[Book Review] The Red-Haired Woman

Halo BookBuddies,

Koleksi Pribadi

The Raid-Haired Woman

Judul asli Kirmizi Sacli Kadin

Diterjemahkan dari  The Raid-Haired Woman

Terbitan Alfred A. Knopf, New York, 2017

Karya Orhan Pamuk

Cetakan pertama, Februari 2018

Diterbitkan oleh Penerbit Bentang

ISBN 978-602-291-449-5

BLURB

Di sebuah dataran tandus dan berbatu, Tuan Mahmut beserta asistennya, Cem, mendapat tugas menggali sumur. Kerasnya medan mendekatkan mereka, bahkan mengubah hubungan tuan-asisten tersebut menjadi seperti ayah-anak.

Sementara air yang dinanti tak kunjung muncul, Cem justru terpikat primadona teater keliling, seorang wanita berambut merah. Namun, kehadiran wanita itu malah mendatangkan bencana. Seseorang terbunuh dan menghantui hingga 3 dekade berikutnya.

The Red-Haired Woman membawa kita menyusuri pencarian Pamuk terhadap bagaimana sastra menjadi dasar sebuah peradaban. Lewat perjumpaan mitos besar Oedipus Rex dari Barat serta Kisah Rostam dan Sohrab dari Timur, Pamuk, mencoba mengulas hubungan antara ayah dan anak, juga Negara dan kebebasan individu. Tak salah lagi, The Red-Haired Woman merupakan karya istimewa yang semakin menegaskan bahwa Orhan Pamuk adalah salah seorang penulis terbesar abad ini.

SINOPSIS

The Red-Haired Woman atau Perempuan Berambut Merah diawali dengan kilas balik Cem yang usianya mendekati setengah abad. Melalui sudut pandang pertama, Cem menceritakan kisahnya dari remaja beranjak dewasa.

Ia tergiur menjadi asisten penggali sumur karena upah yang dianggapnya bisa membawanya menggapai mimpi untuk meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Ia seorang “tuan kecil” yang terpaksa membanting tulang karena sang ayah “menghilang”.

Ia pergi ke Ongoren, kota di pinggiran Istanbul yang digambarkan sebagai perbukitan yang gersang dan tandus untuk bekerja sebagai asisten Tuan Mahmut. Namun, pekerjaan yang awalnya diperkirakan hanya berlangsung dua minggu molor karena air tak kunjung keluar dari dalam tanah.

Akibat waktu pekerjaan berlangsung lebih lama, Cem, akhirnya bisa berkenalan dengan wanita berambut merah, seorang pemain teater keliling. Cem yang jatuh cinta membuatnya tidak konsentrasi dalam pekerjaan dan menyebabkan kecelakaan yang menimpa Tuan Mahmut.

Cem yang masih muda meninggalkan Tuan Mahmut begitu saja. Cem akhirnya berhasil kuliah dan memilih jurusan geologi –terinspirasi—dari pekerjaannya sebagai asisten penggali sumur. Ia pun menjadi orang sukses. Sayangnya, kesuksesannya tidak memiliki pewaris. Istrinya tidak bisa memberinya keturunan.

Sebagai orang mapan yang telah putus harapan memiliki anak, mereka menghabiskan waktunya untuk mengulik sejarah Oedipus yang berasal dari Yunani dan akhirnya menyelami juga Kisah Rostam dan Sahrab dari Persia (Iran). Selain itu, ia dan istrinya juga melebarkan sayap bisnis di bidang property. Usaha yang memaksanya kembali ke Ongoren, tempat yang selama tiga decade ia hindari.

Kota Ongoren telah berkembang pesat mengikuti Istanbul. Dari cerita yang ia dengar, kesuksesan Ongoren tak lepas dari berhasilnya penggalian sumur Tuan Mahmut. Pekerjaan yang ditinggalkannya dulu.

Ketenarannya membuat seseorang mengirim email kepada Cem dan mengaku sebagai anaknya. Mengikuti rasa penasaran, Cem tanpa sepengetahuan istrinya memanfaatkan waktu di Ongoren untuk kembali bertemu perempuan berambut merah dan seorang yang mengaku anaknya. Hubungan yang dilakukannya saat masih berusia enam belas tahun.

Namun, pertemuannya tidak berjalan mulus. Kisah Oedipus maupun Kisah Rostam dan Sohrab yang  menggelitikinya semasa hidup, akhirnya menimpa dirinya sendiri.

TENTANG BUKU INI

Ini buku keempat Orhan Pamuk yang aku baca. Dibanding tiga buku lainnya yang pernah aku baca, Istanbul, Namaku Merah, dan Salju, buku ini paling tipis yaitu 344 halaman. Seperti buku sebelumnya yang aku baca kecuali Istanbul (memoar), novel ini mengisahkan mengenai pembunuhan. Di buku ini pun digambarkan pula mengenai sekuleritas di Turki dan Orhan seperti sebelumnya piawai meraciknya dengan zaman keemasan Turki dimasa kekhalifahan. Bahwa Turki pernah Berjaya namun pada akhirnya kehilangan identitas, mengikuti modernitas Barat atau konservatif sebagai Timur.

Plot yang dipilih Orhan Pamuk adalah mundur dan maju yang dituturkan oleh Aku –Cem di Bagian I dan II dan Aku –perempuan berambut merah di Bagian III. Aku sendiri hamper tidak mencatat kalimat yang biasa dijadikan quote namun bukan berarti buku ini tak berkualitas. Kalau kataku, karena berkualitas itu sehingga keseluruhan kalimat dalam buku ini menyiratkan makna dan pesan. Buku ini pun menyampaikan pesan sangat mendalam utamanya tentang kisah Oedipus maupun Kisah Rostam dan Sohrab versi modern.

