Konsumen Cerdas di Era Digital Itu…

koncer tribun newa

Image: Tribun Pontianak

Belum lama ini, temuan BPOM pada 27 merk ikan makarel atau sarden yang mengandung cacing parasit menggegerkan konsumen. Terungkapnya label kadaluawarsa palsu di sejumlah supermarket telah menambah keraguan konsumen untuk berbelanja. Nah, belum lagi minuman berpemanis buatan yang tidak dianjurkan bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan balita begitu mudahnya terjangkau di warung-warung dengan tulisan di label yang hampir tak terbaca.

Contoh kasus tersebut, bagi saya pribadi menimbulkan rasa was-was bahkan hingga tidak percaya pada produk-produk tertentu. Sejatinya, produk atau jasa diciptakan agar bermanfaat orang lain. Namun, dorongan biaya produksi tinggi, menghidupi pekerja, harga bahan baku terus melambung terkadang mendorong produsen untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan melegalkan segala cara. Imbasnya, hak-hak konsumen terabaikan.

Padahal tanpa sadar cara yang tidak benar tersebut membuat distrust “raja” mereka sendiri. Sebab, pembeli adalah “raja”. Begitulah seorang pembeli atau konsumen seharusnya dilayani. Jika pelayanan buruk maka “raja” tidak akan segan-segan membuat keputusan untuk berhenti mengonsumsi dan berpindah ke lain hati. Raja atau pembeli memiliki kekuatan dahsyat.

Sebagai gambaran, ada minimarket baru di sebelah desa saya. Harganya pun miring. Awalnya ramai, orang desa yang biasa ke warung-warung kelontong berpindah ke swalayan karena ingin pengalaman belanja lebih modern. Pembeli ingin merasakan bebas memilih tanpa harus meminta tolong ke penjual untuk mengambilkan barang yang hendak dibeli tanpa sungkan. Baru setelah selesai dibawa ke kasir. Tapi tak lama minimarket itu pun sepi. Nyaris tak ada kehidupan kecuali kasirnya dan satu dua orang pembeli saja yang terpaksa atau tidak tahu. Kenapa? Ternyata kekuatan mulut “raja”. Sangat sederhana dari mulut ke mulut, tersebarlah jika barang yang dijual oleh swalayan tersebut ternyata banyak yang sudah kadaluarsa atau hampir kadaluarsa.

Termasuk saya dan suami menjadi korban, saat itu kami sedang pulang kampung. Karena ingin yang dekat kami mampir untuk membeli bekal air mineral dan beberapa snack untuk camilan suami di kereta yang akan balik ke Bandung lebih dulu. Sampai di rumah saya cerita pada ibu terkait harganya yang murah. Setelah tahu dimana membelinya, ibu langsung menyuruh saya mengecek tanggal kadaluarsa. Dan akhirnya kami merelakan beberapa snack dibuang karena benar sudah melewati batas layak konsumsi. Cerobohnya kami. Lalu, bagaimana ibu tahu? Ya dari kata tetangga-tetangga, komunikasi lisan yang dalam bahasa Jawa disebut getok tular. Berawal dari satu mulut informasi tersebar ke orang lain dengan cepat.

Konsumen Cerdas di Era Digital

Setelah mengamati, saya membagi dua jenis konsumen saat ini berdasarkan cara bertransaksi. Konsumen konvensional dan konsumen digital, keduanya saat ini berada di era digital. Konsumen konvensional atau tradisional bertransaksi dengan bertatap muka antar penjual dan pembeli begitu pula produk atau jasa yang ditawarkan. Sedangkan konsumen digital merupakan pembeli untuk pemasaran secara online, melihat produk atau jasa berdasarkan gambar dan penjelasan di dunia maya, usai membayar dengan online pula, barang pun datang.

Mana yang lebih rentan tertipu? Kalau kata saya, dua-duanya rentan. Sehingga harapan saya sebagai konsumen baik konvensional maupun digital adalah produk yang dijual dijamin berkualitas, kalau memang harganya murah tapi tidak murahan, dan tidak menipu dengan kata diskon. Sebab, terkadang kita menemukan harga murah tapi ternyata begitu sampai di rumah tidak layak dan penjual telah me-mark up harga barang terlebih dahulu lalu diberi embel-embel diskon.

