THE GEOGRAPHY OF GENIUS: PENCARIAN TEMPAT-TEMPAT PALING KREATIF DI DUNIA DARI ATHENA KUNO SAMPAI SILICON VALLEY
Diterjemahkan dari The Geography of Genius: A Search for the World’s Most Creative Places from Ancient Athens to Silicon Valley karya Eric Weiner
Terbitan Simon & Schucter, 1230 Avenue of the America, New York, NY 10020

Penerjemah: Barokah Ruziati
Cetakan 1, Juni 2016
Diterbitkan oleh Penerbit Qanita
PT Mizan Pustaka, Bandung
576 h.; 20,5 cm
ISBN 978-602-402-024-8
COVER BELAKANG
Dalam buku ini, Eric weiner melakukan perjalanan ke beberapa tempat di dunia untuk mencari tahu hubungan antara lingkungan kita dan ide-ide inovatif. Ia menjelajahi sejarah kota-kota, seperti Wina, Florence, Athena, Hangzhou, dan tentu saja Silicon Valley.
Masih dengan gayanya yang nakal, cerdas, dan humoris, Weiner menapaktilasi jalan yang pernah dilalui Socrates, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci. Ia juga merenungkan sejarah teori Darwin, pemikiran Freud, dan berjalan-jalan di hutan seperti yang dilakukan Beethoven zaman dulu.
The Geography of Genius mendefinisi argument tentang bagaimana seorang genius muncul. Weiner mengevaluasi ulang tentang bagaimana pentingnya budaya dalam memantik dan memelihara kreativitas.
“Weiner itu seorang filsuf, pemandu perjalanan, dan motivator—tentu saja dia juga kocak!” –Vanity Fair
SINOPSIS BUKU INI
Ini adalah buku kedua Eric Weiner yang aku baca. Jika “The Geography of Bliss” menceritakan perjalanan Eric keliling dunia untuk mendefinisikan kebahagiaan. Dalam buku ini tak kalah “nyentrik” Eric mengunjungi kota-kota “genius kreatif”. Eric mencoba menyusuri kembali tempat kumpulan orang genius itu berada, tidak hanya di tempat tertentu tapi juga pada zaman tertentu dan zamannya bukan sekarang.
Sebelum memulai petualangan pencarian tentang genius kreatif, Eric mengunjungi University College London untuk melihat Kotak Galton dibantu oleh Subhadra Das, sang penjaga kotak. Dari sana, Eric terbang 7000 mil ke University California untuk menemui petualang intelektual, Dean Keith Simonton. Professor ini memiliki teori-teori mengenai genius kreatif yang memperkaya perjalanannya menapaktilas asal para genius kreatif.
Perjalanannya dimulai di Yunani, tempat Athena kuno berada. Kota kelahiran para pemikir hebat Plato, Socrates, Aristotle(es) termasuk Hormer, penulis pertama di dunia. Oleh Eric, aku diajak ke Acropolis, kota yang tinggi. Parthenon, puncaknya dengan stoa atau tiang penopang. Parthenon menggambarkan prestasi teknik yang tidak pernah dicapai sebelumnya, Ictinus sang arsitek.
Ketika aku mencoba search di google, ternyata Parthenon ini sudah familiar. Tiang-tiang bangunan ini mengingatkanku pada desain-desain bangunan klasik Eropa termasuk peninggalan Belanda di Indonesia yang masih bisa disaksikan bahkan masih digunakan hingga kini seperti gedung MK.
Selain itu, apa yang didapatkan Eric di Athena, meskipun dia tahu betul bahwa Athena saat ini bukanlah Athena 450 SM?
Oleh Aristotle, pemandunya, Eric diajak ke jantung kota Athena kuno, bukan Parthenon seperti dugaannya, tapi Agora.
“Hal yang dihargai di suatu negeri akan tumbuh di sana,” ia mengutip Plato. Orang-orang Athena menghargai alam dan senang berjalan kaki. Selain itu, mereka bukan penggemar kuliner. Bahkan, Eric menyisipkan bagaimana menu Athena yang terasa hambar di mulutnya.
Dari Yunani, Eric bertualang ke Hang Zhou. Ia pun mengikuti penjelajah Italia Marco Polo yang memuja Danau Barat. Danau yang sama yang menyaksikan kota Hangzau terbaik dan terhebat di dunia abad-13. Di China, Eric mencoba menyesap teh berbeda dengan kebiasaan orang Barat yang merupakan pecandu kopi untuk membantu berpikir lebih cepat.
Di sini Eric -menurutku- sangat beruntung bisa bertemu Jack Ma. Siapa sih yang tidak kenal dengan Jack Ma? Salahsatu orang terkaya di China melalui bisnis Ali Baba –Jack Ma sendiri pernah datang ke Indonesia— Pertemuan Erick dengan Jack Ma membuka sebuah tabir bahwa kemunduran “genius kreatif” di China ditengarai akibat beban pendidikan yang ketat sehingga belajar bukan lagi hal yang menyenangkan dan justru malah menjadi beban dan mengekang. Membaca ini seolah mengingatkan saya pada buku perjalanan yang ditulis penulis Korea Selatan Eje Kim, yang menurutnya beban pendidikan dan tuntutan kualitas sumberdaya manusia di Korea Selatan malah membuat anak-anak menjadi tidak happy.
Perjalanan Eric berikutnya adalah ke Florence, Italia. Tempat lahirnya Renaissance. Renaissance merupakan era bangkitnya ilmu pengetahuan modern di Eropa bermula di Italia pada abad 14-16. Di kota inilah mahakarya nama-nama Verrochio, Michelangelo, Leonardo da Vinci lahir.
