Kearifan Lokal Gaya Hidup Minim Sampah Makanan

Food Waste
Mengedukasi si kecil agar menghabiskan makanan sejak dini (Dokumentasi pribadi)

“Ayo, dihabiskan nanti makanannya menangis!”

Tidak hanya Ibu saya atau saya kepada anak-anak, rata-rata begitulah nasehat orang tua kepada putranya saat enggan menghabiskan makanan. Selain mengajarkan agar tidak mubazir, wejangan ini menganjurkan agar kita tidak “nyampah” sisa makanan.

Hasil survei mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana Denpasar, Lia Rinikah menyebut dari 443 responden di Kota Denpasar dan Bandung yang didominasi mahasiswa, setengahnya pernah tidak menghabiskan makanannya. Responden berusia 16-40 tahun menyebut jenis makanan yang disisakan paling banyak adalah nasi, sayur, dan lalapan baik di rumah, restoran, dan kantin. Alasannya karena tak sesuai selera, diet, mengambil makanan kebanyakan, dan sudah kenyang. Parahnya, saat prasmanan seperti ada hukum harus dicoba semua.

United Nations (UN) (2019) memperkirakan terdapat 931 juta ton limbah makanan yang dihasilkan secara global. Food waste senilai $2,6 Trilyun terbuang percuma. Sisa makanan dimulai sejak distribusi bahan makanan sampai proses pengolahan. Bahan makanan mulai terbuang ketika melewati proses transportasi, ada yang rusak dan terseleksi sebelum diletakan di ruang pajangan, kemudian terbuang saat proses pengolahan seperti salah potong, seleksi lagi dan puncaknya saat makan.

Data foodsustainability.eiu.com (2017), Indonesia menghasilkan sampah makanan hingga 13 juta ton per tahun, setiap orang Indonesia berkontribusi menciptakan sampah makanan hingga 300 kilogram per tahun yang jika dikonversi  dalam Rupiah senilai 27 Trilyun. Angka tersebut juga setara dengan makanan yang bisa dikonsumsi 28 juta orang, hampir sama dengan populasi penduduk miskin di Indonesia.

tempat pembuangan akhir
Tempat Pemrosesan Akhir (Sumber: humasbandung.go.id)

Sampah sisa makanan yang terlihat sepele nyatanya tidak hanya berdampak pada lingkungan tapi juga manusia. Fermentasi makanan yang membusuk dapat menimbulkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Pada 21 Februari 2005 sekitar pukul 02.00 WIB, masyarakat digegerkan dengan ledakan TPA Leuwi Gajah, Bandung yang dipicu metana. Akibatnya, menimbun kampung Cilimus dan Kampung Pojok, dua pemukiman yang berjarak sekitar satu kilometer dari TPA dan menewaskan 157 jiwa.

Kadar metana akibat pembuangan makanan jumlahnya mencapai 10 persen dari gas metana yang ada di udara. Satu ton sampah organik menghasilkan 50 kilogram gas metana. Efeknya 25 kali lebih besar dari CO2. Kedua gas tersebut merupakan gas penghasil Efek Rumah Kaca (ERK) yang menimbulkan kerusakan pada lapisan ozon. Akibatnya bumi akan semakin panas dan mempercepat perubahan iklim. Padahal Indonesia telah menyatakan komitmennya pada Conference of Parties (Cop) 15 tahun 2009 untuk menurunkan emisi GRK. Pengelolaan limbah merupakan salahsatu dari kategori emisi selain energi, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian dan kehutanan serta perubahan penggunaan lahan.

Gaya Hidup Minim Sampah Lingkungan

Ada sebuah kebiasaan keluarga saya di Ciamis, setiap mencuci piring, sisa-sisa makanan akan ditumpahkan ke ember bukannya ke tempat sampah. Ember berisi sisa makanan tersebut dibawa ke balong (kolam tepat memelihara ikan) yang ada sekitar 200 meter dari pemukiman warga. Ternyata, sisa-sisa makanan tersebut dijadikan pakan ternak ikan.

Di kampung halaman saya sendiri di Klaten, orang tua memelihara ayam. Sisa nasi maupun makanan dijadikan sebagai pakan ayam. Di kebun, bapak selalu membuat lubang untuk sampah. Usai dipilah sampah-sampah organik termasuk dedaunan akan dikubur lalu membuat lubang baru. Berikut seterusnya. Sehingga tanah di kebun sangat subur dan berbagai tanaman tumbuh lebat karena tanah mengandung kompos. Hara yang baik bagi tanaman.

