[BOOK REVIEW] The Greatness of Al-Andalus

Diterjemahkan dari judul asli GOD CRUCIBLE: Islam and the Making of Europe, 570-1215
karya David Levering Lewis
terbitan WW Norton, New York: 2008

The Greatness of AL-Andalusia; Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat
Penerbit Serambi
Cetakan III Desember 2012
ISBN 978-979-024-330-9
Jumlah halaman: 665

 

Halo Book Buddies,

The Greatness of Al-Andalus

Akhirnya saya berhasil menamatkan buku ini yang sudah saya beli sejak awal tahun 2013. Seingat saya, saya sudah beberapa kali membaca buku ini namun sayangnya tak pernah tuntas. Semangat membaca buku ini ternyata tak seantusias ketika saya pertama kali melihatnya mejeng di jajaran rak depan Gramedia Pejaten Village, Jakarta petang itu.

Sampai akhirnya setelah 7,5 tahun kemudian akhirnya selesai dengan sedikit paksaan. Awal mulai membaca lagi sebelum puasa atau sekitar Maret 2020 dan baru tuntas akhir Agustus 2020. Sembari menyelesaikan buku ini, saya pun sudah melahap beberapa buku ringan sebagai selingan salah satunya yang minggu lalu saya tuliskan, DreamCatcher.

Ohya, kenapa saya tertarik membeli buku ini? Mungkin karena sebelumnya saya sudah membaca buku “99 Cahaya di Langit Eropa” karya Hanum Rais. Buku itu seakan menguak bahwa Eropa dan Islam tidak bisa dipisahkan. Hanum juga menyebut jika city of lights itu adalah Cordoba di zamannya. Ingatan samar saya saat pelajaran Tarikh di sekolah dulu juga membangkitkan romansa akan kejayaan Islam. Jadi saya berpikir buku ini bakal menggenapi apa yang sudah saya baca maupun saya dengar tentang Islam dan Eropa.

BLURB

Peran Islam dalam Mengakhiri Abad Kegelapan

Pada musim gugur 732, dua pasukan besar, Muslim dan Kristen, saling berhadapan di tengah dataran Prancis dalam sebuah pertempuran yang akan mengubah sejarah Eropa. Itulah perang Poiters yang terkenal itu. Menurut sejumlah keterangan, Charles Martel, memimpin Pasukan Frank, menyelamatkan kekristenan dari serbuan Islam sekaligus menghentikan gelombang Muslim yang merangsek menjangkau Spanyol.

Namun, benarkah demikian? Tidak, kata David Levering Lewis. Dalam buku ini, pemenang dua kali penghargaan Pulitzer itu menelaah ulang Perang Poieters dengan sudut pandang baru. Dalam menceritakan periode 400 tahun masa kekuasaan Muslim di Eropa, Lewis meragukan asumsi-asumsi yang mendominasi buku-buku sejarah konvensional. Untuk itu, ia menghadirkan narasi yang memukau dan menempatkan Muslim Spanyol, dengan warisannya yang kaya dan gemilang, kembali ke jantung politik dan kebudayaan Eropa.

Dimulai dengan perang tiada henti antara kekaisaran Romawi dan Persia, Lewis menyusun buku ini sejak kelahiran Islam dan perkembangan kekuasaan Islam dari Timur Tengah dan Afrika Utara sebelum tiba di abad kegelapan Eropa. Berdiri secara mengejutkan di Spanyol pada pertengahan awal abad kedelapan, penguasa Muslim akhirnya menciptakan suasana sarat toleransi antara Muslim, Yahudi, dan Kristen. Kondisi inilah memunculkan Al-Andalus sebagai Negara makmur dan kosmopolit yang pada gilirannya mengubah wajah Eropa dan Barat.

Lewis menghadirkan potret Islam Spanyol yang luar biasa dalam detail sejarah yang begitu hidup, mulai dari keindahan yang sangat inspiratif La Mezquita, Masjid Agung Kordoba, sampai ke istana-istana khalifah yang besar-besar ketimbang istana di Versaillers.

Lewis menutup bukunya secara dramatis dengan mengisahkan bahwa saat kehancurannya, Islam justru menjadi bara pencerahan di Eropa, namun Muslim pragmatis kalah oleh fundamentalisme dan militansi di kalangan Kristen. Lewis menutup sejarah ini dengan potret yang syahdu melalui perikehidupan dua filsuf besar akhir abad tiga belas; seorang sarjana Yahudi Maimonides dan filsuf Muslim Ibnu Rusyd.

