

Judul buku: I Love View
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Jumlah halaman: 232 hlm.
Harga: Rp65.000 Rp55.250
ISBN: 978-623-253-027-0
Ukuran buku: 13 x 19 cm
Sonia mendarat seorang diri di Changi Airport hampir tengah malam. Ia melancong dengan hati yang sudah tak utuh. Retak. Akibat bunga yang membunuh. Gadis yang tengah patah hati itu bahkan tak memasukkan Botanic Garden dalam itinerary traveling di Singapura. Dia tak pernah mencintai bunga. Melihatnya pun tak sudi.
Demi membuang segala ingatan tentang bunga yang telah merebut papa dan kekasihnya, ia mendamparkan diri ke dua negeri tetangga. Penjelajahan yang membawanya bertemu kembali dengan Seon, pria Korea, teman semasa di kampus dulu. Pertemuan yang kemudian disesalinya. Ia belum siap membuka hati.
Niat Sonia membuang segala kenangan justru membawanya berhadapan dengan pasangan “pengkhianat”. Pria yang menurut Sonia seharusnya menjadi pendamping hidupnya. Bukan untuk Bunga Sandrina, rekan kerjanya, si pelakor.
Jiwa pengecut membuatnya lari dari masalah. Namun, ia justru berjumpa dengan bunga yang cantik. Cantiknya adem, cantiknya membawa sejuk sampai belulang. “Bunga” Hilyah asal negeri jiran perlahan melunakkan kerasnya hati Sonia.
Bukan lagi, seeing more, finding more… Tak sekedar i love view ataupun i love you. Sonia justru mendapatkan hikmah yang lebih dari kenekatannya bertualang kali ini. Perjalanan menelusuri hati. Hijrah.
Menjadi Backpacker a la Azzura Dayana
Buku “I Love View” dibuka secara apik oleh penulis dengan pepatah, people who live, see much. But people who travel, see more.
Ini adalah buku bertema perjalanan keempat dari Azzura Dayana yang saya baca. Sebelumnya, ketiga buku yang saya baca berkisah tentang pendakian (Takhta Mahameru; Altitude 3676, Rengganis; Altitude 3088, dan Miquelii; Altitude 3159). Jika sebelumnya pembaca diajak menyelami sudut-sudut kemolekan alam Indonesia, maka di buku terbarunya pembaca diajak mengitari dua negeri jiran.
Masih dengan gayanya a la backpacker, Azzura meracik cerita cerita tokoh utamanya dengan apik. Dituturkan oleh sudut pandang orang pertama, Sonia, membuat saya ikut merasakan emosi yang membuncah dari gadis 23 tahun tersebut. Papanya yang memutuskan menikah lagi dan lelaki yang sudah dikenalnya lebih dari 5 tahun membatalkan pernikahannya.
Niat perjalanannya dilakukan untuk bisa melupakan dan memaafkan. Ia ingin membuang segala kenangan yang membuat hatinya berdarah-darah. Namun, kunjungannya ke Melaka justru menemukannya kembali dengan “sumber kenangan”. Ia juga menyesali keputusannya bertemu dengan Seon, teman lama yang terus mengajaknya traveling bersama selama berada di negeri tetangga. Ia bahkan memberinya sebuah buku catatan yang ogah disentuhnya. Ia terus menghindar dan berlari dari masalah.
Walaupun konflik ceritanya terasa klise, orang tua menikah lagi, ditinggal menikah, dan dipuja secara rahasia tapi novel young adoult ini memiliki keunikan tersendiri. Sonia sebagai tokoh utama tidak digambarkan seutuhnya sebagai sosok peri yang baik, ikhlas, pemaaf, dan berhati mulia. Sebaliknya, ia lebih cenderung pendendam dan sangat menusiawi untuk seseorang yang sedang sakit hati.
“Saranku, nikmati saja kebahagiaan kalian saat ini. Tapi tidak usah ajak aku sering-sering melihat itu. Aku belum jadi malaikat, Sandrina. Aku masih manusia.” Hal. 68
Sampai akhirnya, Sonia bertemu kembali dengan bunga yang sekilas membuatnya adem saat pertama melihatnya di Masjid Sultan di Singapura. Mulai bab tujuh, penulis memberikan porsi yang besar bagi Hilyah. Gadis cantik keturunan Arab yang tinggal di Kuala Lumpur. Namun, Sonia merasa trauma berteman dengan kecantikan. Baginya kecantikan itu menyihir, kecantikan istri muda yang membuat papanya berpaling begitu pula Radin, mantan kekasihnya.
Namun, sebuah insiden membuatnya mau tak mau bersinggungan dengan Hilyah. Perkataan dan tindakan Hilyah perlahan menyentuh hati Sonia. Hatinya yang keras melunak.
“Hilyah, apa bedanya antara menghindari masalah dan lari dari masalah.”
“Kamu tahu kamu mungkin bisa menyelesaikan masalah itu, dan bisa juga gagal. Tapi kamu memilih untuk tidak melewatinya. Itu namanya menghindar. Lari dari masalah itu lebih simpel. Kamu tidak mau masalah itu selesai. Itu bukan sikap kesatria.” Hal. 132
Melalui percakapan kedua gadis tersebut, saya sendiri agak tersentil. Menghindar dan lari dari masalah bukan hanya masalah Sonia, bahkan saya sendiri. Penulis dengan cerdas menyisipkan sebuah petuah yang inspiratif kepada pembaca agar sekecil atau sebesar apapun problem yang dimiliki, kita harus berani menghadapinya.
