Aku, Buku, dan Perjalanan Beradaptasiku

Halo BookBuddies,

Adaptasi sebenarnya bukanlah hal baru bagi kita. Saat kita menemui suasana baru, lingkungan baru, sekolah baru, tempat kerja baru, bahkan saat menikah kita pun dituntut beradaptasi. Saat perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi isu global, manusia pun dihadapkan pada adaptasi dan mitigasi. Namun, bagaimana ketika adaptasi kebiasaan baru itu harus dilakukan pada hal diluar dugaan seperti akibat pandemi Covid-19 yang telah menyebar ke seluruh dunia?

Bagi saya sendiri, hal yang paling saya rasakan di era new normal adalah terbatasnya ruang dan gerak untuk bepergian. Saya yang biasanya kapanpun mau bisa pulang ke kampung halaman di Jawa Tengah harus menunda hingga satu tahun bahkan Lebaran pun tidak mudik. Tahun ini pun lewat virtual lagi. Biasanya kami sekeluarga akan liburan ke luar kota walau tidak sering tapi menyempatkan. Namun, hingga setahun lebih saya belum berwisata ke luar kota. Lokal Bandung masih pun ditahan kecuali sesekali ke pusat perbelanjaan, toko buku, atau restoran.

Memang berwisata atau bepergian jarak jauh sangat mungkin dilakukan di masa pandemi ini dengan syarat menjaga protokol kesehatan dengan ketat. Seperti campaign yang dilakukan pemerintah untuk ingat selalu pesan ibu yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak hingga menghindari kerumunan. Namun, sebagai ibu dengan dua anak, enam dan empat tahun dengan kondisi berbadan dua, saya dan suami lebih memilih menunda perjalanan. Apalagi kedua orang tua maupun mertua saya sudah sepuh dan masuk dalam kategori rentan. Bukan tidak mungkin, kami akan menjadi pembawa virus untuk mereka. Kami tidak mau ambil resiko.

Awalnya saya sendiri kesal di rumah saja, tidak kemana-mana. Rencana melawat yang sudah diagendakan terpaksa dibatalkan. Akan tetapi, pada akhirnya inilah adaptasi yang harus kami lakukan agar membantu memutus rantai penyebaran virus corona. Hingga 3 Mei 2021, tercatat 153 juta manusia terpapar virus asal Wuhan ini di seluruh dunia. Di Indonesia jumlahnya mencapai 1,68 juta kasus dengan korban meninggal 45.796 jiwa.

Beradaptasi dengan Buku

Menurut psikolog klinis Adam Borland, dikutip dari laman kompas.com, salah satu bagian penting agar sukses beradaptasi di era kebiasaan baru adalah berdamai dengan keadaan. Sebab, hal ini juga dirasakan orang lain. Meski, ada rasa kecewa Borland menyarankan agar kita tetap mempertahankan rutinitas harian.

Di antara rutinitas harian yang saya lakukan adalah membaca buku. Setiap hari saya menyempatkan membaca buku apa saja minimal satu halaman. Hobi membaca buku ini sudah saya lakukan sejak kecil. Ketika sudah memiliki anak, buku menjadi sarana hiburan saya melepas penat dan refreshing. Buku juga menjaga dan meningkatkan wawasan. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti harus kudet alias kurang update dan sering dianggap tidak tahu apa-apa.

Masih banyak manfaat membaca buku setiap hari antara lain sebagai stimulasi mental. Bagi orang-orang yang mulai berumur, membaca mencegah dari penyakit Alzheimer dan Demensia. Hal ini dikarenakan dengan membaca, otak terjaga tetap aktif, dan membuatnya tidak mudah kehilangan ingatan. Studi juga menunjukkan membaca selama 15 menit sampai 20 menit sebelum bekerja akan membantu meningkatkan konsentrasi atau membantu lebih fokus (sumber: kompas.com).

Selama pandemi, minat baca di sejumlah negara meningkat. Dikutip dari laman kominfo.go.id, menurut data UNESCO (2017), minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan yaitu 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca. Hikmah di rumah saja bisa menaikkan trend literasi di Indonesia. Data dari laman The Digital Reader menunjukkan, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu membaca enam jam per minggu sedikit dibawah Australia yang menghabiskan waktu enam jam 18 menit per minggu.

Grafik rata-rata membaca buku sejumlah negara selama pandemi Covid-19 (diolah dari antaranews.com)

Sejak virus Corona terkonfirmasi di Indonesia awal Maret 2020 tahun lalu, lebih dari lima buku terbitan Kelompok Gramedia yang telah saya selesaikan. Ada yang pertama kali saya baca tapi ada juga yang saya baca ulang. Di antara yang sudah saya resensi di blog ini yaitu Bulan Sabit di Atas Baghdad, Perjalanan Satu Dekade Konvensi Perubahan Iklim, Protokol Kyoto-Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Follow @MerryRiana, 33 Senja di Halmahera, dan yang belum sempat saya resensi adalah Sukses jadi Travel Blogger dan Saladin; Pahlawan Islam.

Buku “Bulan Sabit di Atas Baghdad” merupakan karya jurnalistik wartawan Kompas, Trias Kuncahyono. Buku nonfiksi ini saya beli ketika masih kuliah di Yogyakarta saat ada Kompas Gramedia Fair. Walaupun terhitung buku lama, tapi saya tak segan membaca ulang. Cara bertutur penulis dan penjelasannya yang informatif membantu saya lebih mengenal kawasan Timur Tengah. Bahkan saya baru dapat memahami secara gamblang perbedaan Islam Sunni dan Syiah lewat deskripsinya.