 

SESUDAH BACA THE GREATNESS OF AL-ANDALUS

Jujur, saya semakin banyak tahu terkait Islam dan pembentukan Eropa, iya. Jadi semakin bingung, merasa bodoh, dan penasaran, betul banget.

Buku ini sendiri dibuka dengan dua kekaisaran besar saat itu yaitu Greko-Romawi dan Iran-Persia. Sementara itu, Bangsa Arab yang disebut Saracen digambarkan sebagai penonton namun bisa mengambil keuntungan perdagangan dari geopolitik kedua imperium tersebut dan sebagai pusat ziarah Kabah di Mekah.

Belajar Tarikh saat enam tahun mengenyam pendidikan menengah di Muhammadiyah sangat membantu saya memberikan dasar pemahaman sejarah kelahiran Islam dan era sesudahnya. Sehingga sangat membantu saya memahami narasi dari pengarang.

Meskipun saya sudah belajar mengenai Islam, tapi Lewis menguakkan catatan-catatan sejarah mengenai Islam yang baru saya tahu atau mungkin dulu “terlewatkan” sendiri oleh saya saat sekolah 😀

Awalnya saya hanya mengetahui pasukan gajah yang menyerang Mekah saat kelahiran Nabi Muhammad 570 M dipimpin oleh Abrahah. Dari buku ini saya mengetahui jika Abrahah adalah raja muda Ethiopia dari Kerajaan Axum dibawah kekaisaran Romawi. Pasukan yang sudah kocar-kacir hendak melarikan diri tersebut akhirnya dikalahkan oleh pasukan Iran Sassania di Teluk Aden. Pasukan tersisa menyeberangi Laut Merah dan kembali ke Axumit.

Penyerangan ini sendiri dilakukan karena merasa terancam dengan Mekah sebagai pusat ziarah dan tersaingi dalam sumber pendapatan. Di Yaman, orang Ethiopia telah membangun gereja besar di San’an ibukota Yaman sekarang dan merencanakannya menjadi pusat ziarah besar.

*Saya agak “wow” jika Abrahah adalah seorang Ethiopia, Afrika. Itu artinya Ethiopia pernah berjaya dengan kerajaannya terbukti bisa memimpin pasukan menggunakan gajah menyeberang ke Semenanjung Arab

Di buku ini juga diceritakan mengenai perjalanannya sebagai saudagar, kapan Nabi Muhammad SAW menikah, menerima wahyu, fitnah terhadap Aisyah-istri terakhir Nabi mengenai kalung yang tertinggal di gurun, wafatnya Nabi, hingga khalifah penggantinya yang tidak ditunjuk oleh Nabi. Sehingga dari di sinilah awal demokrasi melalui musyawarah dan kecemburuan-kecemburuan pengikutnya dimulai tentang siapakah yang paling berhak menggantikan Beliau.

Kepemimpinan setelah beliau disebut Era Khulaur Rasyidin yanga terdiri dari Khalifah Abu Bakar As Sidiq, Khalifah Umar bin Khatab, Khalifah Usman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Di masa Ali bin Abi Thalib ini, Islam mulai terpecah. Usai Khulafaur Rasyidin, peradaban Islam dibawah Bani Umayyah berpusat di Damaskus, kemudian Bani Abbasiyah di Baghdad.

Di masa Khalifah Al-Walid ibn ‘Abd Al-Malik I, Islam mulai menyeberang ke Semenanjung Iberia dari Afrika atau yang dikenal dengan Maghrib. Tahun 711, Tariq menginjakkan kaki di “daratan di seberang yang terlihat oleh mata seperti sepotong kegelapan di cakrawala, akan segera mendapatkan nama merdunya al-andalus.” -halaman. 186.

Tariq sebagaimana saya ketahui merupakan Muslim pertama di Eropa. Namun, narasi di buku ini (masih di halaman yang sama) mengungkapkan jika Muslim pertama yang menginjakkan kaki di Eropa adalah Tarif ibn Thalib al-Mu’afir tahun 710. Hanya saja Tarif tidak memimpin pertempuran tapi hanya melakukan pengintain. “Desa Andalusia yang terdekat dengan titik debarkasi masih membawa nama pemimpin ekspedisi itu — Tarifa”.