Sonia mulai membuka hatinya dari asumsi-asumsi yang ia ciptakan sendiri. Ia mulai mau mendengarkan tanpa letupan-letupan dari mulutnya. Ia mulai bisa mengontrol emosinya. Ia dari mulut Seon akhirnya tersadar bukan kecantikan Sandrina yang membuat Radin berpaling, tapi sikap keras kepalanya sendiri. Jawabannya saat Radin menanyakan apakah suatu hari ia bersedia berhijab, itulah porsi terbesar yang membuat Radin yakin untuk memutuskan tidak meneruskan rencana pernikahan.
“Man proposes, God disposes. Seperti kalian yang bertahun-tahun menjalani hubungan, tapi Allah-lah yang memutuskan apakah kalian layak bersama hingga akhirnya. Ternyata, takdir Allah berbeda dari apa yang kalian jalani dan upayakan. Tapi yakinlah, setiap kehilangan akan ada gantinya. Asal kita mau memperbaiki diri, Ia tak akan enggan memberi ganti, bahkan mungkin yang lebih baik.” Hal. 198
Melalui percakapan Sonia dan Hilyah, saya bisa memetik hikmah bahwa saat memutuskan berhijrah, walaupun terkadang butuh motivasi eksternal tetapi tetap motivasi internal dari dalam jiwa yang bisa memantapkannya, mengikhlaskannya dalam menjalani keputusan tersebut.
Tentang Buku Ini
“I Love View” menurut saya buku yang ringan dibaca. Bisa habis dibaca sekali duduk. Bukan buku semata-mata tentang jalan-jalan tapi sarat inspirasi. Tentu saja dengan gaya Azzura seperti sebelumnya, tanpa bermaksud menggurui pembaca. Dari buku setebal 232 halaman ini saya mendapatkan pelajaran gratis yang lain bahwa saat salat, kita harus menghadirkan hati dan merasakan kehadiran Allah. Dengan begitu kekhusyukan akan datang (hal. 211). Bukankah kekhusyukan saat salat hampir menjadi masalah sebagian besar Muslim, tapi penulis dengan bahasa sederhana memberikan jawaban lewat tokoh-tokohnya.
Namun, dari detail penulisan ada beberapa yang mengganjal saya. Seperti saat dikatakan Sonia tiba hampir tengah malam di Bandara Changi (hal. 7) tetapi kenapa menjadi pukul tujuh malam saat tiba di Jalan Geylang (hal. 12) lalu ketika hendak makan malam sudah hampir jam sebelas (hal. 13).
Lalu, penulisan Jalan Geylang sekian dan sekian sekian kemudian diulangi lagi pada halaman yang lain. Kenapa tidak ditulis nomornya? Atau dihilangkan saja. Dalam mendeskripsikan tokoh saya cukup terlambat mengetahui dari penulis jika Sonia ternyata tidak berkerudung. Awalnya saya menebak dia berkerudung karena tujuan awal perjalanannya di Masjid Sultan dan ikut salat subuh. Namun, penulis baru menggambarkan rambut Sonia berkibaran di halaman 52.
Dari teknis penulisan, saya juga menemukan typo dan beberapa kalimat yang tidak ada spasinya. Ini contohnya saya temukan pada hal. 35 kepejamkan atau kupejamkan? Near Seon di hal. 53 bisa diganti dengan keduanya atau mereka atau dipisahkan dengan tanda koma. Di baris terakhir hal. 189, tidak ada spasi yang memisahkan antarkata.
Untuk judul sendiri awalnya saya bertanya kenapa, I Love View tidak Scenery saja. Tapi ternyata semua ada jawabannya dalam buku ini yang mengikat tokoh Sonia dan Seon. Selain itu ada beberapa istilah yang sebagai pembaca awam yang belum pernah ke Singapura/Malaysia, saya harus menebaknya karena kurang penjelasan. Seperti kawasan ‘merah’, baru di beberapa halaman selanjutnya ada penjelasan kawasan tidak elok. Ada juga istilah trail, merujuk pada atraksi destinasi di Wetlands. Bayangan saya justru langsung mengarah pada motor trail. Jika susah mencari padanannya dalam bahasa Indonesia mungkin bisa dideskripsikan dalan dialog atau paragraf.
Secara keseluruhan membaca buku ini sangat bermanfaat bagi saya, tidak sekedar iming-iming atau pamer traveling tapi juga ada hikmah yang bisa dipetik. Sangat layak novel ini mendapat penghargaan khusus dari Penerbit Indiva Media Kreasi.
Terakhir, saya rekomendasikan buku ini bagi mereka yang patah hati. Kemudian bagi yang mencari spot-spot anti mainstream di Singapura atau Malaysia terutama pengemar sunset.
Semoga bermanfaat^^
*Tulisan ini diapresiasi menjadi salah satu pemenang favorit “Lomba Resensi Buku Indiva 2020”