Dari pedalaman hutan pegunungan Bukit Barisan di Sumatra Barat kisah ini bermula. Ada serombongan bidadari turun dari kahyangan untuk mandi di sebuah air terjun yang jernih di tengah rimba. Mereka asyik berkecipak-cipak air. Tanpa mereka sadari ada seorang pemburu yang mendekat ke arah mereka. Begitu menyadari keberadaan manusia, mereka bergegas kembali ke langit dengan menaiki pelangi.
Sepatu salah seorang bidadari terjatuh. Di lokasi tersebut tumbuh bunga yang sangat mempesona. Kemudian oleh pemburu bunga tersebut dinamai kasut bidadari. Karena bentuknya menyerupai sepatu atau kasut yang dipakai bidadari.
Bunga itu dikenal sebagai anggrek kasut bidadari. Bernama latin Paphiopedilum curtisii. Anggrek kasut bidadari sendiri merupakan spesies endemik Sumatera bagian utara dan barat. Ia melengkapi setidaknya 5.000 spesies anggrek di Indonesia yang masih terus ditemukan dan teridentifikasi. Jumlah ini menyumbang sekitar 12 persen dari anggrek yang ada di seluruh penjuru dunia.

Lip atau bagian bunga yang berbentuk kantong berwarna ungu. Bagian kelopak berwarna kehijauan dengan urat-urat membujur sejajar. Mahkota seperti lidah terjulur. Terbelah menjadi dua bagian totol-totol kecil hijau hingga ungu.

Perbungaannya terdiri dari satu tangkai. Daunnya hijau totol-totol. Anggrek tanah ini tumbuh pada ketinggian 900-1300 mdpl di tanah berhumus. Tidak menyukai sinar matahari langsung. Hidup antara suhu 20-25 °C dengan kelembaban 50-70%. Paphiopedilum curtisii merupakan satu dari 971 spesies anggrek yang teridentifikasi di Sumatra.
Anggrek jenis kantong atau genus Paphiopedilum bernilai konservasi yang tinggi. Anggrek ini termasuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang tidak diperbolehkan untuk dikirimkan atau diperdagangkan ke luar negeri tanpa peraturan yang ketat.
Anggrek memiliki banyak penggemar. Sejak dahulu ratusan tanaman ini telah dikirim ke luar negeri. Beberapa tahun terakhir jenis anggrek baru pun teridentifikasi dari Aceh hingga Papua.
Kemen Austin dari RTI International bersama Amanda Schwantes dari Duke University dengan risetnya yang tertuang dalam jurnal Environmental Research Letters pada Februari 2019, menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit dalam kurun waktu 2001-2016 menyebabkan hilangnya 23 persen tutupan hutan Indonesia. Artinya hampir seluas empat kali lapangan sepak bola hilang setiap 10 menit. Belum akibat ekspansi lainnya. Kondisi ini menjadi sangat miris. Karena kekayaan anggrek yang sangat mungkin belum teridentifikasi semuanya di Indonesia terancam punah kapan saja. Padahal anggrek hanyalah salahsatu dari sekian banyaknya keanekaragaman hayati hujan tropis terluas ketiga di dunia ini.
Karena itu, sudah sepatutnya kita bijak menjaga hutan dan melestarikan keberkelanjutannya. Sementara itu, dongeng, legenda maupun kearifan masyarakat lokal kita yang sangat erat dengan hutan tapi hutan sudah tidak ada lagi? Lalu bagaimana cerita Kasut Bidadari ini akan ditemurunkan, jika keberadaannya di habitat aslinya kian mengkhawatirkan?
Referensi:
Buku “Berkelana dalam Rimba” karya Muchtar Lubis
https://indonesia.go.id/ragam/keanekaragaman-hayati/sosial/anggrek-indonesia
https://madaniberkelanjutan.id/2020/01/20/dilema-komoditi-sawit
Foto anggrek:
Ya ampun gak ngeh ternyata punya cerita dongengnya juga asal usul dinamai kasut bidadari, saya malah teringat film tinker bell jadinya
hehe… wah, suka tinker bell juga ya???