingin menapakkan kaki di Pegunungan Arfak Papua Barat karena baper seusai melihat tayangan petualangan Kak Alfa Ahoren yang diputar saat sesi gathering. Di antaranya menjumpai flora dan fauna endemik, berjumpa pohon sagu penghasil papeda makanan khas Papua hingga menikmati pemandangan Danau Anggi kembar dari ketinggian.
“Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Ekosistem yang membuat Papua unik” – Alfa Ahoren, Anak Muda sekaligus Pegiat Ekowisata Papua
Stadion Mandala Jayapura
Balik lagi ke Provinsi Papua saya ingin berpose di depan Stadion Mandala. Sebagai maniak bola, saya kerap menyaksikan stadion ini saat tim Persipura Jayapura bermain kandang. Lokasi stadion yang tak jauh dari pantai membuat unik apalagi saat senja dan mendapatkan sunset. (Walaupun bukan destinasi hijau, anggap saja bonus perjalanan ya apalagi jika kebetulan tim Mutiara Hitam sedang berlaga 😀)
Selain nama-nama di atas ada Danau Sentani, Danau Habema, Kaimana surga pemancing yang namanya begitu familiar di kalangan pecinta Mancing Mania, Taman Nasional Wasur yang disebut Serengeti (TN di Afrika yang merupakan salah satu dari 10 keajaiban alam)-nya Indonesia, Teluk Cendrawasih, menyaksikan sarang semut yang mujarab di Merauke, hingga napak tilas lokasi pengasingan tokoh bangsa oleh Belanda di Boven Digoel. Apapun itu kembali sesuaikan taste traveling Kalian, ya.
Ohya, balik lagi jika melihat list saya, rasanya saya harus di Papua lebih dari sebulan atau harus memecahnya dalam beberapa kali kunjungan hihi… Karena rencana perjalanan saya menyebar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Sekedar informasi, untuk Cartenz Pyramid sendiri membutuhkan waktu sekitar 17 hari (harus rajin latihan fisik dan gemar menabung!!!).
Peta Destinasi Impian di Papua (Posisi mungkin tidak akurat, hanya untuk keperluan gambaran perjalanan).
Sebelum ke Papua
Sebelum beranjak ke Papua, selain bekal fisik, mental, dan materi yang cukup, sebaiknya niat dan tujuan kita ke sana pun harus sama. Papua mengusung konsep #PapuaDestinasiHijau itu artinya kita pun harus berangkat sebagai green traveler. Masyarakat Papua hidup berdampingan dengan alam, adat budaya mereka pun terkait dengan alam. Hutan bagi mereka merupakan Ibu yang memberi nafas bagi banyak orang. Perilaku wisatawan yang jauh dari tanggung jawab dapat merusak Ibu yang menghidupi masyarakat Papua. Apalagi Papua juga merupakan benteng hijau penyelamat dari krisis iklim yang penting untuk dijaga dan dilestarikan.
Menyamakan Persepsi
Green traveler harus memahami dasar-dasar ekowisata. Bagaimana aktivitas kita bisa berperan dalam pemberdayaan masyarakat dan mengangkat perekonomian warga. Sebuah perjalanan untuk mendapatkan pengalaman, dan nilai-nilai yang unik dari destinasi yang kita kunjungi.
Dengan menyamakan “visi” maka tujuan Papua sebagai Destinasi Hijau tercapai. Kita sebagai wisatawan pun bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang menunjangnya. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Seperti jangan membawa sampah, tetap menjaga kebersihan. Saya jadi teringat ucapan Pak Christian, Raja Ampat Bukan Raja Sampah.
“Yang perlu diperhatikan setiap traveler harus bisa menjaga keindahan Papua” – Christian Ketua Asosiasi Pemilik Homestay Papua
“Sharing is Caring”
Akan lebih baik lagi jika saat kunjungan kita bisa memetakan masalah dan mencari solusi. Tidak usah terlalu ribet. Mungkin anak-anak di sana membutuhkan mainan, buku, sehingga usai kembali kita bisa menggalang donasi mainan atau buku bekas.
Sebagaimana yang saya ikuti dalam gathering kemarin ada beberapa tantangan yang bisa saya petakan seperti kebutuhan bahasa Asing bagi warga. Sebab menurut Pak Christian Ketua Asosiasi Homestay Papua kebanyakan wisatawan yang datang ke Pulau Irian adalah wisatawan mancanegara. Keterbatasan penguasaan bahasa kerap menjadi kendala bagi local guide saat memandu para wisatawan. Sehingga antara tuan rumah dan tamu kurang terjadi interaksi aktif.
Sebagai green traveler kita bisa memberikan pelatihan dan pendampingan pelatihan Bahasa Asing seperti Bahasa Inggris. Jarak yang jauh bukan lagi menjadi alasan karena bisa dilakukan tatap muka secara virtual. Kalaupun kita tidak bisa turun langsung setidaknya dengan menulis dan tulisan kita dibaca akan menggerakkan hati orang lain. Seperti yang saya lakukan saat ini.
Saat para pemandu lokal memiliki kemampuan bahasa yang mumpuni maka pengalaman yang didapat para wisatawan lebih optimal. Sehingga bakal membuat mereka melakukan kunjungan balik dan merekomendasikan kepada keluarga/teman.
