Hi Buddies,
Semenjak November 2019 para climate strikes atau pejuang iklim telah sepakat mengganti kata climate change (perubahan iklim) dengan climate emergency atau climate crisis (darurat/ krisis iklim). Namun, karena saya akan meringkas Buku “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim” yang terbit pertama tahun 2003 sehingga penulisan saya: perubahan (krisis) iklim.
Kenapa saya membaca buku ini dan membuat catatannya? Menilik kepada judul di atas, sebenarnya saya sendiri kurang paham mengenai perubahan (krisis) iklim. Menurut saya, buku ini dapat menjadi pondasi dan mengantarkan saya pada pemahaman lebih mendalam terhadap isu global ini. Miris sekali Indonesia menempati urutan pertama negara yang tidak mempercayai adanya perubahan iklim[1] yang terungkap dalam survei YouGov-Cambridge Globalism Project 2019 (18 persen).
RINGKASAN BUKU
Judul Buku: Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim
Hak cipta © Wetlands International – Institut Pertanian Bogor
Penulis: Daniel Murdiyarso
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara, Jakarta
Cetakan kedua, 2005
ISBN 979-709-071-X
Kata pengantar buku ini ditulis oleh Emil Salim. Tokoh yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Era Presiden Soeharto yang tetap vokal menyuarakan pembangunan berkelanjutan hingga saat ini. Dari membaca kata pengantar yang diberi judul “Jika Iklim Berubah” ini, saya sudah dapat menangkap apa itu perubahan iklim, penyebab, dampak, dan upaya penanggulangannya.
Dalam pengantarnya, Emil Salim mengutarakan perubahan (krisis) iklim tidak dapat dipisahkan dari gas rumah kaca seperti Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrous Oksida (N2O). Suhu bumi yang panas kemudian di antaranya menyebabkan gejala pemekaran air laut, mencairnya bongkahan es di kutub, permukaan air laut naik, menenggelamkan pulau, menghalangi mengalirnya air sungai ke laut, banjir di dataran rendah seperti pantura, timur Sumatra, Kalimantan bagian Selatan, dan pola pertanian berubah karena bergantung pada musim hujan. Sehingga diperlukan upaya mitigasi dan adaptasi. Upaya mitigasi dapat dilakukan melalui kebijakan energi bersih dan pembangunan dengan pertimbangan lingkungan sedangkan adaptasi dengan penyesuaian pola pertanian.
Penulis membagi buku ini menjadi dua bagian, bagian I terdiri dari nomor (bab) 1-4 dan bagian II mulai nomor 6-10. Bagian I menjelaskan tentang iklim yang sudah berubah, perjalanan lahirnya Konvensi Perubahan Iklim hingga Para Pihak terkait yang ditutup dengan pertanyaan dimana posisi Indonesia berdiri. Bagian II menyuguhkan tentang hasil kesepakatan Konferensi Para Pihak (COP) yang ditutup dengan napak tilas satu dekade Konvensi Perubahan Iklim (1992-2002) – sekarang tahun 2020 berarti sudah hampir tiga dekade (28 tahun) ya.
Pada Bagian I Nomor 1-2 membahas mengenai hal-hal mendasar terkait Perubahan Iklim.
Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) merupakan dokumen yang lahir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992. Konvensi perubahan iklim telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994.
Perubahan Iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka yang panjang (50 tahun – 100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK). Jadi, variabilitas iklim musiman (musim hujan dan kemarau yang berubah mendadak), tahunan (musim kemarau atau hujan yang berubah periodisitasnya), dan dekadal (kejadian ekstrem seperti El Nino atau La Nina), tidak temasuk dalam kategori perubahan iklim. Kejadian ekstrem tersebut tidak dipengaruhi oleh pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer (halaman 11). Isu utama dari Konvensi Perubahan Iklim yang harus ditangani adalah bagaimana agar konsentrasi GRK dapat dikurangi dan distabilkan agar sistem iklim Bumi tidak terganggu dan terus memburuk.
Memasuki Nomor 3, saya mulai “garuk-garuk kepala” dalam artian pembahasan menjadi semakin teknis. Banyak hal yang kurang bisa saya pahami secara awam namun sebenarnya memberikan pengetahuan yang runut kepada masyarakat umum. Di sini, saya mengambil kesimpulan, buku ini memang diperuntukkan untuk praktisi atau yang memang bergelut terhadap isu ini. Namun, tidak ada salahnya juga jika memang tertarik dengan isu climate emergency membaca buku ini, seperti kata saya di atas sebagai pondasi dan mengerti kronologinya.
Sebagai tindak lanjut dari UNFCCC, dibentuk CoP yang mengadakan pertemuan setiap tahun. Dalam buku ini, CoP baru dilaksanakan delapan kali. Sebagai informasi, Desember 2019 telah diadakan CoP ke 25 di Madrid, Spanyol. Indonesia pernah menjadi tuan rumah Cop ke-13 di Bali, 2007 yang menghasilkan Bali Road Map.
Setiap CoP menghasilkan keputusan penting kecuali CoP 6 yang cukup alot hingga harus diselenggarakan dua kali; di Den Haag, Belanda dan Bonn, Jerman. Hasil CoP ini dibahas secara detail di Bagian II. Buku ini juga menjelaskan kelembagaan dalam UNFCCC, termasuk pembagian negara-negara dan kepentingannya. Indonesia termasuk dalam negara G77+China sebagai negara berkembang. Waktu itu Indonesia masih menjadi anggota OPEC sehingga tergabung pula dengan negara pengekspor minyak (Indonesia keluar OPEC tahun 2016). Indonesia juga merasa menjadi bagian AOSIS atau Aliansi Negara Kepulauan Kecil. Karenanya, di bagian penutup buku ini penulis memilih sub judul Di Mana Indonesia Berdiri?
Bagian II dimulai dari hasil CoP 1 berupa Mandat Berlin. Berlin Mandate adalah keputusan pertama di Cop 1, 1995. Dari sinilah isu terpenting dari konvensi yaitu komitmen negara maju untuk mengurangi emisi mulai dibicarakan secara substansial.
CoP 2, 1996 menghasilkan Geneva Declaration.
CoP 3, 1997 di Kyoto merupakan salahsatu perhelatan paling besar dan istimewa yang melibatkan diplomasi internasional yang canggih. Protokol Kyoto merupakan langkah kecil, tetapi sangat besar artinya bagi upaya untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer untuk selanjutnya melindungi iklim Bumi dari perubahan yang membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia.
CoP 4, 1998 di Buenos Aires Argentina, pertama kali di negara berkembang. Pada CoP4 Indonesia mengambil peran sebagai Ketua G77+Cina.
CoP 5, 1999 tidak menghasilkan dokumen utama.
CoP 6a, 2000. Den Haag, Belanda malapetaka yang alot di semua lini negosiasi dan konsultasi yang tidak transaparan. Ditunda hingga 6 bulan pada Juli 2001 di markas UNFCCC di Bonn, Jerman. CoP 6b menentukan apakah perjanjian internasional tentang perubahan iklim ini akan maju atau hancur dan menghasilkan Kesepakatan Bonn atau Bonn Agreement.
CoP 7, 2001 di Maroko menghasilkan Perjanjian Marakesh.
CoP 8, 2002 di New Delhi India menghasilkan New Delhi Declaration.
Dalam buku ini dijelaskan pula bagaimana peran Amerika Serikat yang pada awalnya susah berkomitmen. Masuknya pemerhati lingkungan Al Gore dalam birokrasi menjadi Wakil Presiden Bill Clinton melunakkan prinsip AS yang selalu mempertanyakan dimana posisi dan peran negara berkembang.
Target negara maju dan negara berkembang dalam komitmen terhadap perubahan iklim seringkali memicu negosiasi yang alot. Negara maju bertanggungjawab menurunkan emisi dan negara berkembang mendapatkan alih teknologi. Terdapat pula pengucuran dana sebagai kompensasi terhadap dampak perubahan iklim berikut lembaga-lembaga keuangan yang dibentuk.
Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih untuk menurunkan emisi pada negara maju dan berkembang. CDM bisa diadopsi di Indonesia. Pada akhirnya Konvensi Perubahan Iklim mendorong efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.
Pada bagian penutup penulis berpendapat Indonesia sebagai negara berkembang termasuk korban dampak perubahan iklim. Indonesia seharusnya dapat mengambil manfaat dengan keikutsertaan menjadi anggota UNFCCC dan meratifikasi Protokol Kyoto.
Buku ini merupakan bagian awal dari buku seri perubahan iklim. Untuk Protokol Kyoto dan Clean Development Mechanism (CDM) dibahas pada buku tersendiri.
Pendapat saya terhadap buku ini sebenarnya sangat menarik dengan penjelasan yang detail dari penulis. Hanya saja karena saya bukan praktisi atau terlibat secara langsung dengan isu ini, beberapa kali saya berniat tidak meneruskan membaca buku ini. Tapi ya sayang karena sudah dibeli ya harus dibaca dan diserap ilmunya untuk menambah wawasan agar jika suatu hari bertemu orang yang membahas isu ini bisa nyambung walaupun hanya kulitnya.
Buku ini saya beli bersamaan dengan Bulan Sabit di Atas Baghdad. Kenapa beli buku ini? Karena dulu saya kuliah di Kehutanan, jadi setiap melihat gambar hutan mata langsung hijau. Kebetulan cover buku ini ada gambar hutannya dan berwarna hijau.
Saya tertarik kembali membaca buku ini karena dipengaruhi secara tidak langsung oleh climate strike yang masih sangat muda dari Swedia, Greta Thunberg. Bagaimana di usia remaja-nya, ia bisa menggerakkan massa agar pemerintah lebih peduli terhadap Perubahan Iklim hingga isu ini menjadi isu populer di Eropa sementara di Indonesia ini, mungkin tenggelam dengan isu politik?
Buddies tertarik tidak dengan isu krisis iklim ini?
[1] Tirto.id dalam Protokol Kyoto dan Indonesia yang Abai terhadap Masalah Lingkungan, 16 Februari 2020
Foto buku: Koleksi Pribadi
Klaten #002
“Kenapa beli buku ini? Karena dulu saya kuliah di Kehutanan, jadi setiap melihat gambar hutan mata langsung hijau. Kebetulan cover buku ini ada gambar hutannya dan berwarna hijau.” ‹= kocak 🤣
Asa pernah baca buku ini, tapi mungkin juga buku lainnya 🤔 pokoknya yang seri perubahan iklim kpg, pinjem dari perpustakaan fakultas 😂 seinget saya, bacaan rada susah buat saya wkwkw 🤭
Eh, ralat, bukan kpg tapi penerbit buku Kompas ya 🤭
Klo di buku sih tulisannya penerbit buku Kompas, mungkin pas cetakan ke berapa bergabung mjd kpg. Ga tahu jg sih…
Kayaknya bener penerbit buku Kompas, mbak. Saya ketuker2 🤣
Emang susah dibaca sih haha…