“Bulan Sabit di Atas Baghdad” bukanlah novel tapi sebagai pembaca saya ikut dibawa tegang oleh penulis ketika memasuki daerah rawan konflik. Saat itu kondisi Irak pasca perang. Perjalanannya bukanlah traveling pada umumnya tapi penuh resiko. Bagi saya sendiri, buku tersebut adalah obat akibat liburan yang tertunda. Usai membacanya, rasanya saya ingin suatu hari nanti napak tilas atau mengikuti jalan-jalan yang ditempuh sang jurnalis dalam melakukan tugas peliputan.

Selanjutnya, “33 Senja di Halmahera” karya Andaru Intan juga pelipur lara bagi saya yang harus menunda liburan. Buku ini saya beli di salah satu toko buku di Bandung saat sudah pandemi. Halmahera, kata itu menjadi magnet untuk memboyongnya pulang. Surga yang terkenal keindahan pantainya di Maluku. Pulau ini juga merupakan salah satu pulau yang dilintasi garis khatulistiwa.

Melalui tokoh Nathan dan Puan, saya diajak larut dalam kisah klise romansa masa muda yang terhalang perbedaan agama. Konflik yang sederhana tapi terbayar lunas dengan penggambaran eksotisnya Halmahera dan sekitarnya. Buku ringan tapi seakan menjadi guide bagi para pelancong yang ingin menginjakkan kaki ke pulau rempah-rempah yang lengkap dengan cerita adat istiadat dan kuliner. Penulis membawa saya memasukkan Halmahera sebagai salah satu bucket list yang wajib dikunjungi usai pandemi berakhir nanti.

Bukan hanya anak muda yang butuh motivasi. Sebagai seorang ibu, rasanya saya juga harus tetap mempertahankan semangat jiwa muda. Akhirnya pencarian di e-commerce menjodohkan saya dengan buku karya Debbie Wijaya ini. Novel yang terinspirasi dari pengalaman sang penulis sendiri yang mengidolakan sang inspirator Merry Riana, membuat novel ini sangat bernyawa. Membacanya, saya seakan diingatkan ketika masih single dahulu. Beban berat pekerjaan yang membuat ingin berhenti dan mengejar passion. Namun, bukan berarti tidak ada yang bisa saya petik usai membaca buku ini. “Follow @MerryRiana” membuat semangat saya untuk mengejar mimpi tidak padam.

Buku selanjutnya ada “Sukses Menjadi Travel Blogger” karya blogger asal Semarang, Dewi Rieka. Selama pandemi, banyak kebiasaan berubah. Tidak hanya sekolah yang biasa digelar tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh via daring tapi juga banyak kelas-kelas diadakan secara online. Ini menjadi kesempatan saya untuk terus belajar tanpa harus bingung menitipkan anak. Selain webinar, saya juga ikut kelas blog yang diampu penulis.

Dari kelas itu saya mendapat rekomendasi buku yang bisa dijadikan panduan bagi seorang blogger. Walaupun rasanya julukan travel blogger belum cocok bagi saya, tapi buku ini sangat berguna bagi seorang yang ingin menjadi blogger. Bagaimana harusnya menjadi blogger dan kiat-kiat dari travel blogger yang disusun dalam buku ini.

Kemudian dua buku karya Daniel Mudiyarso mengenai perubahan iklim yang saya beli saat masih kuliah dulu, “Konvensi Perubahan Iklim” dan “Protokol Kyoto“. Kedua buku ini membantu lebih memahami mengenai perubahan iklim akibat pemanasan global dan perjalanannya baik bagi negara berkembang maupun negara maju. Penulis juga menjelaskan mengapa meratifikasi Protokol Kyoto sangat penting dilakukan. Bagaimana komitmen negara maju untuk mengurangi emisi dan skema perdagangan karbon bagi negara berkembang?

Hikmah pandemi global memberikan ruang bagi bumi untuk bernapas. Emisi dilaporkan berkurang hingga lima persen tahun 2020. Hal yang belum pernah terjadi sejak perang dunia II. Pencemaran udara berkurang akibat pembatasan hingga trend gaya hidup ramah lingkungan menggeliat. Kedua buku tersebut menjadi dasar bagi saya, mengapa menurunkan emisi penting dilakukan seluruh negara bahkan nanti ketika wabah ini telah berakhir.

Terakhir, yang belum lama saya selesaikan adalah mengenai Saladin. Ini juga bukan buku baru bahkan sudah berulang-ulang saya baca. Bagi saya ini termasuk buku berat. Saya kerap kehilangan konsentrasi di tengah-tengah membaca sehingga tak jarang saya tak mengerti apa yang saya baca. Dalam buku ini banyak sekali disebut nama-nama tokoh baik dari pihak Muslim maupun Kristen yang penting untuk diketahui. Karya Geoffrey Hindley ini sangat menambah wawasan mengenai Perang Salib, sebuah pelajaran sejarah yang dulu saya lewatkan begitu saja ketika masih sekolah. Usai membaca buku ini, yang membuat saya “ngeh” adalah mengapa Yerussalem penting dan merupakan kota suci bagi tiga agama Muslim, Kristen, dan Yahudi.

Pada akhirnya buku menjadi teman saya selama perjalanan beradaptasi di era baru. Adanya buku tetap membuat saya bisa jalan-jalan lewat mata dan seluruh indera para penulis, buku membawa saya menjelajahi Timur Tengah, lalu dibawa ke kondisi abad pertengahan. Buku meningkatkan pengetahuan dan membantu saya mengembangkan diri. Buku bukan hanya sekedar kumpulan kertas yang dibaca sepintas lalu, ia adalah mahakarya yang membuat saya tetap “hidup”. Menambah deret manfaat membaca buku setiap hari bagi saya.

Bagaimana kisah Kalian bersama buku-buku selama proses beradaptasi, ceritakan juga ya!

Semoga bermanfaat^^

*Foto buku: dokumentasi pribadi

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.