Pakde yang gemar akan memelihara burung kerap memberikan buah-buahan yang sudah terlalu matang. Sehingga, buah tersebut belum terlanjur busuk tapi menjadi makanan bagi burung beo.

Jika diperhatikan memelihara ternak bisa tergantung pada kondisi alam daerah tersebut dan kegemaran. Di Ciamis dengan medan pegunungan dan sumber air melimpah penduduk yang tinggal di kampung banyak yang membuat balong meski ada pula yang memelihara ternak lainnya. Di Klaten dengan topografi datar, kebanyakan masyarakat pedesaan memelihara ayam maupun ternak lainnya. Mereka mengelola sampah dengan kearifan lokal masing-masing.

Ketika saya berkunjung ke Ciamis, seolah menjadi tradisi memancing dan bakar ikan. Saat mudik pun akan selalu dipotongkan ayam. Ternak tersebut sangat bermanfaat  bagi warga tidak hanya dikonsumsi mandiri. Saat butuh uang, ikan maupun ayam bisa dijual dengan harga lumayan.

Konsep seperti ini juga pernah saya lihat di sebuah warung makan terapung. Restoran dengan menu andalan serba ikan tersebut berdiri di atas rawa. Sisa-sisa restoran akan diberikan kepada ikan. Jika semua restoran memiliki konsep terpadu dengan memelihara ternak seperti di atas tak akan ada lagi masalah sisa sampah restoran.

Namun, sekarang bagaimana jika tinggal di perkotaan dengan lahan terbatas seperti saya sekarang. Seringkali saya berencana memelihara ayam, tapi mau dikandangkan dimana apalagi membuat kolam ikan.

ambil, makan, habiskan

Berpedoman pada petuah orang tua dan menghindari hal mubazir, senada dengan saran dari Bandung Food Smart City keluarga kami menerapkan “ambil, makan, dan habiskan”. Penelitian Brian Wansink dan Koert van Ittersum (2013) menyatakan bahwa orang akan cenderung mengisi sekitar 70% dari piring yang digunakan. Makan dengan piring lebih kecil membuat porsi yang sama akan terlihat lebih besar dan memungkinkan kita akan makan lebih sedikit.

Namun, food waste kerap tak terhindarkan. Kerak nasi yang menempel di rice cooker. Lalu, dua bocah kadang makannya tidak bisa diprediksi kadang suka tak habis. Belum lagi, pengolahan selama memasak. Karenanya, selain kebiasaan makan yang baik perlu diimbangi dengan pengelolaan sampah sisa makanan.

Pengolahan Sampah di Perkotaan

Memilah Sampah dari Rumah Tangga  

Kang Pisman
Mural Kang Pisman di Kampung (Dokumentasi pribadi)

Sumber masalah sampah terbesar adalah rumah tangga. Idealnya, sedari rumah tangga, sampah bisa diminimalkan bahkan jika mungkin zero waste. Di Kota Bandung terdapat konsep “Kang Pisman” (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan). Menurut Wali Kota Bandung Oded M Danial, “Kang Pisman” tidak hanya sekedar cara menangani sampah tetapi juga bagian dari mengubah peradaban.

“Orang yang beradab adalah orang yang bisa menjaga lingkungannya dengan baik.”

Oded M Danial

Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan memilah sampah organik dan anorganik dan dipisahkan dalam dua tong. Sampah organik untuk dijadikan kompos sedangkan nonorganik didaur ulang. Composting bisa menekan gas metan naik ke atmosfer. Effevtive Microorgganisme (EM4) sering digunakan sebagai bioaktivator dalam pembuatan pupuk kompos padat dan juga untuk mengolah limbah cair.

Potongan sayuran seperti bayam, kangkung, singkong, jagung, dan sayuran basi, sampah daun pekarangan dan sebagainya sebaiknya dicincang atau diiris kecil. Untuk menambah mutu kompos bisa ditambahkan serbuk gergaji, sekam, kotoran ternak dengan perbandingan 1:1. Kemudian, disemprot larutan EM4 yang sudah dicampur dengan molase atau larutan gula merah atau putih.

