
Kupu-kupu (Foto: Koleksi pribadi)
Kakak jingkat-jingkat. Ia bergidik ketakutan. Sembari menangis, ia meminta saya menghampirinya untuk minta gendong. Kakak bukan melihat apa, ia hanya melihat kupu-kupu melintas di depannya saat bermain.
Beda Kakak beda pula adiknya yang dipanggil Abang. Pertama kali ia menginjak rumput tanpa alas, Abang meraung-raung. Rumput di taman yang basah oleh embun. Awalnya saya berpikir ini akan menyenangkan baginya tapi nyatanya saya salah.
Mengapa Kakak bisa takut dengan kupu-kupu? Kontras dengan masa kecil saya, Bapak bahkan membuatkan jaring besar untuk menangkap serangga berkepak warna-warni itu. Abang mengapa menangis dengan sensasi rumput basah, tempat saya bermain dan berlari telanjang dulu bahkan hingga bergulung-gulung di rerumputan?
Pada akhirnya saya sampai pada kesimpulan, tentu saja apa yang saya rasakan saat masa kecil dengan kedua anak saya sekarang berbeda. Saya besar di pedesaan yang begitu erat menjadi bagian dari alam. Berbeda dengan kedua anak saya yang besar di lingkungan perkotaan, alam seakan menjadi bagian terpisah karena terkurung oleh pembangunan.
Kakak takut dengan kupu-kupu karena ia tak pernah melihat apa itu kupu-kupu? Kupu-kupu yang cantik itu seolah monster bagi Kakak? Abang menangis, karena ia tak tahu benda asing yang di kakinya? Saya merasa gagal menjadi seorang ibu, tapi saat itu juga saya sadar bahwa mereka adalah bagian dari alam. Benar sekali pendapat, mengenalkan lingkungan dan menumbuhkan kecintaan terhadap alam harus dilakukan sedini mungkin.
Tumbuh Bersama dengan Alam
Sebagai ibu, sudah tak asing bagi kita untuk menstimulasi kecerdasan anak sejak dini bahkan sejak dalam kandungan. Terkadang termasuk saya sendiri bingung mencari alat bantu untuk membantu kemampuan anak yang ingin dirangsang.
Pernah suatu ketika teman saya yang waktu itu masih menjadi newmom bercerita habis membelikan anak buku tekstur sebagai kegiatan sensory play pada anak. Anak belajar mengenal sentuhan kasar maupun halus. Saat anak pertama saya telah lahir, saya pun sibuk mencari buku tekstur untuk anak saya. Saya lupa jika alam sudah menyediakan semuanya untuk kita.

Mengajak anak meraba kulit mahoni yang bertekstur kasar (Foto: Koleksi pribadi)
Saat kita ke hutan atau taman di sekitar kita atau berkunjung ke kebun binatang, kita akan menemukan beragam jenis tumbuhan dengan karakteristik batang maupun daun yang berbeda-beda. Ada tumbuhan yang berkulit kasar misalnya mahoni, ada pula yang berbatang halus seperti bambu, ada daun yang berpemukaan halus seperti daun sawo kecik maupun yang kasar seperti daun mentimun, ada pula daun yang pinggirnya bergerigi, serta ada juga batang yang memiliki duri tajam, dan masih banyak karakteristik lainnya. Selain baik kesehatan karena menghirup udara segar di hutan, anak pun bisa mengembangkan indera peraba dan kemampuan sensoriknya.

