Tazkiyatun Nafs #2 – Tugas Pembimbing dan Pengajar

Ilustrasi ibu sebagai madrasatul ula

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya segala tingkah laku guru akan ditiru muridnya. Di seri pertama rangkaian Tazkiyatun Nafs, aku telah membahas “Adab Murid dengan Guru”. Di tulisan kedua ini, aku melanjutkan bagian tugas pembimbing dan pengajar.

Ada delapan tugas pembimbing dan pengajar dalam buku “Mensucikan Jiwa” ini.

Seorang pengajar memperlakukan anak didiknya sebagai anak dengan tujuan menyelamatkan dari api neraka.
Dalam riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban; Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya aku bagi kalian adalah bagaikan bapak terhadap anaknya.

Hal ini meneladani Rasulullah Muhammad SAW. Bahwa mengajarkan ilmu semata-mata karena Allah dan taqarrub kepada-Nya.

Mengingatkan murid bahwa tujuan mencari ilmu adalah taqarrub kepada Allah Ta’ala bukan untuk meraih kekuasaan, kedudukan, dan persaingan.

Caranya dengan tidak langsung sehingga membuat jiwa yang baik dan pikiran yang cerdas cenderung untuk mengumpulkan berbagai maknanya. Sebaliknya cara langsung atau terang-terangan akan mengurnangi kewibawaan, menimbulkan keberanian untuk membangkang, dan merangsang sikap bersikeras untuk mempertahankan.

Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas wawasan murid kepada orang lain. Jika ia menekuni berbagai ilmu maka harus memjaga pertahapan dan meningkatkan murid dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain.

Takarlah setiap orang dengan takaran akalnya. Jadi timbanglah dia dengan takaran akalnya. Dan, timbanglah dia dengan timbangan pemahamannya, agar engkau selamat darinya dan dia bisa mengambil manfaat darimu.”

Baiknya ketidakmampuan murid tidak disampaikan sebab dapat mengurangi minat, mengguncang hati, dan mengesankan kebakhilan ilmu terhadap dirinya.

Dosa orang berilmu yang bermaksiat lebih besar daripada dosa orang bodoh. Siapa yang memprakarsai suatu tradisi yang buruk maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang melakukannya.

Perumpamaan guru pembina terhadap para murid laksana bayangan dengan tongkat; bagaimana bayangan bisa lurus jika tongkatnya bengkok?

Dari bab ini, aku belajar bahwa murid dan guru mempunyai tanggung jawab masing-masing. Seorang guru harus bisa merangkul anak didiknya layaknya bapak kepada anak. Sehingga hak guru menjadi lebih besar daripada orang tua. Orang tua adalah sebab keberadaan di dunia fana sementara guru bermanfaat untuk membawa ke akherat yang abadi.

Pendidik juga tidak serta merta begitu saja dalam mengajar. Ia bertanggung jawab pada apa yang diajarkannya terlebih dengan perbuatannya, jangan sampai ia melanggar apa yang diajarkannya sendiri. Dia melarang muridnya perbuatan fasiq tapi dia sendiri melakukannya.

Seorang guru juga harus mengenal karakter anak didiknya. Mengetahui kemampuannya dan tidak mengatakan ketidakmampuan anak secara terang-terangan. Begitu juga saat menegur murid tidak boleh sesuka hati karena semua bisa berdampak baik bagi murid maupun gurunya.

Karena aku sebagai ibu yang katanya madrasatul ula, sekolah pertama bagi anaknya, bagian ini sangat berkesan bagi aku. Bagaimana aku bisa menjadi ibu dan guru buat anak-anakku. Bukan sekedar penyebab keberadaan mereka di dunia tapi juga membimbing mereka ke akherat kelak.

Mari berdiskusi di kolom komentar di bawah ya👇

Sumber:
Buku Mensucikan Jiwa; Tazkiyatun-nafs Terpadu, Intisari Ihya’ Ulumuddin al-Ghazali diseleksi dan disusun ulang oleh Sa’id Hawwa

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.