Oedipus merupakan kisah cinta antara seorang anak dan perempuan, yang dikemudian hari diketahui sebagai ibunya. Di Indonesia, khususnya di Jawa Barat mirip dengan cerita yang mengikuti legenda Tangkuban Parahu, Sangkuriang yang menikahi Nyi Sumbi, tak lain adalah ibu kandungnya. Kedua cerita ini pun menggambarkan pembunuhan sang anak kepada ayah tanpa saling mengetahui identitas masing-masing.

Pada kisah Oedipus, sang anak yang membunuh ayahnya yang notabene adalah Raja, kemudian diangkat menjadi Raja berikutnya usai berhasil mengatasi “spink” yang ditakuti masyarakat. Dia pun menikah dengan Ratu yang merupakan ibunya sendiri. Diceritakan dahulunya, si anak sengaja “dibuang” karena menurut ramalan sang bayi akan membunuh ayahnya (akhirnya menjadi kenyataan).

Ketika wabah melanda negeri, akhirnya masyarakat menyadari ada yang salah. Atas perintah Raja mereka kemudian mencari tahu siapa pembunuh Raja sebelumnya (padahal dia sendiri). Akhirnya terbongkarlah siapa pembunuh Raja dan status Oedipus. Oedipus menerima hukuman karena membunuh ayah dan meniduri ibunya, Jocasta dengan mencongkel matanya.

Sementara Kisah Rostam dan Sohrab, merupakan kisah ayah yang menghabisi anak kandungnya sendiri. Rostam diceritakan sebagai pahlawan yang disegani baik kawan maupun lawan. Sehingga suatu ketika saat mencari kudanya, ia sampai di Turan wilayah musuhnya. Di kamp tersebut, ketampanannya mashyur hingga membuat Putri Shah Turan mendatanginya hingga tertanam benih di tubuh sang putri. Rostam pun meninggalkan gelang untuk pewarisnya.

Namun, sayangnya di medan pertempuran, sang anak yang memiliki cita-cita membangun kerajaan bersama ayahnya tidak saling mengenal. Atas tipu daya musuh-musuhnya, kedua ayah dan anak tersebut saling membunuh, hingga akhirnya sang ayah menghunus pedang ke dada sang anak. Saat ajal menjemput barulah sang ayah menyadari jika dia adalah Shorab anaknya.

Orhan Pamuk dengan lihai merangkai kalimat yang menceritakan kedua kisah tersebut dalam versi modern. Awalnya aku mengira kisah tersebut antara Cem dan Ayahnya. Ayahnya yang merupakan anggota organisasi “kiri” pernah diciduk aparat hingga akhirnya “menghilang”.

Namun, dengan plot penuh kejutan Orhan Pamuk mengecoh pembaca. Buku ini bagi aku sendiri tidak mudah ditebak alur cerita maupun endingnya. Karena, sangat menikmati buku “ringan” tapi sangat bermakna ini, aku menyelesaikannya hanya dalam waktu dua hari normal. Berbeda dengan bukunya sebelumnya hingga berminggu-minggu, itupun banyak bagian yang ke-skip.

Aku suka sekali dengan pesan yang disampaikan Orhan Pamuk pada kedua kisah yang melatari novel ini. Seringkali kita (aku), terjebak pada judge-judge atau emosional tanpa mendalami latar belakang maknanya –kebetulan aku sebelumnya sudah mendengar kedua kisah ini–. Kita biasanya akan menekankan pada pembunuhan antar ayah dan anak, lalu gemes sendiri, kenapa sih? (aku sebelum membaca novel ini).

Orhan Pamuk membawa pembaca bertanya kenapa sih Oedipus bisa membunuh ayah kandungnya? Semuanya berawal dari mitos atau ramalan. Andai saja sang ayah tidak mempercayai mitos kemungkinan ia tak akan membuang bayi Oedipus. Sehingga Oedipus dewasa tak perlu melakukan perjalanan yang tanpa sengaja malah membunuh ayah kandungnya. Mitos bisa menjadi kenyataan karena kita mempercayainya sama halnya tahayul.

Dalam kisah Rostam dan Sohrab, Orhan menggarisbawahi hubungan terlarang antara Rostam dan sang putri tanpa ikatan perkawinan. Jika hubungan terlarang tidak dilakukan maka tak akan ada kisah ayah dan anak yang tidak saling mengenal hingga akhirnya saling membunuh.

Dalm versi modern atau dalam kehidupan nyata, tentu saja, jika kita mau membuka mata, Kisah Oedipus maupun Kisah Rostam dan Sohrab ini dekat dengan kehidupan kita meskipun tidak semua sampai ekstrim saling membunuh. Namun, dengan novel ini, rasanya Orhan mengajak kita agar mengambil hikmah dari kedua kisah tersebut untuk menghindari hal terburuk akibat perbuatan buruk yang dilakukan sendiri.

Ohya, jika BookBuddies tertarik dengan Turki, membaca karya Orhan Pamuk, pemenang Nobel Sastra ini, akan membawa kita mengenal lebih dalam tentang Turki dengan cara yang ringan. Bagaimana keemasan Turki, Turki dalam era kekhalifahan hingga Turki modern yang gamang akan identitasnya.

Semoga bermanfaat^^

Bandung #011

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.