Tak banyak orang berani memutuskan merantau. Biasanya mereka adalah orang yang banyak pertimbangan. Makannya cocok, budayanya gimana, bahasa yang berbeda, dan lain-lain.
Sejak kecil, saya bermimpi ke Pulau Kalimantan. Kenapa? Saya penasaran dengan daratan terluas di Indonesia yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia itu. Begitulah kata pelajaran di sekolah. Saya ingin melihat hutan hujan tropis. Konyolnya saya kecil ingin menyaksikan garis khatulistiwa yang membelah bumi menjadi bagian utara dan selatan.
Masuk di jurusan Kehutanan saat kuliah membawa impian ke Borneo kian menggebu-gebu. Tentu saja sebab pulau ini kerap disebut-sebut saat mata kuliah. Tentang kayu ulin yang awet dan kuat, tentang keberadaan masyarakat lokal yang tergerus perusahaan, tentang konflik hutan dan tambang, tentang orang utan yang terancam punah, dan lainnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Begitu mendapatkan tawaran bekerja ke Kalimantan Barat tentu tak butuh waktu lama memutuskan. Yang berat adalah meyakinkan orang tua terutama ibu dengan ketakutan-ketakutannya yang lebih merupakan kekhawatiran pada darah dagingnya. Jauh dari saudara, jauh dari rumah, dan bagi orang desa di Klaten, Kalimantan merupakan antah berantah.
Kuncinya dengan pendekatan dari hati ke hati bukan dengan amarah. Kita mengalah dulu dengan mendengarkan ibu bicara. Apa alasannya hingga berat melepas kita? Setelah beliau berhenti dan mengambil jeda nafas, mulai dengan senyuman kita bisa menjelaskan apakah alasan-alasannya tadi masuk akal. Kita berikan gambaran yang membuatnya yakin dengan keputusan kita 🙂
Kekuatan Senyum
Sebagai perempuan dan masih fresh graduate nyali saya ditantang begitu menginjak bumi khatulistiwa. Namun, segala ketakutan yang sempat terbesit harus segera dibuang kala dari balik jendela pesawat tanah menghijau itu mulai nampak. Dengan sebuah senyuman kecil saja, pikiran kembali menjadi positif. Rasa bahagia karena berhasil mewujudkan impian saat kecil. Coba kalau saat pertama saya datang, saya takut ini itu, mungkin kepuasan hati itu tak akan terasa.
Tersenyum itulah pertama kali juga yang saya lakukan saat memasuki area kantor. Lokasi yang masih asing dengan rekan-rekan kerja baru. Meski mereka sudah senior toh dengan manfaat senyuman mereka menyambut baik kedatangan si cupu ini kala itu. Bayangkan saja kalau saat saya datang, muka masam yang saya tunjukkan pertama kali. Mereka juga pasti malas berkenalan apalagi mengenal lebih jauh dengan kita seperti kita juga yang sungkan dengan orang yang tak ramah di kesan pertama.
Bekerja bukan berarti kita lepas dari hidup sosial bermasyarakat. Saat hendak ke lokasi perkebunan tentu kita terkadang melewati perkampungan. Ketika ada warga yang tengah bercengkerama apa kita lalu lalang saja? Memberi salam dan menyapa itulah etika dan norma yang saya anut sejak kecil. Nah, memberi salam dan menyapa yang paling efektif ini adalah dengan menundukkan kepala sambil menyunggingkan senyum. Jadi, kenapa harus bingung dengan bahasa dan budaya yang berbeda karena kita masih memiliki bahasa tubuh. Senyuman adalah pengikat itu.
Saya jadi berpikir kenapa kerap terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan ya mungkin salahsatunya adalah kesalahpahaman. Kedatangan orang kota dianggap ancaman apalagi jika mereka berperilaku angkuh terhadap penduduk lokal. Nasehat bapak yang selalu dan akan selalu saya ingat adalah ikutilah dimana kamu tinggal. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Kita yang harus pertama kali beradaptasi karena kita pendatang. Bukan memaksa mereka menerima kita. Dengan kemampuan menyesuaikan diri itulah perlahan tapi pasti mereka akan merangkul kita.
Kekuatan senyum ini membuat image ramah melekat pada diri saya. Setidaknya begitu kata teman kerja di Kalimantan. Selain itu, berawal dari senyuman tulus itu saya yang sendiri menjadi mempunyai keluarga, rumah untuk pulang saat akhir pekan. Salah satu karyawan menganggap saya anaknya paling sulung. Istri dan ketiga anaknya juga memperlakukan saya dengan sangat baik. Padahal kami terlahir dengan berbeda suku dan agama. Tapi dalam naungan kebhinnekaan, Indonesia Raya itulah kami tinggal.
Apakah semua persoalan baik pribadi maupun pekerjaan bisa diselesaikan dengan senyuman terlebih dahulu? Saya yakin iya. Syaratnya harus tulus bukan senyuman sinis atau mencibir. Saya setuju bahwa senyuman akan melahirkan sikap positif dalam menghadapi beragam tantangan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Karena dengan bersikap positif akan membantu kita dalam mencari jalan keluar dan menyelesaikan beragam tantangan dan masalah dengan baik. Dengan demikian hasil akhir yang bisa dicapai juga akan baik. Saya sudah membuktikkannya sepanjang hidup saya karena saya perantau bertemu suami saat dirantau dan kini tinggal di perantauan, kalau Temans?
#ODOP #BloggerMuslimahIndonesia
Aisyah juga belum pernah merantau kak..
Tapi setuju dengan tipsnya, Insya Allah bisa diaplikasikan dimana dan kapan saja.. ^^
hayuuk cobain merantau, terkadang kita lebih mengenal diri kita saat di perantauan 🙂
Seru banget ya merantau. Aku belum pernah merantau. Dari usia 40 hari sampai sekarang masih tetap jadi warga Jakarta. Tapi suamiku perantau. Ke ibu kota setelah lulus STM. Suka senang kalau dia lagi cerita baru-barunya di Jakarta.
kenapa dari usia 40 hari? Iya cerita merantau sepertinya tidak akan ada habisnya hehe…