Islam datang ke Eropa bukan serta merta (sejarah mencatat penaklukan Islam”, Levering menulis jika Islam ke Eropa atas “undangan” dari Gubernur Ceuta (Maroko), Count Julian. Puri Count Julian, Florinda dikirim untuk menjalani pelatihan sebagai dayang istana. Namun malapetaka tiba, Raja Witiza meninggal oleh perampas Tahta Visigoth Spanyol, Roderic. Florinda yang malang direnggut kesuciannya hingga hamil dan melaporkan kepada ayahnya. Count Julian merancang pengkhianatan dengan Duke Akhila (putra sulung Raja Wiltza) bersekutu dengan Tariq dari Tarngier. *Witiza, Wiltza? Saya mengikuti tulisan di buku.

“Pejabat Visigoth menawarkan jarahan dalam pertukaran dengan bantuan Muslim untuk memberontak melawan para bangsawan.” hal-192.

Ramadhan 92/ Juli 711 M, konfrontasi antara peradaban Islam dan Kristen Eropa dimulai, dengan dorongan Tariq yang memohonkan atas nama Allah, kavaleri Berber melangkah masuk ke dalam sejarah. Kavalari dan infanteri Tariq menghadapi pasukan Roderic yang jauh lebih besar di dekat Sungai Guadalete. Hispania Visigoth hancur, Tariq dan orang-orangnya datang untuk tingal selamanya -lebih dari tujuh ratus tahun.

Ekspansi Tariq digambarkan terus menggelinding ke Iberia seperti tsunami, mengumpulkan tatanan lama seperti sampah tersapu ke lautan sejarah. Namun, sayangnya, setelah kembali ke Damaskus tahun 714, nama Tariq, jenderal yang membawa Islam ke Eropa, lenyap sama sekali dari sejarah. *Namanya abadi menjadi Gibraltar yang dulunya bernama Calpe, arah timur Algeciras (nama Gibraltar berasal dari bahasa Arab, Jabal Tariq yang artinya Gunung Thariq)

Tariq bin Ziyad

Gambar: wikipedia 

Seperti yang sudah ditulis di blurb buku ini, Perang Poiters dikatakan mengubah sejarah Eropa. Meskipun kontroversi, Lewis mengungkapkan jika saja saat itu pasukan Muslim memenangkan pertempuran yang terjadi di Tour, Prancis selatan, bangsa Eropa akan lebih maju setidaknya dua abad. Hal ini berkaca dengan kemakmuran di Andalusia saat ilmu pengetahuan mulai menerangi kehidupan sedangkan orang-orang Eropa masih berseteru saling berebut kekuasan. Arsitektur-arsitektur para pemimpin Muslim sudah sangat maju dibanding pemimpin di Eropa yang masih menggunakan kayu. Arsitektur megah bisa dijumpai pada La mezquita. Saat Muslim sudah mulai menggunakan uang sebagai alat pertukaran sementara Eropa masih menggunakan barter.

Islam sendiri berhasil disandingkan dengan harmonis dengan kepercayaan lain seperti Yahudi dan Nasrani. Namun, sayangnya di akhir Islam harus terhempas karena pengusiran demi pengusiran.

Membaca buku ini sangat membuat saya pening dan beberapa kali berhenti. Sehingga saran saya sebelum membaca buku ini setidaknya harus sudah membaca buku “ringan” sejarah Islam, Romawi, maupun Eropa. Buku ini sangat detail dan kaya tapi alur yang digunakan maju mundur itulah yang membuat saya bingung dan sering berhenti untuk membolak balik. Kemudian, beda penyebutan yang kadang ambigu, apalagi nama-nama pemimpin yang mirip hanya angka di belakang yang membedakan.

Buku ini sendiri dipandang kontroversi bagi orang Eropa maupun sejarawan. Nah, ini ada dua review dari luar yang saya baca atau jika book buddies ingin membaca dari angle Eropa.

Book review: “God’s Crucible: Islam and the Making of Europe, 570-1215” by David Levering Lewis

God’s Crucible: Islam and the Making of Europe, 570-1215 by David Levering Lewis

Sebenarnya, pengetahuan di buku ini masih banyak dan tidak akan menyesal jika memilikinya. Namun, segitu dulu yang bisa saya endapkan. Kalau saya membaca ulang suatu hari nanti akan saya perbaharui. Seperti David Levering Lewis menutup buku ini saya ingin mengutip apa yang tertulis di dinding Masjid Agung Abdurrahman I, la Mezquita.

Menjelmakan apa yang telah datang sebelumnya. Menerangi apa yang datang setelahnya.

Semoga bermanfaat^^

 

Bandung #008

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.