Gathering Netizen MPR dan Blogger Bandung; Tantangan Nasionalisme

Diawali dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, netizen dan MPR RI ngariung dalam satu atap. Netizen atau warga digital ini berasal dari kalangan Blogger Bandung dan sekitarnya termasuk beberapa media. Acara berlangsung di Hotel Aston Tropicana, Cihampelas Bandung, Senin (11/12/2017).

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan yang kemudian senang disapa Pak Zul Hasan hadir didampingi dengan Sekjen MPR Pak Ma’ruf Cahyono. Dipandu oleh Mbak Lia, Blogger asal Jakarta, Pak Zul Hasan memulai dengan mendengar keluh kesah para netizen. Katanya, jika biasanya Beliau terlebih dahulu berbicara, pada kesempatan kali ini, Beliau ingin mendengar terlebih dahulu.

Ada sepuluh peserta yang mengangkat tangan dalam acara Gathering Netizen MPR dan Blogger Bandung. Berikut saya mencoba meringkas pertanyaannya (mohon maaf dan diluruskan kalau ada kesalahan penulisan nama), pertama, dari Ibu Intan yang mengeluhkan kelangkaan gas, kedua, dari Ibu Maria, mengenai masalah sampah dan lingkungan, ketiga, Bu Sugi, terkait reformasi, keempat, Kang Yoga, tentang strategi MPR, kelima, Kang Aswi mengangkat tema royalti untuk penulis, keenam, Rina atau saya sendiri, pemilihan presiden langsung, ketujuh, Ibu Retno, hampir sama dengan Kang Aswi, kedelapan, Pak Zam-Zam, kasus Ustad Abdul Somad, kesembilan, Ibu Putu penghilangan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan terakhir kesepuluh Pak Dede, mengenai efek pilkada DKI yang mengangkat isu SARA.

Nah, berikut kurang lebih tanggapan dari Pak Zul Hasan yang saya tangkap.  MPR RI merupakan rumah kebangsaan pengawal ideologi Pancasila dan kedaulatan rakyat, tugasnya mengawal konstitusi. Gas merupakan hak setiap warga negara yang berjanji akan terus dikawalnya. Dalam menjawab persoalan sampah, Pak Zul Hasan, memulai dengan pertanyaan, “Persoalan sampah tanggung jawab siapa?” Ada yang menjawab Wali Kota, Gubernur, dan saya sendiri menggumam tukang sampah. Eitsss..  sampah itu urusan kita masing-masing. Kata beliau, sampah bukan cuma urusan pemerintah, kalau semua diserahkan ke pemerintah tidak akan kelar-kelar, sampah itu urusan masing-masing seperti di negara maju Singapura dan Jepang. Iya, saya berpikir benar juga sih, salahsatu dosen saya Pak Ris Hadi yang pernah mengenyam pendidikan di Jepang, pada suatu kesempatan pernah bercerita, Beliau salah memasukkan sampah pada kantongnya, karena di sana sampah sudah dipilah dari rumah tangga. Nah, kantong tersebut selama berhari-hari tidak diambil oleh petugas. Ketika diusut ternyata ada sampah yang bukan kategorinya misalnya sampah organik masuk ke kantong an organik. Beliau pun harus mengorek-ngorek sampah yang sudah bau dan memilahnya. Baru esoknya, sampah diangkut petugas. Sebegitunya, kita di Indonesia? Untuk ke tahap itu kita masih berproses dengan kesadaran dan sumberdaya manusia yang terbatas. Selalu perlunya sosialisasi dan pendidikan yang berkesinambungan dan tegasnya aturan pemerintah.

Kita yang berumur lebih dari 30 tahun, tentu akan mengingat reformasi 1998. Reformasi yang hampir bergulir 20 tahun, saya ingat samar-samar, karena waktu itu masih SD kelas IV. Pasca reformasi, warga negara Indonesia bebas menyampaikan pendapat dan berkumpul. Pak Zul Hasan mencontohkan, sebelum reformasi 1998, “Berkumpul-kumpul seperti ini bisa ditangkap?” Adanya reformasi tersebut setidaknya juga melahirkan otonomi dan demokrasi. Sebagai rakyat Indonesia kita wajib bersyukur, Beliau mencontohkan kegagalan demokrasi di Timur Tengah dengan bom meledak bisa terjadi kapan saja dan di Thailand yang kedua perdana menterinya kabur.

Pak Zul Hasan setuju dengan masalah royalti penulis. Royalti yang kecil tapi terus dibajak. Salah satu wakil rakyat yang terus menggaungkan masalah royalti adalah Anang Hermansyah (hak cipta lagu).

Orang melakukan plagiat sama dengan rampok sama dengan korupsi

Kemudian, terkait tidak adanya lagi PMP, MPR akan menggalakkan kembali Pancasila. Sebab, jika tidak ada filter Pancasila dikhawatirkan nanti “yang lain” masuk. Mungkin dari sisi ekonomi maupun kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia sedemikian gencar di era globalisasi dan pasar bebas ini.

Indonesia merupakan negara dengan toleransi tinggi, kasus persekusi di Bali kepada Ustad Somad tidak boleh menciderai kerukunan umat beragama. Itu hanya oknum. Karenanya, penegak hukum harus bertindak tegas kepada para provokator ini. Begitu juga dengan isu SARA di Pilkada DKI kemarin, pada dasarnya pilkada merupakan adu gagasan dan konsep, pertarungan antar anak negeri. Sehingga diharapkan isu tidak melebar ke daerah lain.