Media yang digunakan dapat berupa bekas kaleng cat berdiameter 30 sentimeter atau wadah yang ada tutupnya. Dibagian bawah diberi saringan yang tidak mudah berkarat untuk memisahkan bokashi padat dengan air lindi. Kompos bisa digunakan memupuk tanaman begitu juga dengan air lindinya, tetapi air lindi sebelum digunakan dicampur air terlebih dahulu.

Eco Enzyme

Eco enzyme
Eco enzyme (Sumber: humasbandung.go.id)

Eco enzyme merupakan cairan hasil fermentasi campuran antara sampah organik berupa sayuran atau buah-buahan dengan molase atau gula tebu bisa juga aren. Manfaatnya membantu memudahkan pertumbuhan tanaman sebagai fertilizer/pupuk, mengobati tanah dan membersihkan air yang tercemar. Tidak hanya untuk pupuk, eco enzyme dapatditambahkan ke produk pembersih rumah tangga seperti pencuci piring atau detergen.

Untuk membuat eco enzyme, dikutip dari Instagram @dpukotabandung menggunakan perbandingan 1:3:10 antara molase dari gula merah: kombinasi potongan buah dan sayur yang tidak busuk dan tidak beralkohol: air bersih. Media yang digunakan tong kapasitas 60 liter. Tong hanya boleh diisi 2/3 atau 40 liter. Campuran bahan diaduk merata dan dianjurkan ditutup rapat menggunakan plastik dan karet. Pengadukan ulang dilakukan setelah hari ketujuh. Kemudian ditutup lagi. Lalu pengadukan kembali hari 30. Saat pembuatan tidak terkena sinar matahari. Eco enzyme dapat dipanen setelah tiga bulan.

Budidaya Manggot

manggot
Manggot (humasbandung.go.id)

Manggot atau belatung merupakan larva dari lalat Black Soldier Fly (Hermetia Illucens, Stratimydae, Diptera) atau BSF. Lalat tentara ini tidak menularkan bakteri, penyakit, bahkan kuman kepada manusia. Seperti halnya belatung, manggot berguna secara ekologis dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik. Manggot mengonsumsi tidak hanya buah dan sayuran segar sehingga sangat cocok digunakan dalam pengelolaan sampah organik.

Sepuluh ribu manggot dapat menghabiskan satu kilogram sampah dalam waktu 24 jam. Selain mereduksi sampah, manggot bisa menjadi makanan ternak yang lebih menguntungkan dibanding cacing. Manggot memiliki kadar protein 30-40% jika dijadikan palet. Manggot sangat cepat berkembang biak, dari menetas hingga panen membutuhkan waktu sekitar 17 hari.

Keterbatasan lahan di kota kadang menjadi kendala pengelolaan sampah dari rumah. Untuk mengatasinya bisa digerakkan program satu RT atau RW untuk  pengolahan sampah komunal seperti halnya bank sampah. warga yang tidak mengolah sampah di rumah bisa menyetorkan ke RT/RW. Hasil composting berupa pupuk maupun palet, selain buat warga bisa menambah pemasukan khas RT/RW setempat. Sampah sisa makanan yang dianggap bau dan menjijikkan bisa menjadi nilai tambah dan memberdayakan warga.

Sebagai ibu, cara terbaik saya adalah mengedukasi anak-anak sejak dini, mengajari mereka menghabiskan makanan, memisahkan sampah, dan membuang sampah tempatnya. Semoga dengan gaya hidup minim bebas sampah dari masing-masing kita bisa berperan dalam menyelamatkan bumi tempat kita tinggal.

Mari menjaga bumi dengan mengurangi sampah makanan!

Semoga tulisan saya bermanfaat^^

Referensi:

EM4 Permudah Pengolahan Sampah Organik

Fakta Sampah Makanan Setara Dengan 27 Triliun Rupiah

Kontribusi Penurunan Emisi GRK Nasional, Menuju NDC 2030

Mengenal Maggot, Belatung Pemakan Sampah Organik

Sisa Makanan Ternyata Memicu Perubahan Iklim. Kok Bisa?

Tragedi Leuwigajah, Kisah Kelam “Bandung Lautan Sampah”

Yuk Membuat Eco Enzyme, Cairan Sejuta Manfaat

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.