Anak merasakan permukaan daun sawo kecik yang halus
Begitu juga saat masih dalam kandungan maupun bayi, banyak sekali yang merekomendasikan musik klasik karena baik perkembangan bagi otak bayi. Layaknya ibu yang lain, saya pun memiliki folder musik klasik tersebut. Tapi saya lupa, ada musik terindah yang terlupan yaitu nyanyian fauna di hutan. Burung berkicau, krik krik jangkrik saat malam, katak bersenandung selepas hujan, dan irama satwa lainnya yang menyatu dengan gesekan angin pada daun yang merdu.
Dulu ada teman saya yang berkata, ngapain mengajak bayi ke kebun binatang, toh dia belum mengerti? Bayi yang kita anggap tidak tahu apa-apa, kenyataannya ia telah memulai proses belajarnya dan tumbuh kembangnya. Saat mengajak k ekebun binatang, indera pendengarannya akan lebih peka karena banyaknya bunyi-bunyian yang ia dengar. Begitu juga dengan kemampuan bicara maupun kosakatanya, saat kita memberi tahu nama-nama hewan yang dilihatnya ia pun mulai belajar nama-nama hewan dan visualnya.
Kemudian mengajak anak bermain tanah. Di masa pandemi Covid-19 ini, berkebun menjadi trend bagi masyarakat kita. Inilah saatnya mengajak anak terlibat dari mulai penyiapan, penanaman, penyiraman, hingga pemeliharaannya. Membiarkan anak bermain tanah dan memasukkan tanah ke dalam pot sendiri dalam versinya sendiri seperti Abang yang menyulap truknya menjadi pot. Saya pun dibuat takjub ketika ia memamerkannya pada saya di suatu pagi setelah sebelumnya saya ajak terlibat saat berkebun. “Ibu… ibu… lihat,” katanya.
Berkebun dapat menjadi kegiatan menyenangkan sekaligus membuat anak aktif bergerak dan mau bergaul serta tumbuh menjadi anak pemberani. Orang tua di kampung halaman saya sendiri percaya bahwa anak yang suka bermain tanah dan bertelanjang kaki akan memiliki kekebalan alami lebih tinggi dibanding dengan yang tidak suka bercengkerama dengan tanah.

Abang bermain sekaligus belajar menanam (Foto: Koleksi pribadi)
Mengajak anak bermain ke hutan juga akan meningkatkan rasa percaya diri pada anak. Saat ia menunjuk sesuatu yang baru dikenalnya dan kita menjawabnya, anak merasa senang pendapatnya didengar. Dengan demikian rasa percaya dirinya untuk menyuarakan pendapat terpupuk.
Pepohonan dan alam di sekitar kita tidak hanya menyediakan udara bagi kita bernapas. Namun, dia dapat mengoptimalkan tumbuh kembang dan seluruh indera anak secara sempurna jika kita mempercayakan sejak dini. Saya sendiri menyesal kenapa saya tidak optimal mengenalkan alam sejak dini kepada mereka. Mereka baru bisa bersentuhan dengan alam ketika saya pulang kampung. Akibatnya seperti Kakak yang takut pada kupu-kupu maupun Abang yang menangis ketika bersentuhan dengan rerumputan.
Saatnya Melakukan Perubahan
Saya takut ketika anak cucu nanti tidak bisa mendapatkan manfaat yang begitu luarbiasa disediakan alam oleh kita akibat degradasi lingkungan. Ketika anak-anak tak bisa melihat kupu-kupu terbang di alam hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, mendengar kicau burung, menyentuh aneka pepohonan, dan lainnya. Namun, kita malah menyisakan PR ancaman bencana akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim bagi generasi mendatang.
Lalu, bagaimana caranya sementara saya sendiri hanyalah seorang ibu? Setidaknya dengan meluangkan waktu mengajak mereka ke hutan, taman, maupun kebun binatang untuk melihat sendiri rumah bagi keanekaragaman hayati, mengetahui manfaat hutan sebagai penyedia air, pangan, maupun obat-obatan, sehingga menimbulkan rasa kecintaan pada diri anak.
Dari rasa cinta maka anak akan belajar peduli pada alam dan terekam dalam alam bawah sadarnya hingga dewasa untuk terus melestarikan alam. Dari yang saya perhatikan sendiri, anak saat bergaul suka “pamer” kepada temannya. Anak saya sendiri selalu “ember” kepada temannya jika dia habis kemana, habis membeli apa begitu pula dengan temannya. Ketika anak kita “pamer” habis dari hutan bukan tidak mungkin temannya akan mengajak orang tuanya untuk mengikuti jejak ke hutan. Kampanye cinta hutan pun menjadi rantai yang tak akan putus.

Bermain di hutan kota (Foto: Koleksi pribadi)
Saat kita memperlakukan alam sebagaimana kita merawat dan membesarkan anak sendiri, alam akan memberi lebih kepada kita. Alam akan menjadi partner dalam membentuk karakter fisik maupun mental begitupula dengan kecerdasannya. Anak yang terbiasa hidup di alam akan tumbuh sehat dan kuat serta memiliki rasa sosial, kemandirian, tanggung jawab, dan solidaritas yang lebih tinggi. Di sisi lain pun, kita berkontribusi menjaga bumi tetap hijau dan mencegah perubahan iklim dengan cara sederhana yang bisa kita lakukan sebagai seorang ibu.
Semoga tulisan saya bermanfaat ya^^
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini