Hai buddies,
Ceritanya saya baru beres-beres tumpukan buku dan kertas yang tersimpan dan sayang dibuang sejak sekolah dulu. Nah, salahsatu jurnal yang saya temukan adalah blocknotes semasa masih menjadi (calon) reporter di “Warung Buncit”.
Saya jadi ingat niat awal membuat blog ini adalah membagi pengalaman sebagai jurnalis. Boleh cek postingan awal-awal saya (tahun 2012). Namun, ternyata kesibukan menjadi pemburu berita malah membuat blog ini mangkrak dan baru menggeliat kembali setelah mempunyai anak (tahun 2015). Menemukan “harta karun” berupa petikan wawancara, tips dari mentor maupun rekan, diari suka duka selama menjalani profesi ini membuat saya ingin melanjutkan niat awal saya terhadap blog ini. Sekedar info mulanya blog ini namanya rinanews.
Doakan saya konsisten ya sekaligus mendigitalisasi jurnal selama menjadi “c73” (beberapa akan saya tambahkan referensi)^^
Lanjut, ke topik ya…
Teknik wawancara bagi seorang jurnalis (1)
Wawancara merupakan salahsatu sumber informasi bagi wartawan. Menurut Zaenuddin HM dalam The Journalist (2011), ada empat sumber berita bagi wartawan yaitu peristiwa atau kejadian, proses wawancara itu sendiri, pencarian atau penelitian dokumen, dan partisipasi dalam peristiwa. Media sosial di era digital ini juga kerap digunakan sebagai bahan informasi misalnya konten yang viral, instagram/youtube pribadi para artis (dunia hiburan).

Wawancara Aktor Aryo Wahab (Foto: Koleksi Pribadi)
Berikut kiat saat melakukan proses wawancara dengan narasumber secara umum:
- Sabar baik saat menunggu maupun mendengar untuk mendapatkan jawaban yang dibutuhkan.
- Sopan baik dalam bertanya maupun penampilan.
- Yakin dengan pertanyaan jangan terlihat ragu-ragu, karena narasumber akan menilai kita serius dengan wawancara atau tidak.
- Memanfaatkan panca indera, kita bisa memperhatikan mimik narasumber. Saat kekurangan bahan tulisan, kita bisa menuliskan raut muka atau gerak-gerik narasumber, dsb.
- Memiliki kemampuan mendengar yang baik. Mendengar memang terlihat sepele tapi jika tidak fokus dan sabar, pikiran malah bisa kemana-mana. Misalnya untuk narasumber yang suka berpanjang lebar dalam menyampaikan informasi.
- Kemampuan menangkap informasi. Sebagai wartawan harus bisa memilih dan memilah mana informasi yang penting dan tidak penting.
- Ada baiknya wartawan membaca materi terlebih dahulu. Jangan sampai isi kepala kita kosong terhadap bahan wawancara. Bisa saja kita justru tidak paham dengan yang disampaikan narasumber dan akhirnya bingung mau menulis apa? Manfaatkan bertemu narasumber untuk banyak bertanya (ambil ilmunya).
Sekedar cerita dari rekan senior wartawan kala itu, ada narasumber yang juga tokoh hukum di Indonesia, beliau tidak mau diwawancara jika reporter itu tidak menguasai masalah atau tidak nyambung. Dia akan menyarankan sang reporter untuk membaca bukunya terlebih dahulu baru melakukan wawancara.
Wawancara merupakan tugas jurnalistik yang cukup berat, bahkan terkadang sulit sebab tidak hanya melibatkan fisik, tetapi juga psikis dan pikiran (Zaenuddin, 2011). Karena itu sangatlah penting mempersiapkan diri sebelum wawancara. Hal yang bisa dilakukan antara lain:
- Menguasai permasalahan sehingga dapat menyusun pertanyaan cerdas
- Mengetahui/mengenal sosok narasumber sehingga bisa mengantisipasi dengan cara kita melakukan wawancara. Misalnya ada narasumber yang suka dengan pertanyaan to the point, ada yang tidak suka jika kita sok tahu, mengenal kesukaan juga bisa untuk mengawali wawancara, dsb.
- Membuat daftar urutan pertanyaan logis namun bukan berarti sedikit-sedikit mencontek. Karena ini akan membuat narasumber tidak nyaman. Sebisa mungkin kita harus melakukan wawancara seperti mengobrol.
- Membuat janji dengan narasumber. Membuat janji sangat penting karena kita tidak mengetahui jadwal narasumber. Ini juga bisa menghindarkan kita dari mubazir waktu, bolak-balik ke kantor tapi orang yang ingin kita jumpai tidak ada atau sedang rapat.
- Mempersiapkan alat tulis dan perekam. Sangat lucu jika sudah siap wawancara kita tidak mempersiapkan “senjata” untuk menangkap informasi karena daya ingat kita yang terbatas.
Kesalahan yang dulu kerap saya lakukan adalah terjebak dengan narasumber. Narasumber pejabat cenderung mengatakan yang baik-baik atau tentang pencapaian-pencapaian, narsum pengamat cenderung membawa isu-isu yang ingin dia “up” ke publik. Untuk itulah pentingnya wartawan menguasai masalah sebelum wawancara dan membuat poin-poin pertanyaan sehingga ketika merasa wawancara telah melenceng, kita bisa melirik catatan yang telah kita buat untuk fokus kembali.
Sebagai contoh wawancara pejabat A terkait banjir di wilayah selatan, tentu yang kita inginkan adalah solusi. Tapi beliau justru menjawab telah membangun ini itu tapi di daerah utara. Sehingga kita harus jeli dan dengan sopan mengembalikan ke “arah yang benar” sesuai dengan klarifikasi yang ingin kita dapatkan. Sebagai cover both side atau penyeimbang pejabat, kita akan lari ke pengamat. Bisa saja jawaban dari narasumber A kita mintakan pendapat ke narasumber B ini, bisa saja narasumber B ini enggan menanggapi solusi dari si A dan malah panjang lebar dengan solusi dia sendiri. Sehingga kita harus jeli dan kritis untuk mengambil keputusan saat wawancara.
Semoga membantu memberi gambaran ya, silakan share atau like jika merasa bermanfaat atau silakan komen jika ada yang ingin ditanyakan, boleh via medsos atau email juga. Feel free yah^^