Ekonomi digital sedang marak dibicarakan akhir-akhir ini. Terlebih dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Jilid 14 mengenai ekonomi digital. Pemerintah gencar mewacanakan gerakan nasional non tunai yang sudah mulai dicanangkan oleh Bank Indonesia pada 14 Agustus 2014 ini.
Sebagian masyarakat umumnya mulai mengenal transaksi non tunai saat mulai bekerja. Perusahaan saat ini sudah banyak yang membayar gaji karyawan dengan sistem transfer. Karyawan pun diwajibkan memiliki rekening bank untuk kemudahan pembayaran.
Sebagian lain masyarakat mulai bertransaksi nontunai karena mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka yang mendapat kartu bisa mengambil uang di bank pemerintah atau lembaga yang sudah ditunjuk setelah mendapat transfer.
Selain itu, sistem nontunai juga sudah diterapkan di perguruan tinggi yang segala pembayarannya dari bantuan operasional (BOP) hingga SPP hanya diterima melalui transfer ke bank yang ditunjuk. Dengan kata lain, mahasiswa tidak perlu antre membawa uang tunai ke bagian keuangan kampus. Perguruan tinggi pun bekerja sama menggaet bank.
Uraian diatas merupakan gambaran transaksi nontunai yang sudah dilakukan masyarakat. Namun seiring perkembangan teknologi terutama masuknya era smartphone, transaksi nontunai pun semakin meningkat dan beragam. Saat ini ada 326 juta pengguna telepon genggam di Indonesia dan 88,1 juta pengguna internet aktif. Bahkan menurut riset Google dan Temasek, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia mencapai 19 persen per tahun dan diproyeksikan mencapai 215 juta sebelum tahun 2020. Fakta ini dianggap sebagai pintu masuk financial technology (fintech) paling efektif di Indonesia.
Menyambut era fintech dan menyukseskan gerakan nasional non tunai (GNNT) setidaknya ada beberapa manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Pertama, kemudahan bertransaksi. Seiring tumbuhnya para start up maka banyak usaha rintisan bertumbuh. Yang umumnya dimininati adalah belanja via online, selain juga seperti pembayaran listrik, pembelian bbm, tol, dan lain-lain.
Bagi masyarakat belanja online memberi kemudahan dan efektifitas dalam waktu sehingga produktivitas tetap terjaga. Untuk bisa melakukan belanja daring ini syaratnya tentu memiliki akses dalam pembayaran. Rata-rata pembelian online diikuti pembayaran via transfer, hasil survei BMI Research terhadap 1.213 responden di 10 kota di Indonesia akhir 2014 lalu menunjukkan 82 persen konsumen mengandalkan metode transfer, cash on delivery (cod) sebanyak 22 persen, dan sisanya menggunakan kartu kredit/rekening bersama. Fenomena belanja online ini akan mendorong orang untuk menyimpan uangnya di bank atau dalam bentuk non tunai misalnya melalui mobile tunai untuk mempermudah transaksi.
Namun, sayangnya, kendala utama belanja daring adalah kepercayaan konsumen. Suatu ketika teman saya bercerita kalau ia kapok dan tak mau lagi berbelanja online sebab barang yang dipesan tak kunjung datang sedangkan uang telah ditransfer. Ada lagi cerita jika barang yang dipesan ternyata berbeda saat tiba.
Untuk itulah, pemerintah juga harus turun tangan menurunkan kebijakan mengatur bisnis-bisnis daring ini kepada pelakunya. Kredibilitas harus dibangun jika ingin meningkatkan peran masyarakat dalam transaksi nontunai yang mengincar sektor ini. Sumbangan nilai transaksi yang dikalkulasi oleh BMI Research mencapai Rp 21 triliun pada 2014 dan tahun 2015 diprediksi mencapai Rp 50 triliun.
Kedua, uang pecahan ‘kecil‘ lebih berharga. Transaksi non tunai juga akan membuat pecahan rupiah ber-nilai. Saat ini di warung-warung kampung hampir tak dijumpai barang-barang dengan harga ‘ganjil’, misalnya 300 rupiah, 600 rupiah, 750 rupiah apalagi puluhan. Di supermarket harga-harga ‘ganjil’ seperti ini masih dijumpai namun penggunaan uang pas juga jarang dilakukan begitu pula pengembaliannya. Beberapa perbelanjaan memanfaatkan nilai ganjil ini sebagai donasi dengan bertanya terlebih dahulu kepada konsumen yang umumnya menjawab ‘ya’. Atau ada juga yang membulatkan nilainya. Beberapa hari lalu saya bertransaksi tunai di supermarket, di nota tertera harga yang harus saya bayar 84.850 rupiah. Saya memberikan uang 90 ribu rupiah, kembalian yang saya terima 5.100 rupiah. Artinya total belanjaan saya dibulatkan menjadi 84.900 rupiah. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika menggunakan transaksi nontunai.
Dengan adanya adanya transaksi non tunai bahkan nilai rupiah hingga satuan pun berharga. Ini akan membuat uang ‘kecil’ semakin ‘aji’ di masyarakat. Sangat disayangkan ketika beberapa orang menyepelekan fisik uang logam seratus rupiah, dua ratus rupiah. Bahkan saya pernah menjumpai orang yang dengan enteng membuangnya begitu saja karena dianggap tak berarti.
Ketiga, rasa aman. Masih ingat dalam ingatan kita, bagaimana Dimas Kanjeng Taat Pribadi menghebohkan publik dengan kemampuannya menggandakan uang. Ketika diusut ternyata hanya kedok penipuan saja. Nah, ketika masyarakat semakin cerdas maka kasus-kasus penipuan seperti ini dapat diminimalkan dikarenakan penggunaan uang kertas yang terbatas.
Selain itu, masyarakat tentunya juga akan merasa lebih aman dengan membawa uang misalnya 100 juta dalam kartu ketimbang segepok kertas dalam tas.
So, saya bangga menjadi bagian, I Am #LessCashSociety
Bahan bacaan:
Hasil survey BMI research dikutip dari anonim dalam artikel Kepercayaan Konsumen Belum Utuh.
Fintech dan Optimisme Ekonomi Indonesia, oleh Junanto Herdiawan dalam Opini Harian Kompas, Rabu (30/11/2016)
Artikel “Agar Jatuh tak Tertimpa Tangga Pula; Mencuri resep keberhasilan dari kegagalan start up dunia“, Majalah Femina No. 45/XLIV, 12-18 November 2016 hal 56-58
Ringkasan Peta Jalan eCommerce Indonesia