Mengurangi emisi karbon bagi saya seorang ibu rumah tangga sama artinya dengan mengurangi pengeluaran. Mengapa bisa begitu?
Namun sebelumnya, apa sih Net-Zero Emission (NZE)? Istilah NZE atau nol-bersih emisi sudah muncul sejak tahun 2008. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim tahun 2015 di Paris mewajibkan negara industri dan maju mencapai nol-bersih emisi pada 2050. NZE semakin populer usai Climate Leader’s Summit yang digagas Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhir April 2021 lalu.

Emisi karbon dapat berasal dari sektor transportasi yang menyumbang sekitar 14 persen per tahun, industri dan pembangkit listrik berkontribusi sebesar 34 persen per tahun, dan kebakaran hutan dan lahan khususnya deforestasi berperan 17 persen per tahun. Namun, mengutip forest digest, secara alamiah manusia dan dunia tidak bisa tak memproduksi emisi. Manusia bernapas menghasilkan karbon dioksida (CO2). Jika dikalikan jumlah manusia sebanyak 7,8 miliar, emisi karbon dari napas manusia berkontribusi 5,8 persen terhadap volume emisi karbon tahunan.
Awalnya saya berpikir kalau tidak bisa tak memproduksi emisi, sia-sia dong gagasan NZE ini. Namun, Dino Patti Djalal pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) memberikan penjelasan yang mudah dimengerti bahwa NZE adalah kondisi dimana jumlah gas rumah kaca (GRK) yang kita keluarkan ke udara sama dengan jumlah emisi yang kita serap kembali. Misalnya ada karbon dikeluarkan sebesar 700 Metric Ton karbon maka emisi tersebut harus diserap kembali oleh sekitar satu hektar hutan mangrove atau lima hektar pepohonan. Hutan secara global mampu menyerap 20 persen emisi karbon, laut dan perairan 23 persen, sisanya tanah, dan yang tak tertampung menguap ke atmosfer.
United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah menetapkan enam macam GRK yang dihasilkan oleh kegiatan manusia. GRK tersebut adalah Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitro Oksida (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulfur hexafluoride (SF6). Gas-gas tersebut secara alami menghangatkan suhu bumi. Namun, ketika semakin banyak GRK yang terperangkap di atmosfer menyebabkan suhu bumi meningkat lebih cepat atau dikenal dengan pemanasan global. Emisi karbon dijadikan referensi utama sebab karbon memiliki presentase terbesar di atmosfer sebanyak 60 persen.
Peningkatan GRK jika terus dibiarkan akan menaikkan suhu bumi yang diprediksi meningkat 3-4 derajat Celcius pada akhir dekade ini. Pemanasan global dapat menyebabkan beragam bencana yang sudah terjadi dari sekarang. Misalnya pergeseran musim, banjir, permukaan air laut meningkat, dan suhu ekstrim. Jika tidak ditindaklanjuti dari sekarang perubahan iklim dapat mengancam peradaban manusia modern dan keberlanjutan ekosistem global.

Untuk itulah sangat penting berpartisipasi mewujudkan NZE. Dikutip dari Kompasiana, Indonesia menargetkan NZE selambat-lambatnya dapat dicapai tahun 2060. Berbagai kebijakan pembangunan rendah karbon pun diterapkan di berbagai sektor, salah satunya sektor energi seperti penurunan intensitas energi (Efisiensi Energi), pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), penerapan Standar Kinerja Energi Minimun (SKEM), dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).
Di sektor swasta, Indika Energy sebagai sebuah grup usaha yang memenuhi kebutuhan energi, sekaligus menangani proyek strategis energi dan infrastruktur memilikit target untuk dapat mencapai NZE pada 2050. Indika Energy menjadi perusahaan Indonesia yang agresif dalam mencapai netral karbon.

