Usai Perang Dunia II, antara tahun 1945-1960 muncul istilah pembangunan untuk negara-negara berkembang. Tahun 1960-1970, dimulailah era pertama “Dasawarsa Pembangunan” yang dicetuskan oleh Amerika Serikat dalam sidang PBB dan disambut hangat oleh seluruh dunia termasuk Indonesia.
Namun, akselerasi pembangunan ekonomi yang tadinya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional berkembang justru menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di mana-mana. Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI Ismid Hadad menuliskan bahwa adanya persepsi, cara pandang, dan pola pikir mengenai sumberdaya alam dalam konteks pemaknaan arti pembangunan yang sangat berbeda bahkan saling bertolak belakang antara ekonom (penganut pembangunan konvensional) dan ekolog (pecinta lingkungan) menyebabkan terjadinya kontestasi antara kebijakan pembangunan ekonomi dengan pelestarian alam dan lingkungan.
Dalam antroposentrisme, manusia dan alam digambarkan terpisah. Manusia berada di luar dan di atas alam sehingga alam dan segala isinya diperlakukan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
“Kekayaan alam selalu dibaca dan dilihat semata-mata sebagai sumberdaya ekonomi yang siap dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi.” -Arne Naess dan ahli etika lingkungan hidup lain
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Sonny Keraf pernah berparadoks jika pertumbuhan ekonomi 7 persen yang dikejar sebenarnya adalah pertumbuhan negatif, jika yang dihasilkan adalah kerusakan sosial budaya dan lingkungan. Sebab, salahsatu cara agar negara berkembang mampu menyusul negara maju adalah dengan menggenjot eksploitasi sumberdaya alam hingga merambah kawasan adat. Pertumbuhan ekonomi ini hanya akan sia-sia jika yang ditinggalkan hanyalah kerusakan sosial budaya dan alam. Sebab, justru dibutuhkan biaya yang lebih tinggi untuk merestorasi.
Etika antroposentrisme dikritik melalui pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme. Bahwa manusia adalah makhluk biologis dan ekologis yang mempunyai kedudukan yang sama dalam jaring kehidupan di alam semesta ini. Sehingga saya setuju jika dikatakan manusia tidak berada di luar, di atas, dan terpisah dengan alam. Manusia berada di dalam, terikat, dan tergantung dari alam dan seluruh isinya.
Empat dekade pembangunan pada akhirnya menyisakan banyak pekerjaan rumah seperti masalah kemiskinan, kesehatan, dan kerusakan sumberdaya alam yang berdampak pada kehancuran budaya masyarakat yang tergantung terhadap alam berikut keanekaragaman hayati di dalamnya. Menurut Ismid Hadad setelah setengah abad menempuh jalur pembangunan ekonomi, ternyata hal tersebut bukanlah jalur dan resep mujarab untuk mengobati semua penyakit kemiskinan, ketimpangan sosial dan keterbelakangan negara-negara berkembang.
Adanya supremasi faktor ekonomi sebagai “mercusuar” dari tujuan dan proses pembangunan, bukan hanya gagal mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan, bahkan menimbulkan banyak masalah kerusakan aset-aset alam dan bencana lingkungan yang justru menggerogoti hasil-hasil pembangunan ekonomi itu sendiri. Bukan hanya itu, pada era inilah banyak negara berkembang mulai berpaling dan menanggung beban utang berikut bunganya terhadap International Moneter Fund (IMF) atas nama pembangunan dan demi meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB).
Tahun 1956 terjadi Tragedi Minamata di Jepang akibat pembuangan unsur organo-mercury dalam limbah yang dibuang ke laut oleh pabrik- pabrik kimia lokal, sehingga mencemari ikan dan karang yang dikonsumsi oleh penduduk lokal dan keluarganya. Tahun 1962 terjadi Silent Spring di Amerika Serikat yang mana burung-burung berhenti berkicauan dan alam bagaikan membisu di musim semi. Publik mulai menggugat dampak negatif pola pertanian yang menggunakan racun kimia yang mencemari kehidupan alami. Kedua peristiwa tersebut dikatakan Ketua Yayasan KEHATI Emil Salim memicu tumbuhnya keprihatinan terhadap pola pembangunan yang mencemari lingkungan.
Pada 5 Juni tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit), para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi rencana-rencana besar terkait konservasi lingkungan dan menyejahterakan manusia melalui lingkungan. Di antara kesepakatan yang diperoleh dalam KTT Bumi bertema “Think Globally, Act Locally” yaitu Agenda 21. Sebuah rencana komprehensif mengenai program pembangunan berkelanjutan yang bertujuan harmonisasi berbagai kebijakan dan rencana di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan yang berlaku di negara-negara untuk menjamin pembangunan ekonomi yang secara sosial bertanggung-jawab sambil melindungi basis sumber daya alam dan lingkungan bagi kemaslahatan generasi-generasi masa depan.
Saat ini manusia membebani bumi 1,6 kali lipat dari daya dukungnya. Sebagai contoh berdasarkan Earth Overshoot Day (EOD), apabila menggunakan hitungan satu tahun 2020, kita persis hidup sesuai daya dukung bumi maka kita hidup sampai tanggal 31 Desember 2020. Namun pada kenyataannya rata-rata global menunjukkan EOD jatuh pada 22 Agustus 2020. Artinya mulai 23 Agustus sampai 31 Desember kita memakai jatah anak cucu. Bagaimana dengan Indonesia? EOD di Indonesia habis pada tanggal 18 Desember, artinya mulai 19 Desember sampai 31 Desember kita memakai jatah anak cucu. Meskipun lebih baik daripada EOD global tapi itu tetap tidak baik.
Sustainable Development, yakni “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” -(World Commission on Environment and Development WCED, “1987)
Sejak awal 2000 Indonesia mengadopsi Millenium Development Goals (MDGs) karena menerapkan prinsip sinergi sebagai prinsip pembangunan berkelanjutan yang kemudian menjadi bagian dari tujuan pembangunan nasional. Prinsip dan pola pembangunan tersebut lantas ditingkatkan menjadi Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai agenda pembangunan global untuk mencapai “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” pada tahun 2030 yang telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-N) Indonesia periode 2015 – 2019.
Tujuan SDGs memuat pola pembangunan yang mencakup tiga pilar utama pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan serta pilar hukum dan tata-kelola yang bersinergi melalui adanya keseimbangan dan keselarasan antara ekonomi, sosial dan lingkungan yang sudah merupakan amanat konstitusi. Sonny Keraf berpendapat pembangunan berkelanjutan memerlukan suatu sinergi positif antara tiga kekuatan utama, yaitu negara dengan kekuatan politik, sektor swasta dengan kekuatan ekonomi, dan masyarakat warga dengan kekuatan moral.
Sejak dicanangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada 2015, tahun 2017 mencatat Swedia sebagai negara dengan skor tertinggi 85,6. Indonesia berada pada urutan ke-100 dengan skor 62,9 dan Republik Central Afrika pada urutan terakhir ke-157 dengan skor 36,7. Indonesia mendapat skor rendah pada indikator kemitraan untuk mencapai tujuan, industri dan inovasi, ekosistem daratan, dan ekosistem lautan. (Sumber: SDSN dalam Arief A.J: “Menyongsong SDGs: Kesiapan daerah-daerah di Indonesia”, Pertemuan 26 November 2017, Jakarta.)
—
Referensi:
https://madaniberkelanjutan.id/2020/07/21/pembangunan-berkelanjutan
Buku:
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002