Pertukaran Pengetahuan dan Teknologi
Ekowisata bukan sekedar bersenang-senang. Tapi win-win solution, keduanya sama-sama diuntungkan. Saat berada di sana kita bisa mengobrol dari hati ke hati. Alangkah baiknya jika dalam waktu singkat kunjungan memberi makna. Kita sama-sama mendapatkan pengetahuan baru.
Sebelum acara inti dimulai acara ini dibuka dengan pemutaran dokumenter “Malagufuk; Hutan Kami Hidup Kami”. Di bagian awal terdapat narasi pemuda lokal yang pergi ke kota mencari penghidupan, sampai akhirnya ia tersadar bahwa kampung halamannya merupakan sumber penghidupan itu sendiri.
Hal-hal seperti inilah yang bisa menjadi misi kita, seringkali apa yang dihadapan kita tidak nampak, seringkali kota dianggap lebih menjanjikan, lalu bagaimana jika para generasinya pergi, siapa yang akan menjaga warisan tak ternilai tersebut?
Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Kita ini mau wisata atau ikut program pengabdian sih? Yup, itulah yang menjadi salahsatu perbedaan wisata konvensional dengan ekowisata. Homestay merupakan rekomendasi utama dalam wisata jenis ini. Kita bisa membaur dengan adat, budaya, dan masyarakat suku asli dengan terlibat langsung dalam keseharian mereka. Selain tinggal di rumah-rumah warga, bersantap, dan membeli cendera mata produk kerajinan lokal seperti noken atau tas tradisional yang terbuat dari anyaman serat kayu. Dari segi ekonomi, kita bisa mengangkat penghasilan mereka. Di sisi lain, kita ikut mengenalkan produk khas Papua dan bangga dengan produk tanah air.
Berat? Tidak juga. Tinggal pilih mau jadi wisatawan yang bertanggung jawab atau tidak?
Pekerjaan Rumah
Ongkos akomodasi dan transportasi yang mahal kerap menjadai kendala. Untuk harga yang sama, generasi milenial yang umumnya doyan traveling hampir bisa dipastikan akan lebih memilih ke luar negeri sekalian sebut saja Eropa. Akan lebih baik jika harga bisa turun tapi sepertinya agak susah juga mengingat jarak dan kondisi geografisnya. Namun, tantangan tersebut bukan berart tidak bisa diatasi.
Kesadaran pribadi
Sepertinya halnya motivasi terbaik adalah dari diri sendiri, begitu juga dengan dorongan untuk melakukan perjalanan. Karena itulah menjadi tugas bersama para pihak yang terlibat, pelaku, pemerintah, lembaga terkait, dan kita sebagai warga Indonesia untuk lebih mencintai tanah air dan mengangkat derajat bangsa sendiri.
Memperbanyak teaser-teaser tentang Papua
Menggencarkan promosi iklan televisi, media massa, media sosial, hingga pameran budaya di kota-kota yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Begitu juga dengan di luar negeri dengan memaksimalkan para Pelajar Indonesia di luar negeri maupun peran kedutaan besar. Semakin banyak informasi yang diberikan, cakrawala orang akan semakin terbuka dan memutuskan ke Papua, Inilah Surga.
Virtual Tour Papua
Pandemi membuat segala yang tak mungkin menjadi mungkin. Wonderful Papua Gathering Online sanggup mengumpulkan peserta dari Sabang sampai Merauke dalam satu wadah dan waktu. Virtual tour memungkinkan ongkos yang mahal menjadi terjangkau bagi semua orang. Bisa memangkas anggaran paket hingga separo atau lebih. Dan adanya virtual tour akan membuat orang semakin penasaran untuk menginjak dan melihat langsung pulau kepala burung.
Promosi melalui Film
Mengapa Korea Selatan begitu famous dan menjadi destinasi favorit? Saya rasa salahsatu penyumbangnya adalah drama Korea. Lokasi syuting, balutan sejarah, dan budaya membuat penonton penasaran. Film Papua yang pernah saya tonton adalah Di Timur karya Ari Sihasale. Film-film ber-setting utama dan mengangkat budaya seperti ini harus diperbanyak.
Kemudian jaminan kenyamanan dan keamanan sehingga tidak ada alasan bagi turis untuk tidak menjajal ke Papua.
Last but not least, dari saya kepada green buddies mungkin akan lebih baik, sebelum ke luar negeri, kelilingilah dahulu Indonesia, kunjungi surga di Papua. Lalu ceritakan kepada seluruh dunia, betapa gemah ripah, loh jinawi-nya negeri kita.
Ohya, jika Kalian penasaran dengan Wonderful Gathering masih bisa ditonton via youtube EcoNusa TV juga, lho.
Semoga artikelnya bisa mengompori green buddies untuk menambahkan Papua di daftar impian yang ingin Kalian kunjungi juga ya! Pergilah ke “surga” sebelum ke surga.
Aku tiap kali dengar Papua pasti inget Buah Matoa. Udah pernah makan belum Mbak?
Matoa aja enaknya minta ampun, kayak apa ya buah2an ala Papua lainnya, termasuk yang dihutan sepanjang Pegunungan Arfak 🙂
Kayaknya udah pernah sih dibawain temen dulu. iyah manis rasanya… Hayuk, jalan-jalan ke arfak hunting buah-buahan asli hutan. Tapi harus rajin menabung dulu hehe…^^
Papua cantik alamnya semoga bisa diwariskan ke anak cucu kita ya keindahannya
iyah… aamiin…