“Indika Energy memiliki dua aspirasi besar yaitu mencapai net-zero emissions pada tahun 2050 dan meningkatkan pendapatan perusahaan dari sektor non batubara menjadi 50% pada tahun 2025,” tutur Arsjad Rasjid, Direktur Utama Indika Energy.
Indika Energy yang merupakan perusahaan terdiversifikasi terkemuka berkomitmen menjaga bumi lebih baik dengan berfokus pada keberlanjutan. Ini yang mendasari transisi Indika Energy dengan mengembangkan portofolio bisnisnya pada sektor non batubara sebagai upaya untuk mencapai NZE. Indika Energy saat ini turut mengembangkan penggunaan panel surya sebagai upaya dekarbonisasi, berinvestasi pada sektor energi terbarukan, teknologi digital, kendaraan listrik, nature-based solutions, dan bisnis berkelanjutan lainnya.
Adopsi Net Zero Emission ala Ibu Rumah Tangga
Bukan hanya pemerintah maupun perusahaan yang harus berkomitmen dengan NZE. Saya menyebutnya adopsi Net-Zero Emission. Kita bisa melakukannya dalam lingkup rumah tangga. Setidaknya ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam rangka meminimalisir jejak karbon. Menekan besaran emisi GRK yang kita produksi dalam kegiatan sehari-hari.
Inilah yang tadi saya sebut dalam paragraf pembuka di atas. Mengurangi emisi karbon sama artinya menekan pengeluaran rumah tangga. Tentu saja hal-hal yang berhubungan dengan duit sangat menarik bagi menteri keuangan keluarga seperti saya.
Sebagai ibu rumah tangga tentu kita tidak bisa muluk-muluk mengganti sumber listrik di rumah dengan panel surya atau serta merta mengubah sawah menjadi hutan untuk menyerap karbon yang kita hasilkan. Karena, masing-masing individu, lembaga swadaya masyarkat (LSM), perusahaan, maupun pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Nah, di antara cara yang sudah saya lakukan untuk mendukung NZE melalui pengurangan emisi dalam kehidupan sehari-hari adalah:
- Mematikan lampu dan barang elektronik lainnya yang tidak digunakan

Penggunaan energi listrik untuk keperluan sehari-hari memproduksi emisi CO2 yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil di pembangkit listrik yang umumnya masih berasal dari batu bara. Untuk setiap penggunaan lampu berdaya 10 Watt yang dinyalakan selama 1 jam, CO2 yang dihasilkan adalah 9,51 gram (http://www.iesr.or.id).
Menggunakan asumsi tersebut jika kita memangkas setengah jam maka kita pun turut mengurangi emisi yang terbuang ke udara sebesar 4,25 gram. Apabila di rumah terdapat lima lampu atau lebih semakin besar pula emisi yang bisa kita pangkas.
Selain emisi karbon yang dipangkas, tagihan listrik pun berhasil dikurangi. Mungkin terlihat sepele, tapi saya sudah membuktikannya dalam tiga bulan terakhir. Bulan Juli ketika saya melahirkan anak ketiga, saya tidak bisa mengontrol pemakaian lampu, anak-anak menonton televisi, kapan menyalakan air, mematikan dispenser, dan mencabut charger yang sudah tidak digunakan.
Tagihan Agustus 2021 sebesar Rp170.425,00. Bulan berikutnya, ketika kondisi saya sudah mulai stabil untuk beraktivitas, tagihan listrik September turun menjadi Rp144.629 dan sewaktu saya sudah normal tagihan terakhir Oktober turun lagi menjadi Rp113.100,00. Saya bisa menghemat setidaknya Rp50 ribu yang artinya penghematan tersebut bisa saya alihkan ke pos lain.
- Tidak mencetak jika tidak penting
Dulu saya adalah tipe pembaca hardcopy. Menatap monitor terlalu lama membuat mata cepat lelah dan saya tak leluasa corat-coret. Karena itu, saya kerap sekali mencetak dengan kertas. Satu lembar kertas untuk kebutuhan pencetakan (printing) menghasilkan sekitar 226,8 gram CO2 (http://www.iesr.or.id).
Saat ini saya telah terbiasa mencetak menggunakan kertas secara bolak-balik. Kebetulan saya memiliki toko online yang harus mencetak label pengiriman. Kerap saya menggunakan kertas yang bisa digunakan kembali. Satu lembar kertas tidak hanya dipakai untuk sekali pengiriman tapi bisa sampai empat pencetakan label. Kebiasaan ini menjadikan penggunaan kertas lebih hemat yang berujung pada efiisiensi dan penghematan anggaran.
Kertas dibuat dari bahan baku kayu dengan menebang pohon. Semakin banyak kebutuhan kertas berarti semakin banyak pohon yang ditebang. Artinya tangkapan karbon pun berkurang.
- Menggunakan goodie bag ketika belanja