Melalui catatan-catatan Eric selama di Florence, uang memiliki andil yang cukup besar dalam melahirkan sebuah kota “genius kreatif”. Dinasti Medici membuktikan lewat uangnya ia bisa membangun bengkel kerja dan menemukan bibit-bibit seniman yang namanya mendunia hingga kini seperti ia menemukan bakat Leonardo da Vinci.
Dari Florence, pencarian “genius kreatif” pindah ke Edinburgh tempat lahirnya para genius menjelang abad -18. Skotlandia bukanlah tanah surga dengan tanah suburnya tak lebih dari 10 persen. Dari cuaca sendiri seakan tak bersahabat, karena pagi yang cerah akan segera berubah menjadi hujan dengan dingin menggigit. Namun, justru keterbatasan itu membuat bangsa Skotlandia mampu melampaui geografinya dan melahirkan nama-nama hebat.
Sherlock Holmes, kisah detektif yang bisa dikatakan siapa yang tidak tahu, penulisnya adalah Sir Conan Arthur Doyle, seorang mahasiswa kedokteran di Skotlandia. Bagaimana berjalan di Skotlandia telah banyak menginspirasi JK Rowling menelurkasn serial Harry Potter yeng menyihir seluruh anak di dunia. Bagaimana gunung Arthur’s Seat di pinggir Edinburgh melahirkan geology James Hutton. Ilmu yang belum ada saat itu.
Pencarian kota “genius kreatif” belum berakhir, Eric kemudian menuju ke Kolkata India, Wina Austria, dan mengakhiri misinya di Silicon Valley California. Kolkata merupakan salahsatu ibukota intelektual hebat dunia kira-kira tahun 1840-1920. Di Kolkata, Eric mendapat wejangan untuk berjalan di pagi hari tanpa menetapkan tujuan dengan membawa sedikit uang. Hal itu diyakini akan membawa pada pencerahan dan Eric melakukannya.
Wina memiliki dua zaman keemasan yang berbeda. Pertama, kurang lebih tahun 1800 yang menghadirkan sederet tokoh musik klasik seperti Beethoven, Mozart, Haydin, Schubert. Satu abad kemudian, ledakan kegeniusan meluas menyentuh segala bidang.
Di Wina, Eric melihat ragam budaya melahirkan “genius kreatif”, dan bagaimana seorang genius itu tidak bisa sendiri dan pasti akan menemukan audiensinya. Di Wina, orang menghargai itu. Di Wina yang berlatar pegunungan Alpen dengan cuaca yang cepat berubah seperti di Skotlandia, orang tidak membicarakan pekerjaan kepada orang dekat. Namun kata kunci yang saya catat adalah jika kunci kebahagiaan di Wina adalah cinta dan kerja.
Petualangan “genius kreatif” mendamparkan Eric di Silicon Valley, rujukan teknologi yang masih berlangsung hingga kini. Di antaranya lahir dari Stanford University. Kampus bukan apa-apa menjadi terkemuka yang membawa perubahan. Saat ini dimana akibat digital tak ada lagi sekat di antara seluruh penduduk dunia. Namun, menghilangkan sekat itu rasanya seperti ironi karena ternyata orang-orang dibalik layar penciptaan teknologi itu sendiri memiliki koneksi yang lemah –tidak akrab–. Mereka berasal dari latar belakang maupun asal yang berbeda tapi itu menjadi keuntungan karena tidak membawa beban. Koneksi kuat dianggap membuat orang di dalamnya merasa nyaman sehingga membatasi sudut pandang. Sementara ilmuwan dengan sedikit rekan akrab terbukti lebih kreatif.
SETELAH MEMBACA BUKU INI
Tadinya aku agak kecewa dengan buku ini, sebagai Muslim, aku merasa Eric tidak fair karena tidak memasukkan negeri Muslim di masa lalu yang pernah mencapai keemasannya. Antara abad 10-11, Islam pernah mencapai kejayaannya di bawah kepemimpinan Baghdad maupun Andalusia, banyak nama-nama ilmuwan Muslim tercatat.
Namun, aku akhirnya mendapatkan catatan tentang peran Islam di halaman 319. Eric menulis bahwa tak lama setelah kedatangan Islam, bangsa Arab unggul dalam berbagai bidang dari astronomi sampai kedoteran dan filsafat. Zaman keemasan Muslim terbentang dari Maroko sampai Persia dan meliputi banyak Negara. Sayangnya, informasi yang diberikan hanya secuil dan sepertinya Eric tidak tertarik mencari tahu lebih banyak tentang keemasan Islam, atau bisa juga kota-kota tersebut tidak masuk “genius kreatif” versi Eric Weiner.
Aku butuh waktu sekitar tiga minggu untuk menuntaskan buku ini. Buku ini masuk kategori “berat” menurutku sehingga tidak bisa dibaca dengan teknik cepat. Namun, apa yang didapat dari buku ini menurutku sangat “worth it”. Banyak hal yang bisa dipetik. Dari satu buku ini, aku mendapatkan motivasi menjadi seorang genius kreatif, berikutnya tips bagaimana menyikapi kegagalan, bagaimana harus bertindak, mendapatkan wawasan yang sangat kaya, dan tentu saja mendapat rujukan baru destinasi impian yang harus aku kunjungi. Silakan tebak, dari kota yang dikunjungi Eric, mana yang menjadi dream list-ku.
Semoga bermanfaat ya.
Bandung #009