Lalu, bagaimana agar kita terhindar dari hal-hal yang merugikan tersebut? Di saat digitalisasi telah masuk ke hampir berbagai lini kehidupan, kita pun dituntut menjadi konsumen cerdas. Nah, menurut saya konsumen cerdas di era digital itu…

Memilah dan Memilih

Selalu mengusahakan kroscek atau teliti sebelum membeli barang. Melihat tanggal kadaluarsanya dan cek label SNI ini. Sebab, menjamin produk yang dikonsumsi sehat, aman, legal, dan ramah lingkungan. Kemudian menanyakan garansi. Hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan kemasan atau chat langsung dengan penjual jika membeli via online untuk menanyakan stok atau ganjalan terkait produk. Jangan pesan warna merah datang warna hijau atau pesan merk apple yang datang apel. Kita pun harus jeli memilih dimana akan membeli terutama jika online harus jelas kredibilitas tokonya dan keaslian produknya. Salahsatu caranya kita bisa membaca review atau ulasan dari pembeli sebelumnya maupun rating yang diberikan.

Selain itu, yang penting diingat adalah pembeli yang cerdas itu membeli berdasarkan kebutuhan bukan keinginan.

Seperti kancil

Konsumen yang cerdas dituntut bersikap dan perilaku cerdik, pintar, dan berhati-hati seperti kancil ketika hendak mengonsumsi barang atau jasa. Selalu banyak akal dalam menjalani kehidupan sehingga selalu terhindar dari marabahaya atau kecurangan dari penjual nakal. Karenanya kancil dijadikan simbol Hari Konsumen Nasional (Harkonas).

Si Koncer

Instagram @harkonas

Harkonas diperingati setiap tanggal 20 April sesuai Keppres Nomor 13 Tahun 2012. Berdasarkan tanggal diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Bangga Menggunakan Produk Dalam Negeri

Terkadang kita sudah sangsi dahulu untuk membeli produk dalam negeri. Kita sudah termakan branded/merk asing lebih bagus daripada produk dalam negeri. Padahal banyak produk kita, seperti furniture, fashion, craft  yang sudah go international. Sudah selayaknya kita pun mencintai barang sendiri. Namun, terkadang hambatan atau yang mengikis kepercayaan adalah oknum penjual nakal. Sehingga, konsumen cenderung menggeneralisasi jika semua produk lokal berkualitas rendah.

Keuntungan menggunakan produk dalam negeri ini berarti kita turut berpartisipasi dalam meningkatkan cadangan devisa, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memperluas kualitas produksi. Sehingga nilai persen impor barang konsumsi terus mengalami penurunan. Data Kementrian Perdagangan (kemendag) saat ini nilai persen impor barang konsumsi terhadap nilai total impor indonesia cenderung tetap pada kisaran 7-7,5% 2017. Sedangkan cenderung mengalami penurunan secara absolut yaitu sebesar 13,3% tahun 2011, 13,13% tahun 2013, dan 10,8% tahun 2015.

Berani Bicara

Berani bicara di sini berarti kita assertif untuk melaporkan kecurangan penjual nakal. Kemendag menyebutkan saat ini 42% konsumen memilih tidak melakukan pengaduan, 37% menilai kerugian tidak besar, 24% tidak mengetahui tempat pengaduan, 20% menganggap proses dan prosedur pengaduan lama dan rumit dan 6% mengenal baik pejual. Hal tersebut menjadi alasan konsumen kita enggan melakukan pengaduan.

Perilaku pengaduan konsumen di Indonesia masih rendah yakni sebesar 4,1 dibanding Korea Selatan yang sudah mencapai angka 64 per 1 juta orang. Angka ini harus ditingkatkan dengan sosialisasi, informasi, dan edukasi yang massif. Sebab, 39,2% tidak mengetahui Lembaga Perlindungan Konsumen (LPK), 38,6% mengenal tapi tidak mengetahui fungsi LPK, dan  baru 22,2%  mengenal dan mengetahui  LPK.

Sehingga konsumen tidak lagi takut mengadu jika dirugikan saat membeli barang atau jasa. Namun, sebelum menegakkan hak-hak konsumen dengan mengadu pastikan terlebih dahulu kita sudah melaksanakan kewajiban kita sebagai konsumen. Bukan langsung men-judge.

Hak Konsumen:

  1. Mendapatkan barang/jasa yang aman
  2. Mendapatkan pelayanan baik dan tidak diskriminasi
  3. Mendapatkan edukasi tentang barang/jasa
  4. Mendapatkan informasi yang benar
  5. Didengarkan keluhannya dan dibantu menyelesaikan sengketa
  6. Mendapatkan kompensasi dan ganti rugi

Kewajiban Konsumen:

  1. Mengikuti informasi dan prosedur pemakaian
  2. Beritikad baik dalam transaksi
  3. Mambayar sesuai yang disepakati

Ketika sudah memahami  hak dan kewajiban dan ternyata kita memang dirugikan, kemana mengadu?

  1. Langsung ke pelaku usaha terkait
  2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) terdekat
  3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) setempat
  4. Dinas yang menangani perlindungan konsumen kota/kabupaten

Selain keempat point tersebut, terdapat opsi lain, yaitu:

  1. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
  2. Aplikasi Pengaduan Konsumen oleh Kementrian Perdagangan. Di era digital aplikasi pada smartphone atau mobile app bukan hal yang asing bahkan cenderung dicari. Hadirnya aplikasi ini membuat kita tidak ribet atau repot saat mengadu. Tinggal download di playstore deh. Ketika saya mencoba mengunduh aplikasi ini pun sangat gampang, kita tinggal menginput identitas dan melaporkan kemudian cek status laporan kita. Nah, karena sudah dimulai, kemendag yang memulai inisiatif harus proaktif dalam merespon, layaknya customer service yang siap membantu menghubungkan dengan departemen terkait dalam waktu cepat dan pelayanan yang memuaskan. mobile app
  3. Surat terbuka. Kalau dulu surat terbuka hanya disediakan oleh koran-koran pada rubrik surat pembaca saat ini kita bisa membuat surat terbuka di internet lewat blog maupun media sosial. Namun, pastikan menulis tidak dalam keadaan emosi dan isi aduan jangan langsung menghakimi. Baca lagi surat kita. Kroscek dahulu. Jangan niat memperoleh keadilan malah dilaporkan balik atas tuduhan pencemaran nama baik. Sebab saat ini ada Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur netizen bijak dalam berinternet sehat.

Momentum Harkonas

Strategi Perlindungan Konsumen Nasional

Instagram @harkonas

Sudah seharusnya momentum Harkonas menjadi cambuk bagi kita untuk mewujudkan perlindungan konsumen nasional yang lebih baik. Meski demikian, sebagai konsumen kita sudah seharusnya dituntut berperilaku cerdas, begitu pula sebagai produsen harus bertanggung jawab terhadap produk/jasa yang dijual. Sehingga tercipta hubungan sehat atau timbal balik yang menguntungkan antara produsen dan konsumen. Lembaga atau pihak perlindungan konsumen terkait juga harus terlibat aktif dalam memberi informasi dan edukasi peranannya masing-masing. Pemerintah harus mengambil bagian dalam memaksimalkan kinerja sesuai tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) masing-masing dengan menjalankan strategi pokok yang sudah dibuat yaitu meningkatkan efektifitas peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan eksekutor, meningkatkan kepatuhan pelaku usaha, dan meningkatkan keberdayaan konsumen. Harapannya terwujud tujuan perekonomian nasional yang berdaya saing dan berkeadilan.

Salam koncer,

logo sikoncer

 

27 pemikiran pada “Konsumen Cerdas di Era Digital Itu…

  1. Bener banget. Di zaman seperti sekarang ini, ketika kebutuhan hidup begitu tinggi, ketika pekerjaan susah didapat, dan ketika nilai uang sangat menurun, banyak penjual tidak bertanggung jawab yang hanya mengutamakan keuntungan saja. Hak konsumen pun diabaikan. Jadinya ya gitu, sebagai konsumen, kita kudu cerdas. Semoga kampanye Konsumen Cerdas ini bisa menyadarkan banyak pihak, ya. Ya konsumen, ya penjual. Goodluck lombanya. 🙂

  2. Aku termasuk yang suka makan sarden, sedih banget dengernya ada sarden cacing parasit. Memang toko/swalayan sekarang nggak menjamin produknya baik semua. Aku kalo belanja diswalayan selalu ambil barang dari barisan belakang, karena kalau ambil yang didepan biasanya kadaluarsanya lebih cepet, penempatan barang ada pengaruhnya juga sih menurutku

  3. Selama ini saya hanya cerdas memilih yaa…belum cerdas memilah.
    Jadi baper baca tulisan teteh…hihii..

    Haturnuhun, teh…diingatkan untuk jadi konsumen cerdas, apalagi di era digital.

  4. Wah bener banget nih makasih infonya teh btw saya juga lagi seneng pake produk lokal yang penting aman, halal apalagi organik heheh

Silakan meninggalkan jejak. Insya Alloh saya kunjungi balik^^

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.