Masalah utama plastik sekali pakai ternyata bukan terletak di hulu atau bagian pembuangan tetapi di bagian hilir atau proses ekstraksi dan produksi yang menyumbang GRK. Dalam sebuah laporan, “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet,” menyebutkan bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari siklus produksi hingga pembuangan plastik mencapai 2.8 Juta Metric Ton CO2. Angka tersebut setara dengan emisi karbon yang dihasilkan oleh 500 buah Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara di tahun 2050.
Memperhatikan data tersebut artinya jika kita menggunakan goodie bag saat belanja berarti turut mencegah pelepasan karbon di udara. Sebagai ibu rumah tangga, satu kantong plastik pun dapat dihargai dengan nominal.Di Bandung, satu kantong plastik saat belanja dihargai Rp200 rupiah. Sekali belanja bulanan di supermarket, saya bisa menggunakan sampai empat kantong plastik karena beban belanjaan berat sehingga harus dirangkap agar tidak jebol. Selain ke supermarket, dalam sebulan bisa berkali-kali ke minimarket. Jika dikalikan uang membeli plastik bisa untuk membayar tukang parkir. Lebih hemat lagi.
- Bangga membeli produk lokal

Selain harga produk lokal yang lebih murah, membeli produk lokal termasuk upaya mengurangi jejak karbon. Sebab, dalam proses pengiriman terdapat pangemasan dan bahan bakar yang dibuang. Kapal tanker atau kapal cargo pembawa barang berbahan bakar fosil bertanggung jawab terhadap tiga persen emisi di udara.
- Membiasakan diri berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan kendaraan umum

Pembakaran bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi manusia berkontribusi terhadap hampir 2/3 emisi GRK yang diproduksi secara global. Perjalanan sejauh satu kilometer dengan kendaraan berbahan bakar bensin atau solar akan menghasilkan emisi sebanyak 200 gram CO2 (http://www.iesr.or.id).
Pandemi membuat gaya hidup berubah. Ini seharusnya juga menjadi momentum untuk membiasakan diri berjalan kaki maupun bersepeda untuk jarak dekat. Selain ramah lingkungan, murah, dan menyehatkan. Untuk bepergian asal masih terjangkau kami pun lebih memilih angkutan umum. Selain mengurangi gas buang, berjalan kaki ke minimarket yang kebetulan dekat rumah juga menghemat ongkos parkir.
- Menanam tanaman maupun adopsi pohon

Kebutuhan satu orang bernapas dikatakan setara dengan empat pot tanaman. Jika di rumah saya ada lima orang artinya setidaknya harus ada 20 pot tanaman. Saat berfotosintesis tanaman menyeimbangkan jumlah antara oksigen dan karbondioksida melalui proses fotosintesis. Namun, tidak semua suka bercocok tanam dan keterbatasan lahan. Sebagai warga kota kita bisa memilih opsi adopsi pohon. Saat ini banyak sekali LSM yang menawarkan program adopsi pohon. Saya terdaftar sebagai adopter di salah satu organisasi peduli lingkungan.
Menanam lebih banyak pohon, mencegah deforestasi dan degradasi lahan, dan tak merusak ekosistem laut serta perairan merupakan jalan alamiah menangkap karbon. Melalui adopsi pohon kita turut menjaga kelestarian hutan.
Terakhir, langkah-langkah kecil dari rumah tersebut diharapkan berkontribusi dalam menjaga bumi agar tidak cepat panas dengan mengurangi emisi dalam kehidupan sehari-hari. Ibu bijak yang peduli lingkungan sekaligus cerdas dapat menekan pemborosan yang tidak perlu. Dalam konteks lebih luas, NZE dapat memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi melalui peningkatan income per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Sekali menyelam dua tiga pulau terlampaui. Suami pun makin sayang!^^
*Artikel ini sudah ditayangkan di Kompasiana pada 24 Oktober 2021
Referensi:
https://www.forestdigest.com/detail/1137/apa-itu-net-zero-emissions
Indika Energy Perkuat Komitmen Menuju Netral Karbon
https://sustaination.id/bagaimana-plastik-sebabkan-krisis-iklim/
youtube: Sekretariat FPCI