[Review Buku] Takhta Mahameru: Mengejar Jejak Sahabat

Altitude 3676; Takhta Mahameru/ Azzura Dayana, penyunting bahasa, Mastris Radyamas-Solo. Penerbit Indiva, 2013
424 hlm.; 20 cm.
ISBN: 978-602-8277-92-1

SINOPSIS
Mahameru adalah daya tarik saya membeli dan ingin membaca buku ini. Puncak tertinggi Gunung Semeru, pucuk tertinggi tanah Jawa. Buku ini mengisahkan tentang Faras, gadis asli Ranu Pane, desa terakhir atau terdekat di kaki Gunung Semeru. Desa yang menyaksikan lalu lalang para pendaki Semeru akhirnya mempertemukannya dengan Raja Ikhsan. Pecinta alam asal Jakarta. Jika biasanya seorang pecinta alam digambarkan sebagai sosok yang ramah dan berjiwa solidaritas, tidak demikian dengan Ikhsan yang sinis dan lebih memilih mendaki sendiri. Rombongan baginya hanya untuk mempermudah agar lolos izin naik gunung.

Pertemuan Faras dan Ikhsan sendiri hanya berlangsung selama tiga kali di setiap tahun yang berbeda. Bukan dalam rombongan pendakian. Tapi antara “tuan rumah” dan tamu. Kebetulan bapak Faras memiliki warung yang kerap disinggahi para pemuja puncak para dewa ini. Namun, Faras bukan gadis desa biasa. Ia memiliki kepekaan dan tahan terhadap sikap sinis Ikhsan.

Di pertemuan ketiga, Ikhsan yang telah memiliki luka bakar di pelipis kanannya melontarkan pertanyaan kepada Faras. Pertanyaan yang menyisakan kebisuan di mulut Faras. “Apakah menurutmu tidak boleh sebuah pembunuhan dibalas dengan membunuh pula, Faras? Apakah itu salah? Jika tidak dibunuh, sebaiknya bagaimana?”-hal. 133

Pertemuan yang menyisakan kegamangan di benak Faras. Sebagai seorang sahabat rasanya ia turut bertanggungjawab terhadap tindakan Ikhsan. Tiga tahun berlalu, keduanya tak pernah berjumpa lagi. Hingga akhirnya email Ikhsan masuk. Ia mengabarkan sedang Di Borobudur. Bergegas Faras menyusul, menapaki jejaknya. Ia ingin memastikan keadaan Ikhsan dan apa yang menjadi kekhawatirannya selama ini tidak terbukti. Sayangnya, takdir berkata lain, Ikhsan telah terbang ke Sulawesi tapi ia justru dipertemukan dengan Mareta. Adik Ikhsan berbeda ibu. Mareta kemudian menjadi teman perjalanan Faras.

Tiba di Tanjung Bira, Faras lagi-lagi tak mendapati Ikhsan. Namun, ia berhasil menapaki jejaknya lewat Aros, adik Fikri, teman pendakian Ikhsan. Bagi Aros, Ikhsan adalah pemuda baik yang bahkan telah berhasil memulihkan trauma ayahnya. Faras akhirnya pasrah. Ia memutuskan tak lagi mengikuti jejak Ikhsan. Ikhsan tak seperti yang selama ini dalam pikirannya.

Faras memutuskan kembali ke Ranu Pane. Mareta ikut dengannya. Tak dinyana tempat awal kisah dimulai, di situ pula ia berjumpa kembali dengan Ikhsan. Ketiganya akhirnya mendaki Semeru didampingi Pak Daud, bapak Faras.

Selama pendakian, sikap Ikhsan memang berbeda. Ia yang dulu dianggap monster oleh Mareta menunjukkan sikap baiknya hingga akhiran Mareta benar-benar bisa memaafkannya. Faras juga lega dengan Ikhsan yang sekarang. Hanya saja sedikit kecewa dengan tidak dijelaskannya akhir persahabatan Faras dan Ikhsan.

“Entahlah. Aku lebih mencintai awan-awan ini,” katanya. “Dan semuanya kusandarkan pada Allah saja. Dia sebaik-baik persandaran. Pencipta alam semesta ini, termasuk Mahameru.” hal-419

TENTANG BUKU INI
Buku dengan nuansa islami ini menggunakan sudut pandang Faras, Mareta, dan Ikhsan. Alur yang dipakai maju mundur. Sehingga, sebagai pembaca cepat tidak akan bisa memahami cerita. Namun, harus dibaca runtut agar tidak kehilangan detailnya dan plot ceritanya.

Persahabatan Faras dan Ikhsan menurut saya cukup aneh. Bagaimana mungkin hanya tiga kali bertemu, dan tak ada komunikasi intens setelahnya Faras sedemikian nekad mengikuti jejak Ikhsan lewat email yang ternyata email itu pun tidak dikirim oleh Ikhsan karena di hack saudara tirinya. Namun, persahabatan yang aneh ini diakui penulis lewat tutur Faras terhadap Mareta.

Konflik Ikhsan dikisahkan mirip sinetron mengenai ibu tiri yang kejam. Ibu kandungnya sebagai pihak lemah dan tertindas.

Namun, dibalik konflik yang aneh dan kurang greget menurut saya itu, terbayar lunas dengan narasi-narasi perjalanan yang dituturkan penulis lewat tokohnya. Kemegahan Borobudur yang serupa teratai, pengalaman naik kereta api ekonomi yang carut marut (sebelum reformasi KA oleh Ignasius Jonan), keindahan Tanjung Bira, kisah dibalik adat Mate Nisantangngi di Makassar lewat peristiwa yang dialami Fikri, dibalik mana karya pinisi tersembunyi karakter ulung suku Bugis, dan tentu saja yang jadi jualan buku ini. Eksostisnya setiap trek Semeru.

Klaten #019

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.