Terkait pertanyaan saya sendiri, sebenarnya dilatarbelakangi kenapa pemilihan presiden langsung sepertinya ribet, banyak makan anggaran, dan kadang malah membuat antar warga negara bermusuhan karena berbeda dukungan. Kenapa tidak melalui MPR sesuai dengan sila ke empat melalui mufakat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan dan perwakilan”. Untungnya, Pak Zul Hasan menangkap opini yang saya sampaikan dengan ngalor-ngidul kadang suara gemetar, bahkan hingga lupa melafalkan sila keempat Pancasila *tepuk jidat*. Ternyata, ngomong di depan banyak orang memang tidak gampang harus sering dilatih. Kembali ke pertanyaan, pilpres langsung one man one vote sudah diamanatkan oleh UUD 1945. Secara konstitusional sudah diamandemen dari tidak langsung ke pemilihan langsung. Kata Beliau, bisa saja balik seperti dulu jika DPR sepakat, itu berarti harus diamandemen lagi. Hmmmm….

Nah, itu tadi rangkuman tanya jawab blogger yang kata Pak Zul Hasan bisa merubah peradaban. Beberapa point, mungkin saya kelewat karena gagal fokus. Usai menjawab keluh kesah netizen, Beliau pun memaparkan pekerjaan rumah negeri ini dan tantangan generasi millenial.

Netizen berkeluh kesah kepada Ketua MPR RI Zulkifli Hasan

 

Pekerjaan Rumah dan Tantangan Generasi Millenial

Semenjak reformasi bergulir, silih berganti kepemimpinan, permasalahan-permasalahan di Indonesia dicoba dicari solusinya. Namun, setidaknya ada beberapa permasalahan yang belum selesai. Di antaranya:

  1. In Justice” Penegakan hukum yang tebang pilih. Contohnya, dalam menangani kasus pejabat rasanya gampang sedangkan rakyat susah. Penanganan yang berbeda ini menimbulkan keresahan rakyat.
  2. Belum selesainya masalah pengangguran tapi terdapat tantangan dengan masuknya tenaga kerja asing dari Tiongkok yang sempat memanas di media. Emil Salim bahkan mengatakan masuknya tenaga kerja asing merupakan penjajahan gaya baru. Padahal diamanatkan dalam UUD 1945 maupun Pancasila, bahwa rakyat Indonesia harus didahulukan seperti terkutip dalam Pembukaan UUD 1945 “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia…”
  3. Permasalahan korupsi. Masalah korupsi di kalangan dewan dan pemimpin daerah menyebabkan distrust di kalangan rakyat. Tapi balik lagi, siapa yang memilih mereka? Karena itu, sebagai warga negara kita harus jeli dan kritis menggunakan hak pilih.
  4. Kesenjangan sumberdaya alam Timur ke Barat. Pertumbuhan ekonomi yang terpusat di Jawa terkadang membuat masyarakat luar Jawa “cemburu”. Perbedaaan nilai APBD juga sering menjadi permasalahan. Pak Zul Hasan bahkan mencontohkan dirinya yang berasal dari Lampung Selatan.
  5. Merah Putih terkoyak. Adanya distrust seperti contoh persekusi Ustad Somad. Bali memiliki filosofi “Tri Hita Karana” yaitu penyebab tercipta kebahagiaan adalah hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam. Sehingga, kehadiran oknum-oknum tak bertanggungjawab ini jangan mengoyak toleransi umat beragama di Bali dan Indonesia umumnya.

Di samping PR yang belum selesai, generasi muda Indonesia yang berada di era digital ini memiliki tantangan tersendiri. Jika dulu generasi muda melawan penjajah untuk kemerdekaan bangsa, maka saat ini anak Indonesia harus pandai memanfaatkan era serba cepat dan mudah untuk kemajuan bangsa. Pak Zul Hasan mengatakan tantangan nasionalisme kita sekarang adalah revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), globalisasi, lalu media sosial dan personalisasi individu. Karenanya, generasi millenial yang HEBAT harus memiliki:

  1. KOKOH darimana ia berasal. Agar tidak terombang-ambing dalam pergaulan sudah selayaknya, kita mengetahui budaya nenek moyang kita, adat istiadat yang kita pegang sehingga kita akan memiliki jati diri.
  2. Mencintai negerinya. Rasa nasionalisme sangat penting ditengah derasnya globalisasi yang mana bangsa asing bebas masuk wilayah NKRI tidak hanya berkunjung tapi juga berdagang.
  3. Mengutip kata Bung Karno, tidak berilmu maka akan menjadi kuli di negeri orang. Jangan sampai ya?
  4. Jaringan ini harus terus diperluas tidak hanya dalam negeri tapi juga di luar negeri.

Akhirnya, pesan Beliau menjahit kembali Merah Putih agar kembali utuh dan maju dengan kembali ke nilai-nilai Pancasila. Untuk itu setiap warga negara harus mengetahui dan aware terhadap empat pilar MPR RI. Sehingga, terwujud tujuan bangsa dan negara yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesi pun diakhiri dengan foto bersama.

Empat pilar MPR RI yaitu Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Lalu, apakah kita bisa menjawab tantangan nasionalisme di era digital ini? Setidaknya, dengan bekerja keras sesuai passion seperti oleh-oleh yang saya terima dari acara ini. Kalau Kamu?

 

11 pemikiran pada “Gathering Netizen MPR dan Blogger Bandung; Tantangan Nasionalisme

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.