[Review Buku] Altitude 3159; Miquelii

Halo BookBuddies,

Ini adalah buku seri “Altitude” ketiga yang aku miliki karya novelis Palembang Azzura Dayana. Dua seri sebelumnya yaitu “Altitude 3676 Takhta Mahameru” dan “Rengganis Altitude 3088“. Sama dengan dua novel sebelumnya, aku tertarik membeli dan membaca novel ini karena bercerita mengenai pendakian.

Altitude 3159; Miquelii/Azzura Dayana,

Penyunting bahasa, Ayu Wulan-Surakarta.

Indiva Media Kreasi, 2019

288 hlm.; 19 cm

ISBN: 978-602-495-252-5

SINOPSIS

Rahilda Maharani yang disapa Hilda adalah putri bungsu salahsatu konglomerat di Jakarta. Ibu kandungnya sudah meninggal. Namun, bukannya dekat dengan sang ayah, ia justru lebih akrab dengan pamannya yang juga menjadi sopir pribadinya. Ayah dan kedua kakak laki-lakinya justru sibuk dengan urusan masing-masing bahkan ketika Hilda hilang ketika piknik ke Cibodas.

Berbeda dengan Hilda, Fathan kecil hidup serba kesusahan. Bapaknya bekerja serabutan sementara ibunya sakit-sakitan. Ia pun terpaksa harus menunggak uang sekolah hingga nyaris putus sekolah. Hilda muncul sebagai malaikat kecilnya. Sekian janji pun dibuat keduanya.

Setelah tumbuh dewasa, hidup keduanya berkebalikan. Meskipun masih ditunjang dari ayahnya, Hilda memilih gaya hidup yang jauh dari kata mewah. Ia bukan lagi “boneka Kristal” begitu Fathan menyebutnya. Fathan yang sukses di karier memilih gaya hidup a la eksekutif muda. Liburan ke luar negeri dengan fasilitas hotel bintang lima. Sedangkan, Hilda memilih menjalani kehidupan sebagai petualang yang keluar masuk hutan, mendaki gunung hingga menembus pedalaman yang jauh dari gemerlap kemewahan.

Beberapa tahun mereka tidak berjumpa karena Fathan meneruskan karier di Singapura sedangkan Hilda berkeliling nusantara. Suatu hari Fathan, mengajak Hilda bertemu tetapi malaikat kecilnya terus berlari. Fathan mengalahkan gengsinya dan turun ke a lam. Pengejaran Fathan berakhir di Pagaralam, kota musim dingin di Palembang. Meski begitu, Hilda tetap saja bahkan lebih “dingin” terhadap Fathan.

Di antara pendakian, Fathan berjumpa seorang gadis dari tim pendakian lain. Gadis yang dijuluki Putri Salju sedikit banyak menyedot perhatian Fathan. Hilda semakin acuh tak acuh terhadap Fathan dan selalu menyuruh agar Fathan berhenti. Padahal Fathan ingin sekali memenuhi janji-janjinya yang diabaikannya karena terlalu sibuk mengejar karier agar tak dianggap dan dibayang-bayangi oleh kemiskinan lagi.

TENTANG BUKU INI

Bunku ini ringan dibaca. Saya menyelesaikannya dalam dua hari. Penulis menggunakan alur maju berselang-seling dengan flashback di setiap bab pada awal buku ini. Memasuki inti cerita yaitu pendakian di Gunung Dempo, Palembang, penulis menggunakan alur maju.

Di bagian awal, penulis menyuguhkan pemandangan bagian tengah Jawa melalui mata Fathan yang dilihatnya dari atas pesawat dalam perjalanan ke Jakarta. Dua gunung Sumbing Sindoro menjadi pembuka apik jalan cerita ini. Lalu, diceritakan Hilda yang sedang ada di gunung Prau, Dieng dengan cepat berpindah ke Gunung Patuha di Ciwidey. Ketika Fathan hendak menyusul tiba-tiba Hilda sudah terbang ke Istana Pagaruyung di Padang.

