Penghujung 2019, kami berkesempatan mendaki Gunung Andong di Magelang, Jawa Tengah. Gunung ini dipilih karena ramah bagi pemula dan medan yang masih “okelah” buat balita.
Pendakian merupakan momen bagi saya mengenal karakter saya sebagai seorang ibu. Sebab, di gunung semua watak asli akan terlihat dengan sendirinya. Apakah saya ini bunda yang cukup sabar, tidak egois, cukup tangguh, dan mampu membawa anak ke puncak “kesuksesan”. Terlebih saya adalah bagian keluarga Mombassador SGM Eksplor. Bunda generasi maju.
Tiba di Andong
Bada magrib kami diguyur hujan di kaki Andong. Hujan pertama bagi kami sebagai pertanda memasuki musim penghujan kali ini (semoga menjadi rahmat perjalanan). Kami sholat dan memanfaatkan untuk bertanya arah. Selepas isya kami (saya, duo krucil, dan suami) tiba di basecamp Ngablak. Kebanyakan pendaki yang melalui jalur Sawit ini akan naik malam hari sekitar jam satu malam. Pukul tiga dini hari akan sampai di camping ground. Berkemah lalu melihat sunrise dan turun kembali.
Karena pertimbangan membawa dua anak kecil, saya dan suami memutuskan menginap di basecamp. Jangan bayangkan basecamp ini sebuah kamar dengan kasur yang empuk. Namun, sebuah warung lesehan yang bukan zona nyaman buat anak-anak untuk bermimpi. Saya sempat khawatir dengan anak-anak (suami mah sudah bisa menjaga diri sendiri ya 😀), apalagi dengan hawa dingin menusuk tulang dengan selimut seadanya. Untunglah si ibu warung begitu baik meminjami kami dua selimut tebal.
Jika ingat dulu sewaktu masih single, sunrise selalu menjadi target setiap pendakian. Inilah ujian saya usai menjadi ibu untuk menekan ego, tidak mungkin saya memaksa anak-anak bangun pagi buta (yang ada malah rewel dan membangunkan semua orang).
Ketika desa itu mulai diterangi sang surya dan Gunung Andong mulai menampakkan kokohnya saya berbisik kepada kakak yang september lalu melepas masa balita, “Gunung Andong sudah kelihatan. Katanya, mau naik gunung.” Tanpa banyak “drama” ia langsung bersemangat. Betapa senangnya saya. Untunglah, adik, apa kata kakak. Kakak adalah role mode baginya. Kakaknya antusias, ia pun turut.

Gunung Andong via basecamp Sawit (Foto: Koleksi Pribadi)
Setelah beres-beres dan menitipkan barang yang tidak perlu (seperti pakaian karena bikin berat, membawa diri sendiri saja berat) ke ibu warung, kami bergegas. Sengaja kami tidak sarapan nasi hanya makan ringan secukupnya. Makan berat akan membuat perut suduken (Bahasa Jawa-maaf saya tidak tahu Bahasa Indonesia-nya) yang membuat tidak nyaman. Karena perut belum cukup waktu untuk mencerna, kita keburu berjalan.
Sekitar pukul enam pagi, bismillah kami memulai pendakian. Dari basecamp ke gerbang pendakian sekitar setengah kilometer. “Drama” si kecil yang berusia tiga tahun dimulai. Ia tak mau berjalan. Tak mau digendong sama ayah, inginnya digendong ibu. Ketangguhan dan kesabaran langsung diuji. Inilah untungnya semua barang yang tak perlu sudah ditinggal. Kami hanya membawa satu ransel berisi makanan dan barang yang dianggap perlu dan itu tugas ayah.

Gerbang pendakian Gunung Andong via Sawit (Foto: Koleksi Pribadi)
Gerbang Gilicino menyambut dengan berpuluh-puluh atau mungkin ratusan anak tangga. Undakan semen benar-benar menarik otot-otot betis saya. Beberapa kali saya berhenti untuk mengambil nafas. Lalu adik akan berteriak karena ayah dan kakak sudah jauh di depan. Suami memang saya suruh jalan terlebih dahulu untuk menjaga ritme langkah kakak. Undakan ini berakhir di Pos 1 Watu Pocong. Mendekati pos 1 ini kami beristirahat untuk kembali mengisi perut, roti dan susu. Tegakan hutan pinus Perhutani merindangi dengan tajuk jarumnya. Suara gesekan daunnya menemani kami bersantap.
Alhamdulillah mulai Pos 1 adik turun dari gendongan. Ia berlomba dengan kakaknya. Beberapa kali kami istirahat mengikuti kemampuan duo krucil. Kurang dari satu jam, kami sampai Pos 2 Watu Gambir. Mulai Pos 2, adik kembali minta gendong lagi dan lagi-lagi tidak mau sama ayahnya. Sabar ya, Bunda. Kakak terus berjalan sendiri meski sesekali merajuk minta gendong sama ayah. Tapi ayah berhasil meyakinnya untuk menjadi anak mandiri dan tidak manja.
Trek semakin menanjak. Di sini kami mulai bertemu rombongan pendaki yang naik tadi malam. Mereka turun begitu puas melihat matahari terbit. Jalur setapak ini adalah jalan rawan longsor. Mungkin inilah sebabnya dibuka jalur baru Kemuning. Di trek ini saat nafas mulai tersengal, saat kaki ingin berhenti, kibaran bendera di puncak yang mulai terlihat menambah semangat.

Adik dan Ibu (Foto: Koleksi Pribadi)
Usai melewati sumber air, sedikit ke atas sampai di Pos 3 Watu Wayang. Ada sebuah gubuk yang bisa digunakan untuk istirahat. Titik ini adalah pertemuan jalur lama Watu Ombo dan jalur baru. Uniknya nama pos yang saya lewati menggunakan awalan watu, mungkin karena banyak batu besar yang dijumpai di setiap pos.
Dari sini, kami mengambil trek baru dengan medan sedikit menanjak kemudian bonus atau trek seakan datar dan mulus. Namun, musuh kami adalah debu yang terbawa angin gunung. Beberapa kali kami harus berhenti menunggu debu yang seperti lesus, topan kecil melalui kami. Kami lupa tidak membawa masker.
Tak sampai lima menit, kita sampai di Puncak Makam. Lokasi makam Ki Joko Pekik atau Kyai Abdul Faqih yang dikeramatkan masyarakat sekitar.
Dari sini adik mulai berjalan sendiri lagi. Kami tak berhenti di Puncak Makam dan meneruskan berbelok ke kanan yang merupakan areal Camping Ground. Meninggalkan Puncak Makam sesekali kami masih harus melindungi diri dari embusan angin membawa debu yang tiba-tiba menerjang.
Yeayyy… sekitar pukul sembilan pagi, tibalah kami di Puncak Jiwa yang berada di ketinggian 1.726 mdpl. Tingginya memang bukan luar biasa bagi para pendaki ulung. Namun, ini adalah capaian luar biasa bagi kedua anak saya. Kakak memecahkan rekor ketinggiannya dan ditambah kali ini menggapai Puncak Gunung Andong tanpa digendong. Adik begitu gembira berlarian ke sana-kemari (sampai diajak narsis saja susah sekali *LOL).
Bagi saya dan suami bersyukur dapat mengontrol emosi dan kesabaran. Ini dapat menjadi bekal kami berdua untuk mengantarkan anak-anak kepada cita-cita mereka. Bendera Merah Putih yang lamat-lamat terlihat dari bawah yang terus menjadi tujuan dan semangat pendakian ini, kini berdiri di hadapan kami. Satu tujuan dan kami mencapainya bersama.

Tiba di Puncak Gunung Andong (Foto: Koleksi Pribadi)
Tiba-tiba seekor alap-alap terbang melintasi. Mungkin inilah salahsatu alasan puncak Gunung Andong ini dinamai Puncak Alap-Alap.
Anak Generasi Maju
Setiap ibu menginginkan anaknya menjadi anak generasi maju yang hebat. Hal ini selaras dengan SGM yang ingin mencetak anak Indonesia yang maju dengan memiliki lima potensi yaitu supel, mandiri, cerdas kreatif, percaya diri, dan tumbuh tinggi dan kuat. Karenanya, saya tidak ragu dan mempercayakan nutrisi di masa tumbuh kembangnya dengan memberinya susu SGM Eksplor.
Kakak dan adik tidak akan bisa mendaki gunung jika tidak motivasi dari orang tua. Tanpa nutrisi yang cukup dan tubuh yang sehat dan kuat, keduanya pun tak akan mampu menjejakkan kaki di puncak gunung.

Rahasia Anak Generasi Maju (Foto: Koleksi Pribadi)
Bersamaan dengan Peringatan Hari Perempuan Internasional yang bertepatan pada 8 Maret ini adalah momen intropeksi bagi kita kaum hawa bahwa perempuan cerdas dan tangguh akan mengantarkan anaknya menuju sukses. Melalui tema #EachforEqual, perempuan dalam keluarga berhak mengeluarkan pendapat. Kesuksesan anak salahsatu di antaranya diantarkan oleh keputusan yang tepat dari seorang ibu dan dukungan serta pendampingan dari ayah. Jika dahulu keputusan dalam keluarga didominasi oleh suami/ayah sebagai kepala keluarga, sekarang saatnya istri/ibu juga menyuarakan pemikirannya dalam keluarga. Setuju ya, Bunda?
Seperti halnya saya bergabung Mombassador SGM Eksplor yang membawa saya untuk terus belajar, berdaya, dan menghasilkan keputusan-keputusan tepat untuk kedua buah hati saya yang berpengaruh di masa depan mereka.
Sekarang giliran Bunda Buddies untuk sharing moment apa yang tidak terlupakan bersama si kecil?^^
Wah mNtapp.
Anak anak dajak
Iyah biar ketularan virus naik gunung hoho…