“Perempuan… Ketika dia mengatakan jangan cari, sebenarnya dia justru ingin dicari. Ketika dikatakannya tidak ada apa-apa, justri sebenarnya ada apa-apa.” – hal. 46

Di bagian ini Azzura terkesan tergesa-gesa. Padahal meski Fathan tidak berhasil menemui Hilda, akan menjadi lebih menarik jika terdapat dambaran Hilda sedang apa? Di sana ngapain? Kondisi alamnya bagaimana sesuai tema buku ini. Tidak adanya deskripsi waktu yang jelas malah membuat saya bertanya-tanya, masa sih sudah di sana lagi? Padahal dari Dieng ke Bandung, tidak ada kereta langsung dari Wonosobo (tidak disebut nama kota ini) harus naik bus lagi. Misalnya naik pesawat pun harus ke Yogyakarta atau Semarang dulu baru ke Bandung. Usai tiba di Bandung harus perjalanan darat lagi. Lalu di Patuha kalau diceritakan dia sedang di gunung kan berarti mendaki? Kecuali refreshing ke Kawah Putih. Begitu pula saat di Padang, ketika Fathan berhasil menyusul ke Padang, Hilda sudah di Pagar Alam. Padahal Fathan sendiri butuh waktu setidaknya dua hari untuk menyusul karena minimnya rute penerbangan dan perjalanan darat yang lama. Lalu yang jadi aneh, Hilda memilih gaya backpacker tetapi kenapa moda pilihannya pesawat? Walaupun memang masuk akal karena penulis menceritakan ia masih disokong bulanan ayahnya. Backpacker identik kereta api, nebeng, naik bus, kalaupun pesawat yang sedang promo murah meriah. Menurut saya sih ya hehe…

Jadi penulis memberi porsi yang sangat sedikit di bagian awal ini, mungkin karena hanya bersifat pengantar. Ohya, di bagian awal saya agak tergelitik dengan golden sunrise. Namun, penulis tak menjelaskan atau menggambarkan lebih lanjut. Itu adalah istilah bagi para pendaki. Tetapi bagi pembaca awam seperti saya agak kesulitan menbak golden sunrise itu yang bagaimana?

Setting masa kecil Fathan dan Hilda pun tidak tersurat di bagian awal. Waktu itu saya menebak apa di Jakarta apa di Bogor barulah di separo buku saya menemukan settingnya di Jakarta. Karena, Fathan membuat gelang Hilda dari biji jail-jali yang diambil dari padang liar. Saya langsung berpikir apa di Jakarta ada padang liar? Mungkin lebih baik jika penulis menjelaskan di Jakarta bagian mana? Padang liar yang bagaimana?

Kemudian tokoh Rifhan yang merupakan ajudan Fathan tidak konsisten dalam dialog. Awal-awal dia menggunakan dialek kental Sunda seperti meni… pisan tapi kemudian berubah menjadi Betawi seperti ente…

Memasuki inti cerita, Fathan yang belum pernah naik gunung sekalipun langsung dihajar dengan medan gunung Dempo yang dituliskan terjal dan hanya dengan satu trek bonus saja. Di sini saya seperti diajak naik gunung oleh penulis.

Kemudian muncullah Afaf di tengah pendakian sebagai “lawan” Hilda atau sumber konflik batin. Saya sendiri ikut merasa cemburu dari sudut pandang Hilda. Namun, konflik ini tak banyak porsi juga karena porsi terbanyak ya Fathan dan Hilda selama pendakian yang tetap tak bisa bicara banyak. Kisah-kisah mistis selama pendakian menjadi bumbu yang menarik bagi novel ini.

Penyelesaian konflik ada saat keduanya turun gunung. Di situlah baru terungkap isi hati Hilda yang sebenarnya. Hingga terucaplah kalimat yang ditirukannya dari ucapan Fathan sebelumnya. Ia seorang putri kaya raya yang bahkan tak mendapat kasih sayang orang terdekat. Fathan adalah tempat hatinya tertambat namun dibutakan oleh karier cemerlang. Berpetualang adalah caranya melampiaskan segala kesepian itu.

“Sebenarnya akulah yang bernasib seperti lelaki dari Negeri Bayangan itu. Aku hidup sendirian  dan kesepian. Lalu meninggal. Selesai.” – hal. 267

Dari segi teknis saya menemukan lebih dari sepuluh kesalahan kurang spasi seperti halaman 47 “Pesawat kelas terbaik itu menurunkan Fathandi Bandara Minangkabau…”. Di halaman 55 sepertinya kurang huruf jika yang dimaksud Bandara, “…kita bertemu di Bandar Jakarta…”. Pada hal 232 sepertinya kurang kata “di luar” pada kalimat, “Sesekali pingin juga bermain dan berwisata di zona aman dan nyaman…”. Sebab, cuplikan dialog ini menceritakan Hilda yang pernah ingin ke Singapura padahal dia seorang petualang. Antara Singapura dan petualang diceritakan berkebalikan.

Novel ini sendiri happy ending sehingga saya cukup bahagia ketika membaca lembar terakhir “SELESAI.”

Semoga bermanfaat ya^^

Bandung #017

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.